Laman

Senin, Juli 13, 2015

[The Wedding] Mendadak Dream Wedding

Falling in love was the easy part; planning a wedding - yikes!- Niecy Nash
...beberapa orang bilang, acara kami ngawur-ngawuran dan rock 'n roll. Kami sih menyebut acara kami sebagai acara ngawur teratur. :))
So, sudah sebulan usia pernikahan saya dan partner. Eh salah ding, baru sebulan. Baru banget. Buktinya sampai hari ini, sapaan yang kerap masih saya terima adalah 'Hai Pengantin Baru!'.

*Ngomong-ngomong, disebut 'Pengantin Baru' itu sampai kapan sih? Soalnya saya sudah mulai bosan. :D*

Anyway, karena sebulan itu masih dianggap baru, kayaknya masih boleh dong ya saya cerita beberapa printilan yang nggak sempat saya ceritakan gara-gara ribet pindahan rumah? Sudah, jawab saja boleh, biar cepat. :))

Setelah selama ini, saya merasa nggak pernah punya dream wedding, eh, setelah beneran merencanakan pernikahan, TERNYATA saya punya, saudara-saudari! Jadi dream wedding saya itu kawin tamasya! Alias, pemberkatan nikah, catatan sipil, kelar. Ini nggak lain karena saya nggak begitu senang ribet-ribetan. Buat saya, yang lebih penting adalah marriage-nya, bukan wedding-nya.

Cuma, berdasarkan pertimbangan ini dan itu, kawin tamasya yang saya impikan nggak terwujud; jadi saja selain pemberkatan, ada perjamuan kasih, alias resepsi kecil-kecilan dengan orang terdekat.

Tadinya saya bete, biasalah, saya si keras kepala ini maunya yang terlaksana plek adalah yang saya mau. Dalam bayangan saya, ada resepsi kecil-kecilan berarti nambahin keribetan lagi, di luar hal yang memang harus dilakukan karena aturan gereja dan negara (semacam kursus pra pernikahan, kanonik dan daftar catatan sipil).

 Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya jadi belajar bahwa bukan marriage saja yang membutuhkan kompromi dengan pasangan, tapi mempersiapkan wedding day juga; kompromi dengan pasangan, keluarga dan sahabat-sahabat terdekat. Sekarang-sekarang kalau dipikir-pikir, kayaknya nggak perlu banget deh saya ngotot-ngotot-nyebelin pengin kawin tamasya, tokh yang diminta oleh keluarga bukan hal yang 'wah', hanya makan siang sebagai pengucapan syukur.

Ketika saya mulai menerima, ternyata kesebalan saya berubah menjadi excitement. Daaan, ternyata,  dream wedding saya berubah! Pake ada resepsi, boleh lah. :D

Bisa dibilang, saya dan partner memang menekan budget, karena kami tahu, pengeluaran rumah tangga itu nantinya banyak, kami nggak mau gara-gara budget wedding day kebesaran, setelahnya masih harus nyicil pinjaman dana kawin ke bank misalnya. Atau nyusahin ortu. Alasan sekali seumur hidup, besar-besaran nggak apa-apa, asli nggak masuk di otak kami. JUSTRU buat apa menyengsarakan diri dalam jangka waktu panjang, untuk yang sekali seumur hidup? :)


Rabu, Juli 01, 2015

[Keseharian] (Ke)Takut(an) Akan Tuhan

“Fear has to be the opposite of God because it is the opposite of love. Fear is selfish, needy and focused on you. It makes no sense for God to want you in fear about Him or your life.  It comes down to this: either God wants you to live in fear of Him, always afraid you aren’t good enough and focused on yourself, or He wants you to live in love, knowing you are safe, and focused on loving other people. Which feels more accurate to you?”  ― Kimberly Giles, Choosing Clarity: The Path to Fearlessness
...jadi ketaatan itu karena diawasi dan takut kena hukuman, kalau nggak ada yang mengawasi bubar. Saya rasa akan berbeda kejadiannya jika ketaatan itu muncul karena kesadaran diri, '...gue pake helm soalnya kepala gue berharga.' Mau ada polisi, mau tidak, tetap saja pakai..
Beberapa waktu yang lalu, saat sedang mengantre dokter gigi, saya melihat sebuah tayangan religi di televisi, yang isinya kurang lebih tentang manusia zholim, yang kemudian mendapat hukuman sakit kulit parah. Well, sepertinya semua tayangan religi yang ada di TV inti ceritanya seperti ini semua kali ya? Yang membedakan cuma hukuman yang diterima oleh manusia-manusia antagonis saja; bisa kelelep, lumpuh, buta, terbakar, tidak bisa dikubur dan lain-lain.  Sementara sang tokoh protagonis yang cenderung naif hidup berbahagia.

Terus terang cara menyampaikan ajaran agama (apa pun) dengan 'menakut-nakuti' ini seperti ini tidak pernah gagal membuat saya mengernyit dan bertanya-tanya : apakah memang agar umat menaati perintah yang ada di agamanya harus diancam dengan kemarahan Tuhan? Apakah menganut agama itu harus dengan penuh ketakutan?

Saya kemudian menganalogikan 'aturan' agama ini bagaikan peraturan lalu lintas; misal perkara memakai helm. Bahwa memakai helm ini sebenarnya untuk keselamatan diri sendiri, karena aspal itu lebih keras daripada kepala manusia, Jendral. Namun dalam peraturan ini, kita semua tahu ada hukuman bila kita tidak menaatinya, yaitu kena tilang. Sejauh ini efektif, orang-orang memakai helm saat berkendara dengan roda dua, tentu saja karena takut harus membayar sejumlah uang saat ketangkep polisi lalu lintas. Tapi apa yang terjadi saat tidak ada polisi yang mengawasi? Helm dibuka. Beberapa kali saya melihat orang-orang yang saya kenal malas memakai helm karena 'cuma' mau pergi ke warung atau minimarket kompleks rumah. 'Ah dekat kok, nggak ada polisi' kata mereka. Duh, seolah-olah karena jaraknya dekat maka jalan akan berubah selembut peyeum.

Iya, jadi ketaatan itu karena diawasi dan takut kena hukuman, kalau nggak ada yang mengawasi bubar. Saya rasa akan berbeda kejadiannya jika ketaatan itu muncul karena kesadaran diri, gue pake helm soalnya kepala gue berharga. Mau ada polisi, mau tidak, tetap saja pakai.