Laman

Kamis, April 20, 2017

Merayakan Hari Kartini Dengan Membebaskan Diri

We are going to emancipate ourselves from mental slavery because whilst others might free the body, none but ourselves can free the mind - Marcus Garvey

...... emansipasi (dan gender equality) itu nggak ada hubungannya dengan pengin jadi sama dengan laki-laki, ya saya sih nggak mau bangun-bangun tiba-tiba punya jakun, berjenggot dan berpenis.
Oh fiuh, akhirnya Pilkada DKI kelar juga. Lega. Sejujurnya saya empet menggunakan media sosial, karena suasananya pasti nggak enak, isinya seragam, perseteruan antara pendukung paslon nganu dan nganu. Pusing. Dua-duanya sama ributnya. Semoga setelah ini timeline dan feeds sosial media kembali bervariasi seperti dulu. Saat Valentine's Day, update orang-orang ramai soal halal-haramnya merayakan hari cinta itu, saat natal, update tentang halal haramnya memakai topi Santa dan mengucapkan Selamat Natal, saat Hari Batik, orang pun ramai dengan kuliah-kuliah online tentang batik dan asal-usulnya, saat... apa lagi ya?

Oh, saat hari Kartini! Besok kan hari Kartini, ya gaes? Harinya orang-orang ramai-ramai membahas tentang ibu yang sebenarnya bernama Harum ini.

Ibu kita Kartini, Harum namanya?

Ingat?

Oke, ini becandaan 80-an memang. Maafkan. Tipe bercandaan kadang membuka rahasia umur. :))

Di Hari Kartini ini, orang-orang di media sosial akan merayakannya dengan banyak hal : membandingkannya dengan pahlawan-pahlawan perempuan lainnya (yang katanya langsung berperang, bukan surat-suratan seperti Kartini), dengan posting foto kebaya diberi hashtag #ootd, karena mungkin janjian dengan teman-teman se-geng atau diharuskan memakai dress code demikian oleh kantor. Ada juga yang merayakannya dengan memberi kuliah online melalui akun-akun media sosialnya mengenai ketidaksetaraan gender yang masih terjadi. Macam-macam. Rame.

Yang menarik lagi, kemudian kata 'emansipasi' akan sering disebut.

'Jangan nyebut-nyebut emansipasi, kalau parkir saja masih di area ladies parking!'
'Emansipasi, tapi tas minta dibawain pacar!'

Rabu, April 05, 2017

Anak Perempuan Nggak Musti Jadi Princess Kok!

“Girls can be athletic. Guys can have feelings. Girls can be smart. Guys can be creative. And vice versa. Gender is specific only to your reproductive organs (and sometimes not even to those), not your interest, likes, dislikes, goals, and ambitions.”

- Connor Franta, A Work in Progress 

...... perempuan harus kalem dan anggun selayaknya Miss Universe dan slogan Brain, beauty, behaviour and boobs-nya.
"Wah, cewek ya? Ih pasti ribet deh ntar besarinnya. Untung anak gue cowok dua-duanya." begitu komentar yang saya dapatkan dari seseorang sekitar setahun yang lalu, saat saya dalam kondisi harap-harap cemas jelang kelahiran.  Orang tersebut menanyakan jenis kelamin bayi yang saya kandung.

"Kenapa ribet?" jawab saya setengah jengkel, setengah penasaran.

"Iya, ngawasinnya ribet, nggak boleh jatuh, harus dilindungi sampai gede, pokoknya harus serba hati-hati, kayak Princess gitu deh! Enakan laki, diemin aja mau jungkir balik kayak apa juga, ga repot." jawabnya.

Di kesempatan yang lain, setiap saya mengunjungi toko perlengkapan bayi untuk membeli pakaian buat anak saya, sang SPG selalu bertanya,"Cowok apa cewek anaknya, Bund?" Ketika saya jawab cewek, maka ia akan menggiring saya ke arah pakaian anak perempuan yang berenda-renda ala Cinderella dan berwarna aneka pink, dari shocking pink sampai baby pink.

Sementara itu di saat lain, jauh sesudah anak saya lahir, seorang tetua menunjukkan keheranannya begitu mengetahui bahwa anak saya nggak suka pada boneka berbulu. Iya, dia geli, atau gilaeun dalam bahasa Sundanya. Sambil berseloroh, partner bilang,"Tau-taunya dia suka bola..."


"Ya jangan dong, kan anak perempuan..." jawab sang tetua.