Laman

Selasa, November 21, 2017

Ketika Tubuh Perempuan Jadi Urusan Orang Lain.


“A cultural fixation on female thinness is not an obsession about female beauty but an obsession about female obedience.” ― Naomi Wolf 


....Perempuan-perempuan berlomba-lomba untuk membuat tubuh mereka masuk ke dalam standar tersebut : berlomba-lomba memutihkan kulit, mencukur bulu ketek, bulu kaki dan bulu jembut sampai menguruskan tubuh.
Saat iseng menelusuri feeds Instagram, saya menemukan satu posting  yang isinya kurang lebih menanyakan hak apa yang rasanya dihilangkan dari kehidupan kita.  Tadinya saya nggak begitu tertarik sih, ada posting-posting lain yang lebih seru.

Kayak soal Rina Nose yang buka jilbab, misalnya.

Buset, deh, Rina Nose buka jilbab kayaknya menjadi topik panas jagad media sosial ya, di minggu lalu? Scroll dikit, ketemu berita Rina Nose. scroll dikit Rina Nose lagi. Rina Nose everywhere. Pada saat yang bersamaan, saya menemukan beberapa posting yang bikin saya keinget pertanyaan soal hak yang dihilangkan dari kehidupan kita; yang pertama adalah posting-an seorang selebgram beramvut cepak yang intinya menyatakan bahwa banyak orang menyuruhnya berambut panjang supaya cantik. Yang lain adalah posting seorang selebritas yang mengenakan bikini di kolam renang yang menuai komentar nyinyir soal aurat.

Saya tahu (salah satu) hak apa yang dihilangkan dari kehidupan saya (dan perempuan secara umum) : hak terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh sendiri. Ini kerasa banget; yang punya tubuh kita, yang ngurusin (lebih tepatnya: ngusilin) masyarakat se-Indonesia raya.

Ini dia ada beberapa hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan yang sering diributin oleh masyarakat.

1. Soal pakaian
Masyarakat masih mengatur cara perempuan memakai pakaian. Dalam benak orang-orang, muncul berbagai macam label yang akan diterapkan seorang perempuan, berdasarkan (seberapa pendek) pakaian mereka. Ish. Kayak beginilah kurang lebih

sumber
Makanya tuh ya, Rina Nose buka jilbab, ributnya pakai banget. Kayaknya sampai bertahun-tahun ke depan, keributan ini nggak bakal reda-reda; lihat saja Marshanda, buka jilbabnya kapan, ributnya sampai sekarang. *puk puk Rina Nose*. Makanya juga akan selalu ada komentar 'Aurat dijaga!' di posting berbikininya selebgram/selebritas.



BACA JUGA : NGGAK WARAS BERJAMAAH

Yang saya sebutkan adalah opini umum; ini ada opini tidak umum yang beredar di sebuah lingkup pergaulan. Orang-orang yang berada di dalamnya menganggap bahwa jilbab adalah simbol represi pada perempuan. Jadi ketika ada yang berjilbab, justru malah dikasihani. Apa lagi kalau sampai sangat tertutup, bakal dapat label tertentu juga.

Serba salah kan? Pakai pakaian terbuka, dikasih label, pakai pakaian serba tertutup, juga kena. :)))

Perempuan seharusnya boleh memakai pakaian apa pun yang mereka suka, apa pun yang bikin mereka merasa nyaman dan senang tanpa judgement. Kata kuncinya adalah memakai apa pun, jadi ketika mereka memutuskan untuk memakai pakaian minim, mau pun memakai pakaian serba tertutup, seharusnya mereka bebas label.




2. Modifikasi Tubuh
Saya ditindik sewaktu bayi, saya rasa banyak perempuan bernasib sama. Kalau dipikir-pikir ini adalah tindakan yang melanggar hak terhadap tubuh si bayi perempuan tersebut kan? Ada sebuah aksi modifikasi tubuh yang dilakukan oleh orang lain, tanpa persetujuan pemilik tubuh. Sekarang bayangkan jika hal tersebut dilakukan pada kita yang sudah dewasa, tahu-tahu, tanpa meminta persetujuan, kita digeret ke tukang tindik telinga, lalu telinga tersebut ditindik. Salah banget kan ini?

BACA JUGA : TUBUH ANAK SAYA MILIKNYA, BUKAN MILIK ORANG LAIN

Nah ketika saya dewasa, sudah bisa memilih dan mengambil keputusan sendiri, saya dipelototi ketika menambah tindikan beberapa bijik di telinga dan satu di hidung. :))

Baru tindik, belum soal tattoo. Seorang kawan perempuan pernah bilang kalau dia pengin memiliki tato. Ketika saya bilang 'Ya bikin,lah!', jawabannya adalah : nggak boleh sama suami. Padahal, tubuh kan tubuh kawan saya ya? Bukan tubuh suaminya.

Belum lagi soal sunat yang masih diberlakukan di berbagai budaya. Beuh.

Eh, wait, nggak usahlah modifikasi bagian tubuh yang ekstrim, ada lhooo orang-orang yang suka mengatur perubahan-perubahan minor pada tubuh perempuan, seperti potongan rambut, misalnya.

Rambutnya panjangin dong! 
Jangan dicat dong! 
Jangan di-highlight dong!
Ih dikeriting, kayak anjing pudel.

3. Kondisi tubuh
Masyarakat menjadikan standar sempurna bentuk dan kondisi tubuh perempuan yang ada di media massa menjadi aturan yang tidak membebaskan perempuan. Perempuan harus : langsing, putih, tinggi, mulus, nggak berbulu dan sebagainya. Ketika ada perempuan yang tidak masuk dalam standar demikian, maka harus menghadapi hukuman berupa body shaming.

Makanya nggak heran ketika standar tersebut diinternalisasi oleh para perempuan sendiri, ya mana ada sih yang mau disetrap sosial atau diolok-olok bentuk tubuhnya. Perempuan-perempuan berlomba-lomba untuk membuat tubuh mereka masuk ke dalam standar tersebut : berlomba-lomba memutihkan kulit, mencukur bulu ketek, bulu kaki dan bulu jembut sampai menguruskan tubuh.

Jadi ingat, seseorang yang saya kenal membuat status : Kalau mau pakai rok mini, pastikan paha tidak ada selulit, nggak sedap ngeliatnya. Yang menyedihkan adalah, banyak yang menyetujuinya, bahkan juga para perempuan.

Ih, padahal, kalau misalnya ada orang yang merasa tidak nyaman karena seorang cewek berbulu, gendut, item, berselulit, ya problem yang melihat kan? Bukan problem si cewek. Weks.

4.Hal-hal yang berkaitan dengan urusan seksual dan reproduksi
Buat saya, keputusan untuk berhubungan seksual seharusnya merupakan kebebasan seseorang. Itu adalah tubuh mereka, kan? 

Kasus pasangan yang diarak bugil gegara diduga sedang melakukan hubungannya seksual merupakan salah satu contoh bagaimana masyarakat ikut campur dalam.mengatur tubuh seseorang. 

Contoh lainnya, masih banyak laki-laki (suami) memaksa istrinya untuk berhubungan seksual tanpa memedulikan apa sang istri mau atau tidak. Sialnya, pemaksaan hubungannya seksual dalam pernikahan tidak dianggap pemerkosaan, karena ada anggapan tugas istri adalah melayani suami.

Masalah kontrasepsi pun seringnya dibebankan pada perempuan. Ada beberapa kasus di mana laki-laki tidak mau memakai kondom karena 'nggak enak' dan menyuruh perempuan memakai alat kontrasepsi apa pun, tanpa memikirkan efeknya pada tubuh sang perempuan. Ya memang sih, variasi alat kontrasepsi banyaknya ya untuk perempuan, tapi ya kan nggak gitu juga dong.

Terakhir, ini saya mah mau curhat. Jadi setelah anak saya berumur setahun, banyak banget yang menyuruh saya untuk hamil lagi. Ketika saya bilang 'Ntar deh...', dijawab 'Eh, jangan di-entar-entar, mumpung masih muda! Kasian anakmu nggak punya temen main di rumah.'

HOII! Yang kalian bicarakan itu adalah alat reproduksi saya lho? Kenapa kalian yang ngatur?



Gitu deh, anyway,  ada yang bisa nambahin? Atau ada yang mau share pengalaman? Silakan! :)

Kamis, November 02, 2017

8 Komentar 'Lucu' Tentang C-Section (Yang Bisa Diabaikan)

Every mom has a mission. To love, guide and protect her family.Don't mess with her when she's on it. - Vicky Reece.
....selama hamil berminggu-minggu, sebenarnya otot-otot dasar panggul kita sudah teregang.Jadi, ubi-ubi yang melahirkan pervaginam, mau pun SC, sama-sama kendor!
Jauh sebelum punya anak, saya pernah kongkow dengan beberapa teman. Mereka semua sudah punya anak, dan kebetulan semuanya melahirkan dengan cara C-section. Saya masih ingat betul, salah satu topik yang terbahas adalah bagaimana mereka kerap mendapatkan komentar yang bikin panas telinga gegara cara melahirkan mereka yang tidak pervaginam. Waktu itu saya hanya menjadi pendengar yang budiman; namun saya mendapatkan satu kesimpulan : hati-hati dengan mamak-mamak, karena mulutnya kayak lotek karet dua, pedeus.

BACA JUGA :  TENTANG MOMPETITION (DAN 5 CARA SAYA MENGHINDARINYA). FEAT KARYA TISYA HANAFIE

Mungkin gara-gara itu pula, ketika bertahun-tahun kemudian saya hamil, dan karena kondisi medis harus melahirkan C-section, maka sikap saya menjadi super defensif. Jawaban-jawaban yang saya berikan kalau berkaitan soal cara melahirkan sangat antisipatif semi ketus, yang tentoenja berpusat dari suudzon. Dalam pikiran saya selalu bercokol kecurigaan 'Ni orang nanya cara lahiran kenapa nih? Mau apa?'

Setiap menjawab pertanyaan, saya selalu menambahkan kata 'Emang kenapa gitu?' di ujungnya.

'Eh, kamu ngelahirinnya normal apa Cesar?'
'Cesar. Emang kenapa gitu?'

Kombinasi antara muka resting bitch dan jawaban berbuntut 'Emang kenapa gitu?' kayaknya bikin males orang yang nanya deh, soalnya pasti respons mereka 'Ah nggak apa-apa. Nanya doang, koook...' :)))

Makanya, saya nggak pernah mengalami dikomentari sampai panas kuping seperti kawan-kawan saya. Tapi kemudian, saya jadi berpikir, jangan-jangan selama ini saya terlalu GR dan defensif?
Jangan-jangan orang-orang sebenarnya nggak sejahat itu dengan yang lahirannya C-section? Teman-teman saya saya yang apes, lingkungannya reseh.

Akhirnya, secara iseng, di Instastory, saya menanyakan para ibu C-Section, apakah pernah mendapat komentar nggak enak gara-gara C-Section? Kalau pernah, kayak apa komentarnya?

Daaaaaaan......

Ada sekitar 100-an DM masuk selama 24 jam. Semuanya bilang pernah sakit hati menerima komentar tentang C-Section yang didapat dari orang-orang sekitar.

Nah, kayak apa komentar-komentarnya? Macam-macam sih, tapi sudah saya kelompok-kelompokkan. Dan kata saya sih, semuanya bisa diabaikan, karena kebanyakan sih mitos/asumsi akibat kurang informasi doang.

1. Ibu yang menjalani kelahiran dengan C-Section adalah ibu yang 'malas'/mau gampangnya/mau cepat.

Komentar ini bisa langsung diabaikan kok. Kebanyakan para ibu C-Section yang 'curhat' via DM menyatakan bahwa sebenarnya mereka sangat ingin melahirkan pervaginam, namun, apa daya kondisi medis mengharuskan mereka menjalani C-Section; untuk menyelamatkan nyawa baik ibu mau pun anaknya.