Laman

Rabu, Desember 16, 2015

(Nikah) Bukan Sumber Kebahagiaan

Sumber : kaboompics

“When marrying, ask yourself this question: Do you believe that you will be able to converse well with this person into your old age? Everything else in marriage is transitory.” -  Friedrich Nietzsche

... Ia tercenung sejenak sebelum pada akhirnya menjawab,'Ya kawin aja, biar bahagia, kayak orang-orang...'.
Sekitar satu tahun yang lalu, saya melihat ada spanduk terbentang di sebuah posyandu; isinya tentang usia ideal untuk menikah. Di situ tertulis : 26 tahun. Sambil cengar-cengir, saya memotret spanduk tersebut, kemudian mengunggahnya di Path, dengan caption : Oh nooo, Gue telat sepuluh tahun! *Tentu saja itu bercanda* :))

Yagitudeh, katanya, umur menikah saya telat. Mungkin bagi beberapa orang bukan telat doang, tapi telat pakai banget. Pembahasan kawin-mengawin dengan partner-slash-soulmate saya ini baru kejadian beberapa bulan sebelum memasuki usia 38 tahun. Ya maab. Kami berdua memang keasyikan bermain.

Anyway, gara-gara 'telat kawin' (berdasarkan spanduk itu lho! Kalau kata saya sih enggak :P), beberapa orang kawan yang masih lajang di usia tiga puluh ke atas kemudian menjadikan saya sebagai benchmark; mereka bilang, setiap dilanda panik karena umur segitu belum juga kawin, mereka akan mengingat saya, lalu.. tenanglah hati mereka. Ngeselin ya? Lebih ngeselin lagi, kalau kebetulan saya mengenal orangtua mereka, setiap para ortu bertanya 'kapan?', dengan cepat mereka jawab 'Ah Okke aja umur segitu belum menikah...'. Penekanan tentu saja pada kata 'umur segitu'.

Mo. Nyong. :D

Cuma konon sih, setiap dibilang seperti itu, ortu mereka bakal manggut-manggut dan sedikit lega, ternyata ada yang lebih tua dari anak mereka yang belum nikah juga. Ya sudahlah ya, menenangkan hati orang tua, upah saya besar di surga. :))

Kamis, Desember 10, 2015

Kita di Media Sosial : Seleb-Seleb Delusional

sumber
Celebrity gives us delusion of self-importance - Al Goldstein

... Sekarang, lewat media sosial, saya, kamu, kita, semua orang bisa memamerkan keseharian masing-masing seperti selebritas. Delusional.
Sudah telat belum kalau saya ngomongin soal bagaimana mahluk media sosial merusak taman bunga di Gunung Kidul?

Ya pasti sudah lah ya!

Isu menghebohkan di dunia media sosial itu kan 'panas'-nya cuma sekejapan mata, heboh dibahas, heboh didiskusikan, heboh dibikin meme paling tidak sehari sampai dua hari, lewat dari situ? Kembali adem, seperti tidak terjadi apa-apa. Menunggu sampai ada hal heboh untuk di'rame-rame'in lagi.

Kalau ada yang masih 'hah? Taman bunga apaan sih?', pokoknya gini lah, intinya ada orang-orang yang menginjak-injak taman bunga di Gunung Kidul dan tidur-tiduran di atas rumpun bunga demi.... foto. Untuk ceritanya sih, silahkan  intip : http://travel.detik.com/read/2015/11/30/132812/3083870/1382/pelajaran-dari-taman-bunga-gunungkidul-yang-rusak

Nah saat rame-rame pembahasan peristiwa tersebut, sempat tercetus 'Gila ya? Demi upload foto di sosial media, sampai segitunya?'

Tapi kemudian alih-alih latah ngedumel, saya malah jadi mikir, bukankah kita semua punya kecenderungan seperti itu? Menganggap bahwa posting di sosial media adalah salah satu hal yang penting bagi kehidupan kita, walau pun kadarnya berbeda-beda. Ada yang ekstrim, sampai menganggap (tampilan di) media sosial adalah segalanya, seperti oksigen, sampai nggak mikir risiko kehilangan nyawa karena terjatuh dari tebing atau diseruduk banteng, seperti video di bawah ini.

Kamis, November 26, 2015

Yang Pintar Pun Percaya Hoax

sumber
Don’t believe everything you read on the Internet just because there’s a picture with a quote next to it.” – Abraham Lincoln*
... Asli saya setengah tidak percaya, selama ini saya selalu menganggap yang menelan bulat-bulat hoax adalah tipe yang berpendidikan rendah dan baru menyentuh media sosial
Beberapa waktu yang lalu, saat sedang mengamati home feed Facebook, tiba-tiba saya menemukan sebuah foto seorang Jackie Chan di dalam sebuah mobil. Dalam foto tersebut Jackie Chan mengenakan kandora/thawb. Berita yang menyertai di foto tersebut adalah Jackie Chan masuk Islam. Sudah lama saya bersikap skeptis (bahkan belakangan jadi apatis. haha) terhadap berita-berita yang saya temukan di internet, jadi reaksi pertama saya adalah : jelma blegug** mana lagi nih yang percaya dan share berita beginian?

Dan saya terkejut, karena 'jelma blegug' tersebut adalah seseorang yang saya tahu berpendidikan tinggi, melek teknologi dan memiliki reputasi baik di tempat kerjanya. Asli saya setengah tidak percaya, selama ini saya selalu menganggap yang menelan bulat-bulat hoax  adalah tipe yang berpendidikan rendah dan baru menyentuh media sosial, jadi sedikit euforia karena tak terbiasa dengan tsunami informasi di internet.


Kamis, November 19, 2015

Belajar Tidak Grogi.

sumber
Education is the key to success in life, and teachers make a lasting impact in the lives of their students. - Solomon Ortiz
... namun bagi saya, pengaruhnya sangat besar, sampai sekarang ini. Setiap saya berada di depan kelas sekarang, saya selalu teringat pada beliau.
Beberapa minggu yang lalu saya ditugaskan untuk menjadi mentor dalam satu sesi latihan public speaking, yaitu mempresentasikan topik sesuai minat mereka di depan publik. Saat itu, terlihat jelas begitu banyak yang grogi; gemetar, berkeringat, tergagap-gagap, blank.

Iya, public speaking memang bukan perkara mudah.

...

Tahun ini tahun ke sepuluh saya mengajar di sebuah perguruan tinggi. Mengajar itu memang passion saya; namun dulu kendalanya,  saya kurang luwes jika harus berhadapan dengan orang dalam jumlah banyak. Sampai ada yang mempertanyakan 'Lo nervousan gitu, mampu jadi dosen?'


Sabtu, Oktober 31, 2015

'Nggak Waras' Berjamaah

sumber
“Never underestimate the power of stupid people in large groups.” ― George Carlin

... Lalu kawan lain, Si manis berhijab syari, diteriak-teriaki ‘Bu Haji, cantik banget, bu Haji! Jadi pengin dibawa pulang’
Di media sosial, saya memutuskan untuk menghindari segala bentuk konfrontasi, pokoknya apa pun yang terjadi, apa pun isunya, nggak usah ikut-ikutan heboh. Terakhir kali cuma saat pilpres, sesudahnya saya mengambil sikap masa bodoh. Kayaknya kalau melihat update berita sosial politik terkini, rasanya dingin dan lewat-lewat saja. Seringnya cuma 'Oooh.', lalu scroll-scroll, lewat, lupa. Lagi pula belakangan ini, saya sedang jarang online juga sih. :)

Namun, semasa bodoh-masa bodohnya saya, kadang-kadang ada juga sih topik-topik tertentu yang bikin saya kesal, kemudian nyolot.  Salah satunya adalah status sebuah Facebook Group, yang menulis soal pakaian perempuan. Tanpa mengklik tautannya, sudah ketebak lah ya, pokoknya semacam 'anjuran' untuk memakai pakaian tertutup. Kesannya sih baik, agar perempuan terhindar dari pelecehan seksual, tapi nadanya itu lho,  menyudutkan perempuan-perempuan yang tidak berpakaian tertutup.

Saya kepancing, dong. Padahal saya bukan sejenis ikan. *halah*

Maka saya pun meninggalkan satu komentar, karetnya dua, alias pedas.


Selasa, Oktober 27, 2015

Superwomen, Awas (di)Poligami!

sumber
Housework is work directly opposed to the possibility of human self-actualization. Ann Oakley

...Pokoknya begitu menikah, menjadi superwoman-lah, kita! Kalau enggak? Kita dapat cap 'Perempuan lupa kodrat', 'ibu nggak bener'..
Beberapa saat yang lalu, ketika iseng menjelajah Facebook, saya menemukan sebuah foto yang menggambarkan seorang pria yang sedang menggendong bayi. Buat saya, foto itu biasa saja sih; tapi yang menarik perhatian saya adalah caption  : 'Mas, di Islam boleh lho poligami!'

Awalnya saya cuma mengerutkan kening dan bertanya-tanya dalam hati, apa coba hubungan antara mengasuh anak dan poligami? Asli saya blank. Sampai pada akhirnya seorang kawan perempuan kemudian bilang, kurang lebih kalau dilengkapi kalimatnya akan menjadi : Istrinya mana sih, mas? Kok sibuk bener ngurus anak? Di Islam, boleh lho poligami!'

Ohhh. Sontak saya manggut-manggut karena baru paham. Ke sana tokh, maksudnya.

Tapi kemudian saya malah jadi semakin mengerutkan kening.

"Memang kenapa sih kalau misalnya suami ngegendong anak?" tanya saya.

"Ya itu kan tugasnya istri." jawab kawan saya itu,"... masa suami udah capek kerja di luar rumah, masih disuruh juga capek-capek ngurusin anak?"

Kamis, Agustus 27, 2015

[Drawing] Mural Project : Kedai Cocoon

So, ini project mural yang saya, partner dan Jody (kawan partner) kerjakan minggu lalu untuk Kedai Cocoon milik Vina dan Intan. Brief yang saya dapatkan awalnya adalah Pop Art; yang terpikir oleh saya adalah ala-ala Warhol.

Tapi setelah ketemuan dan ngobrol panjang, kami jadi tahu bahwa kedai Cocoon ini berlokasi tepat di depan sekolah St. Aloysius Batununggal; yang terpikir oleh kami adalah, yang datang pasti para bocah dan mahmud (mamah muda), serta ABG. Kemudian Vina dan Intan pun menceritakan bahwa mereka tidak mau tema muralnya terlalu serius, sampaaai ujungnya, muncul sebuah keyword : UNYU.  

Got it!

Akhirnya keyword inilah yang jadi acuan kami saat membuat sketsa.

Selama proses sketsa, kami bertiga bersama-sama mencoba memvisualisasikan 'unyu'. Butuh sekitar tiga harian bagi kami untuk menghasilkan sketsa yang sesuai dengan keyword tersebut. Setelah revisi sana sini, akhirnya ibu klien memilih yang ini.

Sketsa
Pengerjaannya sendiri dimulai pada hari Sabtu, 22 Agustus 2015, jam 17.00. Pada saat pengerjaan terjadi penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan kondisi bidang gambar, yakni tembok berukuran 3 x 6 meter.

Sketsa

Partner dan selendang lime green.
Jody, partner dan shawl lime green

Jumat, Agustus 21, 2015

[Thoughts] Jangan Murahan!

You are either free or expensive, but never cheap - Mark Bustos

...Boleh sih, semurah itu, tapi kerjaan gue cuma ngasih aba-aba aja ya? Yang bikin ya elu sendiri.
Beberapa hobi memang bisa mendatangkan penghasilan, dan saya beruntung memiliki beberapa hobi (dan skill) yang terbukti berhasil menambah-nambah uang jajan dari dulu, entah itu dari menulis, membuat aksesoris atau face painting. Belakangan ini, juga menggambar. Tapi terus terang, sampai sekarang saya belum menjadikan hobi-hobi tersebut menjadi sumber penghasilan utama, jadi saya merasa belum layak menyebut diri saya 'penulis', atau 'jewelry maker' atau 'ilustrator'. Kalau pun dipaksa menyebut hobi-hobi itu sebagai profesi, saya selalu menambahkan kata 'amatiran' di belakangnya. Ilustrator amatiran, kalau belakangan ini sih.

Karena amatiran ini, tadinya ketika saya mendapat project untuk mengerjakan sesuatu, maka saya akan mengajukan harga secara amatiran, nggak ada hitung-hitungan secara profesional. Pokoknya segimana mulut mengeluarkan harga, ya segitu harganya. Lalu, kalau ditawar-tawar, kadang saya bilang 'ya sudahlah, buat portfolio, kan lumayan'.

Sampai pada akhirnya saya diomeli dan di-bego-bego-in oleh salah satu rekan yang memutuskan untuk profesional di bidang-bidang saya jadikan hobi. Diomeli karena menurutnya saya menetapkan harga terlalu rendah, hal ini membuat harga pasaran jadi rusak, bikin sengsara orang-orang yang menjadikan lahan tersebut sebagai lahan menggali sesuap berlian (elah!). Yang kedua, dia bilang, saya tidak menghargai tenaga, waktu dan keterampilan saya miliki.

'Elo nih kayak orang yang bisa corel atau photoshop, terus ngaku desainer, tapi ngitung biaya produksi nggak bisa...'


Senin, Juli 13, 2015

[The Wedding] Mendadak Dream Wedding

Falling in love was the easy part; planning a wedding - yikes!- Niecy Nash
...beberapa orang bilang, acara kami ngawur-ngawuran dan rock 'n roll. Kami sih menyebut acara kami sebagai acara ngawur teratur. :))
So, sudah sebulan usia pernikahan saya dan partner. Eh salah ding, baru sebulan. Baru banget. Buktinya sampai hari ini, sapaan yang kerap masih saya terima adalah 'Hai Pengantin Baru!'.

*Ngomong-ngomong, disebut 'Pengantin Baru' itu sampai kapan sih? Soalnya saya sudah mulai bosan. :D*

Anyway, karena sebulan itu masih dianggap baru, kayaknya masih boleh dong ya saya cerita beberapa printilan yang nggak sempat saya ceritakan gara-gara ribet pindahan rumah? Sudah, jawab saja boleh, biar cepat. :))

Setelah selama ini, saya merasa nggak pernah punya dream wedding, eh, setelah beneran merencanakan pernikahan, TERNYATA saya punya, saudara-saudari! Jadi dream wedding saya itu kawin tamasya! Alias, pemberkatan nikah, catatan sipil, kelar. Ini nggak lain karena saya nggak begitu senang ribet-ribetan. Buat saya, yang lebih penting adalah marriage-nya, bukan wedding-nya.

Cuma, berdasarkan pertimbangan ini dan itu, kawin tamasya yang saya impikan nggak terwujud; jadi saja selain pemberkatan, ada perjamuan kasih, alias resepsi kecil-kecilan dengan orang terdekat.

Tadinya saya bete, biasalah, saya si keras kepala ini maunya yang terlaksana plek adalah yang saya mau. Dalam bayangan saya, ada resepsi kecil-kecilan berarti nambahin keribetan lagi, di luar hal yang memang harus dilakukan karena aturan gereja dan negara (semacam kursus pra pernikahan, kanonik dan daftar catatan sipil).

 Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya jadi belajar bahwa bukan marriage saja yang membutuhkan kompromi dengan pasangan, tapi mempersiapkan wedding day juga; kompromi dengan pasangan, keluarga dan sahabat-sahabat terdekat. Sekarang-sekarang kalau dipikir-pikir, kayaknya nggak perlu banget deh saya ngotot-ngotot-nyebelin pengin kawin tamasya, tokh yang diminta oleh keluarga bukan hal yang 'wah', hanya makan siang sebagai pengucapan syukur.

Ketika saya mulai menerima, ternyata kesebalan saya berubah menjadi excitement. Daaan, ternyata,  dream wedding saya berubah! Pake ada resepsi, boleh lah. :D

Bisa dibilang, saya dan partner memang menekan budget, karena kami tahu, pengeluaran rumah tangga itu nantinya banyak, kami nggak mau gara-gara budget wedding day kebesaran, setelahnya masih harus nyicil pinjaman dana kawin ke bank misalnya. Atau nyusahin ortu. Alasan sekali seumur hidup, besar-besaran nggak apa-apa, asli nggak masuk di otak kami. JUSTRU buat apa menyengsarakan diri dalam jangka waktu panjang, untuk yang sekali seumur hidup? :)


Rabu, Juli 01, 2015

[Keseharian] (Ke)Takut(an) Akan Tuhan

“Fear has to be the opposite of God because it is the opposite of love. Fear is selfish, needy and focused on you. It makes no sense for God to want you in fear about Him or your life.  It comes down to this: either God wants you to live in fear of Him, always afraid you aren’t good enough and focused on yourself, or He wants you to live in love, knowing you are safe, and focused on loving other people. Which feels more accurate to you?”  ― Kimberly Giles, Choosing Clarity: The Path to Fearlessness
...jadi ketaatan itu karena diawasi dan takut kena hukuman, kalau nggak ada yang mengawasi bubar. Saya rasa akan berbeda kejadiannya jika ketaatan itu muncul karena kesadaran diri, '...gue pake helm soalnya kepala gue berharga.' Mau ada polisi, mau tidak, tetap saja pakai..
Beberapa waktu yang lalu, saat sedang mengantre dokter gigi, saya melihat sebuah tayangan religi di televisi, yang isinya kurang lebih tentang manusia zholim, yang kemudian mendapat hukuman sakit kulit parah. Well, sepertinya semua tayangan religi yang ada di TV inti ceritanya seperti ini semua kali ya? Yang membedakan cuma hukuman yang diterima oleh manusia-manusia antagonis saja; bisa kelelep, lumpuh, buta, terbakar, tidak bisa dikubur dan lain-lain.  Sementara sang tokoh protagonis yang cenderung naif hidup berbahagia.

Terus terang cara menyampaikan ajaran agama (apa pun) dengan 'menakut-nakuti' ini seperti ini tidak pernah gagal membuat saya mengernyit dan bertanya-tanya : apakah memang agar umat menaati perintah yang ada di agamanya harus diancam dengan kemarahan Tuhan? Apakah menganut agama itu harus dengan penuh ketakutan?

Saya kemudian menganalogikan 'aturan' agama ini bagaikan peraturan lalu lintas; misal perkara memakai helm. Bahwa memakai helm ini sebenarnya untuk keselamatan diri sendiri, karena aspal itu lebih keras daripada kepala manusia, Jendral. Namun dalam peraturan ini, kita semua tahu ada hukuman bila kita tidak menaatinya, yaitu kena tilang. Sejauh ini efektif, orang-orang memakai helm saat berkendara dengan roda dua, tentu saja karena takut harus membayar sejumlah uang saat ketangkep polisi lalu lintas. Tapi apa yang terjadi saat tidak ada polisi yang mengawasi? Helm dibuka. Beberapa kali saya melihat orang-orang yang saya kenal malas memakai helm karena 'cuma' mau pergi ke warung atau minimarket kompleks rumah. 'Ah dekat kok, nggak ada polisi' kata mereka. Duh, seolah-olah karena jaraknya dekat maka jalan akan berubah selembut peyeum.

Iya, jadi ketaatan itu karena diawasi dan takut kena hukuman, kalau nggak ada yang mengawasi bubar. Saya rasa akan berbeda kejadiannya jika ketaatan itu muncul karena kesadaran diri, gue pake helm soalnya kepala gue berharga. Mau ada polisi, mau tidak, tetap saja pakai.


Selasa, Juni 23, 2015

[Keseharian] Tentang Menikah Dan Menjadi Voltes 5.


“Motto for the bride and groom: We are a work in progress with a lifetime contract.” - Phyllis Koss 

...nikah itu kayak Voltes 5, karena masing-masing karakter memang sudah memiliki skill, kekuatan dan kelebihan masing-masing, tapi dengan menyatu, maka kekuataan yang dihasilkan bakal semakin besar.
Apakah kamu percaya dengan kalimat '..and they lived happily ever after' setelah menikah?

Saya enggak. Sama sekali. Buat saya itu bullshit. Kalimat itu cuma miliknya para princess-nya Walt Disney's. Tapi saya nggak yakin juga mereka -- para princess itu -- beneran lived happily ever after, lha wong setiap di setiap kisah klasik kebanyakan princess-princess itu, ending-nya selalu pada adegan kawin mengawin. Nggak ada yang tahu, setelah menikah kehidupan mereka kayak gimana. Ya nggak? Haha.

Iya, saya nggak pernah meromantiskan konsep pernikahan. Bahkan sampai beberapa tahun yang lalu, ide menikah nggak begitu menarik hati saya.

Seriusan.

TAPI, minggu lalu saya menikah.

Lho, kok? Piye, nggak berminat sama ide dan konsep nikah, kok sendirinya menjerumuskan diri dalam pernikahan? Bingung kan? Sama dong.

ENGGAK, ini bukan nikah mendadak karena kecelakaan seperti ada gosip yang saya dengar (hai kamu!); persiapannya lumayan kok, tapi ya memang terdengar mendadak, karena saya sama sekali nggak pernah ember ngomongin rencana nikah. Terus terang saya memang agak protektif soal rencana ini, saya hanya menceritakan pada orang-orang terdekat. Bukannya apa-apa, semakin banyak orang tahu, bakal semakin banyak pula orang yang menyumbangkan opini (bahkan ngatur), nah semakin banyak pendapat, saya bakal semakin pusing. Saya nggak mau pusing dan nggak mau ribet dalam menyiapkan diri dan mental menghadapi keputusan besar dalam hidup saya ini.

Balik ke pernikahan, setelah nyaris delapan tahun, saya memutuskan untuk membawa relationship saya dengan partner, dari pacaran menjadi lifetime partnership.Terus terang ini agak gila, bahkan satu hari setelah the wedding day saya terkena panic attack, gila Man, gue menikah. Apakah gue sudah kehilangan kewarasan gue? *boook, orang mah baru nikah hepi-hepi, lha gue kok panik. Suka tolol deh gue. Haha*


Jumat, Juni 19, 2015

[Novel] Tentang 'Perempuan-perempuan Tersayang'

The ultimate inspiration is the deadline.- Nolan Bushnell
Bukankah kalau kehidupan terasa terlalu tenang, kita harus cari masalah, supaya jadi seru? Eh, bukan ya? :))
Sebenarnya saya mau nyeritain tentang novel terbaru saya, Perempuan-perempuan Tersayang, sejak awal novel ini rilis sekitar akhir Mei. Cuma apa daya, kehidupan mendadak sibuk beneur dengan kerjaan dan hal-hal lain.

Anyway, novel ini sebenarnya PR dari Christian 'Ino' Simamora di tahun 2013. Satu saat dia menelepon saya.

'Mbak, mau nulis naskah dengan setting daerah Indonesia Timur nggak?' katanya.

'MAU!'

Iya, tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan dengan semangat, yang terpikir dalam benak adalah mengangkat salah satu tempat di Nusa Tenggara Timur, tempat sebagian hati saya tertinggal (TSAH!).

Saya baru menelan ludah begitu mendengar kelanjutan kalimatnya.

"Deadline-nya satu setengah bulan." lanjutnya.

Nah lho!

Tapi pada akhirnya tetap saya terima saja PR dari Ino. Saya bukan penggemar deadline (memang ada ya yang doyan deadline? :D ), tapi waktu itu saya berpikir, saya butuh tantangan. Bukankah kalau kehidupan terasa terlalu tenang, kita harus cari masalah, supaya jadi seru? Eh, bukan ya? :))


Sabtu, Juni 06, 2015

[Traveling] Rewriting 'Anda Traveler Pemula'


Travel becomes a strategy for accumulating photographs.- Susan Sontag
….kesannya sang penulis sedang bilang : aing leuwih hebat ti maneh, naon siah?
Kemarin timeline Twitter saya gaduh. Banyak cuitan menyebut-nyebut traveler pemula. Kebanyakan mayah-mayah. walau nggak sedikit juga yang bikin tweet-tweet plesetan.

Ya namanya juga pengguna Twitter ya, masa sih ada hal yang sedang 'dirame-ramein' jiwa detektif (baca : kepo) kita nggak bangkit?

Akhirnya setelah menelusuri beberapa tweet saya menemukan sumber keributannya! Sebuah artikel yang ada di Reader's Digest Indonesia; judulnya : 'Anda Adalah Traveler Pemula, Jika...', isinya ada delapan poin, lengkapnya bisa dibaca di sini.

Saya pribadi nggak kesinggung sih, membaca artikel tersebut, entahlah, mungkin karena nggak pernah merasa diri traveler juga ya? Dan memang saya juga jarang melakukan poin-poin yang disebut dalam artikel tersebut.

Tapi saya bisa memahami mengapa orang-orang bereaksi sedemikian rupa. Tone dan manner tulisannya yang memberi kesan superior. Walaupun tak tertulis, tapi kesannya sang penulis sedang bilang : aing leuwih hebat ti maneh, naon siah? (Artinya? Coba lihat di kamus Sunda ini. Haha)

Tone dan manner kayak gitu bikin yang baca merasa direndahkan. Dan siapa juga coba yang suka direndahkan. Bukan di soal traveling aja, di soal macam-macam, contoh : soal diet-dietan, soal lari, soal yoga, soal fotografi dan soal-soal lainnya. Saya sering banget lihat orang berseteru gara-gara ada pernyataan yang secara tersirat menyatakan 'Amatir lo! Bego lo!' :))

Anyway, baru tadi banget saya baca ulang artikelnya, tetap sih, saya nggak merasa kesinggung; tapi tiba-tiba kepikir, seandainya pemilihan katanya nggak gitu banget, mungkin reaksi orang nggak segitunya.

Kemudian, saya terdorong untuk menulis ulang artikel ini. :))

Anda Smart (Social Media) Traveler, Jika...

Senin, Juni 01, 2015

[Keseharian] Ruginya Minta Oleh-oleh

“I’m going on vacation. I’ll bring you back a souvenir suitcase. It’ll be full of love, but otherwise appear to be empty.” ― Jarod Kintz
….kalau misalnya ia membawakan oleh-oleh karena sebelumnya kamu sudah nodong duluan, kebayang nggak niatnya apa? Iye, kepaksa-karena-nggak enak.
Untuk sementara saya nge-blog-nya di sini dulu ya? Yang ono lagi bermasalah.:D

Jadi, satu hari beberapa orang kenalan yang berasal dari luar Bandung bilang kalau mereka ingin membeli sesuatu sebagai buah tangan bagi keluarga mereka di rumah. Satu-satunya yang terpikir dalam benak adalah mengantarkan mereka ke toko oleh-oleh Bandung.

Sambil menunggu mereka memilih segala jenis keripik, kerupuk, dodol-dodolan, brownies, pisang molen dan entah apa lagi, saya pun berkeliling. Di antara segala makanan khas Bandung, saya menemukan berbagai macam makanan khas daerah-daerah lain. Ada bakpia ala Jogja, ada pie susu ala Bali, ada brem Cap Suling Gading Asli yang di packaging-nya ditulis 'oleh-oleh khas Madiun', ada bika Ambon, ada pancake durian.

Saya jadi geli sendiri dan mendapat satu ide brilian *halah*. Pokoknya kalau lain kali saya mau jalan-jalan dan ada yang minta oleh-oleh, saya akan membelinya di tempat ini. :D

Ngemeng-ngemeng soal oleh-oleh, pengakuan nih ya : saya nggak suka banget kalau ada orang yang minta oleh-oleh. Sebel banget. Apalagi kalau orangnya dekat juga nggak DAN yang minta banyak. Bukannya saya nggak pernah beli oleh-oleh ya, pernah kok, tapi cuma buat orang-orang yang saya anggap spesial saja.

Alasan terutama saya kesel sama orang yang minta oleh-oleh, ya karena (nge)repot(in). Titik.


Jumat, April 03, 2015

[Keseharian] Misteri Tukang Parkir Siluman

Ada hak, ada kewajiban. Sialnya, kadang hak minta dijunjung tinggi tanpa melihat bagaimana kewajiban dijalankan. – Thomas Arie
….Sebagai orang yang bekerja di kantoran, seberapa sering kita menuntut kenaikan gaji/jabatan, atau meminta fasilitas tertentu, tanpa berpikir sudahkah kita melakukan kewajiban-kewajiban yang dijabarkan dalam job description di kantor tersebut?
Wogh! Judulnya kayak judul pelem horor.
Anyway, sebagai orang yang membawa mobil pribadi
dan memiliki kontribusi nyata dalam menambah kemacetan jalan raya (HA!), tentu saja saya dipaksa untuk ikrib dengan petugas parkir, baik itu tukang parkir legal yang dimiliki oleh mall mau pun perkantoran, sampai tukang parkir abal-abal. Keberadaan tukang parkir ini sangat membantu dalam urusan perparkiran. Well, bukan berarti saya nggak bisa parkir sendiri ya? Masa sih, 20 tahun nyetir, nggak bisa parkir? Yang bener aje.

Peran tukang parkir berasa banget di saat parkiran penuh, dialah yang berjasa dalam mencarikan space kosong di antara sekian banyak kendaraan. Oh plus, membantu juga pas keluar parkiran, terutama kalau di pinggir jalan saat banyak kendaraan yang sama sekali nggak mau berhenti sedikit pun; iya, tukang parkir bakal menghentikan mobil-mobil tersebut.

Namun, nampaknya nggak semua tukang parkir mampu/mau mengerjakan tugasnya dengan baik; saya sebal terutama pada tukang parkir yang pas kita setengah mati mencari space parkir nggak ada, pas kita ribet mundur sedikit-sedikit di jalan raya padat (dengan bonus diklaksonin), nggak ada. Tapi begitu saya memindahkan persneling ke gigi satu dan bersiap maju… tiba-tiba, tadaaa… dia muncul, menengadahkan tangan meminta uang parkir tepat di samping jendela supir. Eh, Pak, lama nggak ketemu, apa kabar? Kemana aja dari tadi? Pfft.

Saya menyebutnya sebagai tukang parkir siluman.

Jumat, Maret 27, 2015

[Sosial Media] Balada Pencitraan

“How different would people act if they couldn’t show off on social media? Would they still do it?” - Donna Lynn Hope
….Kita tidak akan pernah tahu ada apa di balik posting media sosial orang lain. Pasangan yang kelihatan mesra, mungkin sering bertengkar sehari-harinya.
Oke. Jadi hampir 3 bulan penuh saya tidak update blog ini. Sibuk adalah alasan basi ya? Lagi pula memang sebenarnya saya nggak (sibuk-) sibuk (amat) sih. Sebenarnya, saya lagi senang menggambar, dibandingkan dengan menulis. Boleh lho lihat Instagram saya : http://instagram.com/okkesepatumerah, follow juga boleh. *promosi*

Walau pun ceritanya saya kuliah di jurusan desain, tapi terus terang saya termasuk jarang menggambar dan merasa nggak terlalu mumpuni di bidang ini. Dulu saya lulusan kriya tekstil, jadi seringnya kalau oret-oretan keluarnya ya ragam hias/motif dan sketsa fashion. Menggambar yang lainnya? Sudahlah, ke laut aja.

Keinginan untuk belajar menggambar selain gambar motif muncul sekitar tahun lalu, kali ini lebih spesifik : cat air, media yang jarang banget saya sentuh. By the way, sebenarnya bukan baru tahun lalu sih keinginan belajar gambar ini ada, sudah sering kok, tapi yaaa, seringnya sebulan bosan. Makanya, tahun lalu itu, saya sempat menahan diri saya sambil berpikir ‘Udahlah, ga usah, ntar lagi juga bosan, terus alat-alat gambar yang sudah dibeli, dikasih-kasihin. Buang-buang duit’

Cuma ya nggak ketahan. Pada akhirnya, waktu itu, saat membeli cat air dan kuas, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk konsisten. Perwujudannya, saya nggak boleh bosan kalau belum membuat 100 gambar apa pun. Syukurlah, lewat. Dan keterusan.

Aaanyway, hari gini sepertinya belum afdol kalau melakukan sesuatu tidak diunggah ke media sosial kan? Makanya, seluruh gambar yang pernah saya buat, ya saya upload di Instagram saya. Kebiasaan menggambar lalu unggah di Instagram kemudian membuat saya berpikir, betapa berbedanya ya, proses melakukan segala sesuatu di zaman media sosial? Sebelum media sosial marak, saat menggambar fokus saya hanya pada gambar, ‘target’ akhir adalah selesainya gambar saya.

Nah, sekarang? Sudah tidak begitu lagi. Target akhir adalah, terunggahnya foto di Instagram. :))