Laman

Rabu, Mei 31, 2017

Antara Film Disney Princess Klasik dan 'Pesan Moral' di Dalamnya


Parenting girls makes you quite gender-conscious - it's almost impossible to fight the power of pink. It's not such a terrible thing to want to be a princess when you're five, but it would be nice if there were some other options.
Robert Webb  

Catatan : Sebenarnya ini obrolan bertahun-tahun yang lalu, yang tadinya mau saya tulis, namun entah mengapa tidak saya selesaikan, Pagi ini saya menemukannya lagi di draft blog, kok kayak pas dengan kondisi saya yang sudah mamak-mamak dan khawatir dengan muatan pesan di berbagai media anak-anak, jadilah ini saya edit dan publish.

....jadi saja, saya insaf, nggak pengin bercita-cita menemukan prince charming lagi dan baru menikah di umur 38. HAHA
Jadi, waktu kecil, saya menggilai film-film kartun Disney, terutama kisah klasik princess, seperti Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty dan kawan-kawan. Gegara film-film tersebut, kemudian saya jadi pengin punya baju princess. Saya masih ingat betul di ulang tahun saya yang ke-5, ibu saya membelikan saya dress cantik dan menyebutnya 'Ini, baju Cinderella-nya'. Eh ciyeh, baju Cinderella bok! Dan saya merasa sangat kece memakai baju tersebut.

Oh, film-film tersebut juga telah berhasil membuat saya berpikir bahwa tujuan  kehidupan (seorang perempuan) adalah... yes, menikah. Bagi saya pra remaja, menikah adalah akhir bahagia kehidupan umat manusia. Ya, gimana, kan itu yang saya lihat di film-film princess-nya Disney yang bilang... and they lived happily ever after.

Untung saja, seiring dengan berjalannya waktu, saya menemukan banyak pengetahuan, banyak pengalaman dan berinteraksi dengan beragam orang. Semua itu kemudian membuat saya mengubah pola pikir saya tentang kehidupan seorang manusia. Pada akhirnya, selama hidupnya manusia itu harus bisa mengeksplorasi dan mengembangkan minat dan bakat seluas mungkin, memperkaya pengetahuan dan kemampuan serta menikmat hidup semaksimal mungkin. Saya insaf, nggak bercita-cita menemukan prince charming lagi dan baru menikah di umur 38.



Film, walau pun tujuannya untuk menghibur, namun bisa menjadi media penyampai satu pesan bagi audience-nya. Film kartun pun demikian; apa lagi kalau audiensnya anak-anak yang gampang banget menyerap informasi. 'Pesan' misleading yang disampaikan oleh film kartun bisa membentuk pola pikir seorang anak, bahkan dapat dijadikan kepercayaan baginya.

Seorang kawan mengaku bahwa ia pun sempat mengalami fase ter-Cinderella-pengin-kawin-dengan-pangeran. Dan pada akhirnya kami berdua mulai membahas karakter princess klasik Disney dan pesan-pesan subliminal *alah* yang dikandungnya.  Yang klasik doang lho, ya. Soalnya yang sekarang-sekarang sudah banyak yang oke juga. Kayak Merida di film Brave misalnya.

(1) Cinderella

via GIPHY

Cinderella adalah tokoh yang apes, disiksa oleh ibu dan saudari-saudari tirinya. Dan dalam kondisi tersiksa tersebut dia menanti pangeran tampan menjemput dan menyelamatkannya. Ya, 'untunglah' dia cantik, sehingga ia bisa memenangkan kontes cari istri yang diadakan oleh pangeran nan kaya raya.

Pesan moralnya : Menikah adalah jalan keluar dari segala kesulitan hidup! Jadilah trophy wife! Nah, jalan menuju kebebasan dari kesulitan hidup (aka menikah) itu menjadi mudah, kalau kamu cantik.

This, somehow reminds me of...Rey Utami dan Pablo..ah sudahlah. :D

Oke, oke, mungkin Cinderella juga membawa pesan untuk berani bermimpi, dan mewujudkan mimpi. Boleh. Sayangnya pesan yang lebih kuat (buat saya sih) ya kawinin orang kaya, maka selesai sudah masalah hidupmu. :D

(2) Snow White

via GIPHY
Snow White ini cantik, saking cantiknya sampai Sang Ratu iri dan ingin membunuhnya. Lalu, kabur kan dia, untuk menyelamatkan diri. Lah, kaburnya kok ya ke tangan tujuh kurcaci... untuk jadi pengurus rumah tangga. Dia pun naif, mau-maunya makan apel beracun, sudah jelas-jelas ia lagi diincar mau dibunuh. Sama seperti Cinderella, segala keapesan kehidupannya berakhir setelah sang pangeran datang menyelamatkannya.

Pesan moralnya : hal yang paling penting bagi perempuan adalah kecantikan fisiknya, thok. Dan perempuan boleh melakukan apa saja untuk menjadi yang tercantik. Lalu, pesan lainnya, karena laki-laki nggak piawai mengerjakan pekerjaan domestik, maka perempuanlah yang harus mengerjakannya. Mencuci pakaian, membereskan rumah dan lain-lain harus dikerjakan dengan gembira ya? Sabar aja, nanti juga ada pangeran yang akan menikahimu.

Satu lagi yang bikin gemes adalah, soal ciuman lagi. Mengesankan menyentuh fisik perempuan itu boleh, walau tanpa izin yang empunya tubuh. Lalu aksi ini dibuat legal dengan excuse : kan untuk menyelamatkannya dari pengaruh kutuk penyihir. Yea yea.

3. Sleeping Beauty

via GIPHY
Dalam film ini, Aurora kena kutukan tertidur, sampai seorang pangeran datang untuk menyelamatkannya. Lalu, datanglah sang pangeran, nggak ngobrol, nggak nge-date, ujug-ujug jatuh cinta dan menciumnya.

Pesan moral : Kalau cantik, nggak usah ngapa-ngapain, orang pasti tertarik. Maka mari menjadi cantik! Ya memang iya, sih, masyarakat sekarang ya masyarakat superficial, yang cantik dan rupawan bakal lebih diuntungkan dalam lingkungan sosial, yang kurang rupawan harus usaha lebih. BHAHAK. Sial.

Satu lagi yang bikin gemes adalah, soal ciuman tanpa izin lagi! Seolah-olah diwajarkan untuk ngapa-ngapain perempuan saat ia tidak berdaya.

4. Little Mermaid


via GIPHY
Ariel Si putri duyung, demi bisa bersama dengan pangeran yang ia cinta, rela melawan orangtua, meninggalkan keluarga, menyerahkan pita suara pada Ursula, bahkan bersakit-sakit menanggalkan buntut duyungnya.

Pesan moral : kalau sudah jatuh cinta dengan seorang laki-laki, lakukan apa pun demi laki-laki tersebut, bahkan jika harus menyakiti keluarga, menyia-nyiakan potensi, bakat atau prestasi atau menyakiti diri sendiri.

5. Beauty And The Beast

via GIPHY
Belle terpaksa dijual ke orang lain karena hutang, dan sialnya orang tersebut adalah orang kaya buruk rupa dan buruk perangai. Namun ia bertahan dalam relationship paksaan tersebut. Lambat laun,karena kesabaran dan kebaikannya, maka perangai sang Pangeran yang abusif pun melembut.

Pesan moral : Bahwa kita nggak punya hak untuk menentukan kehidupan kita. Lalu, kita, perempuan, adalah juru selamat bagi laki-laki. Jadi, kalau satu saat kita mendapatkan pasangan yang abusif, tabah, sabar dan bertahanlah. Cinta kita akan memperbaiki sifatnya. Ini sih seolah mengatakan iya pada KDRT dan kekerasan dalam hubungan perpacaran.

Begitu deh, kurang lebih, hasil obrolan kami di hari itu. Ya ini sih hasil obrolan iseng doang ya, buat penggemar radikal Disney Princess klasik, please, sayanya jangan dimarahin. :D

Peace, yow!

Rabu, Mei 24, 2017

3 Alasan Saya Tidak Mengunggah Foto Anak di Media Sosial

There are a lot of pros and cons about social media; it's just how you choose to handle it and how you have to be prepared for the negatives as well. 
Aubrey Peeples

....bukannya saya nggak bangga sama anak saya, lho! Aduh, kalau ngikutin nafsu jempol posting sih, udah ribuan foto terunggah kali.
Anak kamu baik-baik aja, kan?

Ini kesekian kalinya saya mendapat pertanyaan dari kenalan dengan isi yang kurang lebih mempertanyakan kondisi anak saya; baik itu via Whatsapp mau pun  Facebook Messenger.

Waktu pertama kali sih saya bingung ke mana arah pertanyaan tersebut, sampai pada akhirnya saya baru mengerti setelah dijelaskan.

Ya, abis kamu nggak pernah upload fotonya sih di FB.

Iya, banyak orang menyangka saya tidak pernah mem-posting foto anak saya di media sosial karena saya menyembunyikan kondisi(fisik)nya. Bahkan ada juga nih orang yang--- sebelum saya sempat mengatakan apa pun ---  sudah memberikan wejangan agar apapun dan bagaimana pun kondisi anak, kita harus menerima dan harus bangga, supaya perkembangan mental sang anak baik dan lain sebagainya sebagainya.

Spontan saya nyengir.

Anak saya baik-baik saja. Alasan saya nggak posting sama sekali nggak ada hubunganya dengan kondisi fisik anak saya, kok. Ini hanya kesepakatan bersama, antara saya dan partner.

Walau pun... ssst... setelah punya anak, ternyata godaan untuk posting tentang anak itu begitu besar!  Pernah saya khilaf unggah foto di Path, saya tandai inner circle, tapi kemudia saya menyesal dan saya hapus foto tersebut.

Iya, segitu besarnya godaan itu! Rasanya semua yang dilakukan oleh anak saya sangat lucu, sampai perlu dilihat oleh jagad raya. Bahkan dia napas pun lucu, sumpah! :)))

Eh, sampai mana tadi?



Oke...

Saya masih ingat betul, beberapa alasan yang sempat kami bahas tentang posting foto anak di media sosial, yaitu

1. Mengurangi kemungkinan mempermalukan anak saya.
Sebagai orangtua yang pro consent, tentu saja saya dan partner berprinsip, apa pun yang dilakukan untuk anak kami, harus diketahui dan disetujui anak kami, atau harus berdasarkan hasil kompromi antara kami sebagai orangtua dengan dia. Iya, memang consent ini baru bisa berjalan jika anak sudah cukup besar, namun nggak ada salahnya kan berlatih untuk membiasakan diri? Hal-hal receh, seperti membersihkan hidung, membersihkan telinga, minum obat atau aktivitas lain yang tidak disukainya namun harus dilakukan demi kebaikannya, sering kami sertai kata 'Maaf yaaa, tapi ini kan (sebutkan kebaikan untuk dia)'

Perwujudan dari prinsip ini, sebagian kecilnya adalah telinganya tidak ditindik sedari bayi, kami mau dia yang memintanya sendiri setelah besar. Yang kedua, kami tidak akan memaksa dirinya untuk mau dipeluk, dicium atau digendong orang lain.
 
Nah, sharing foto pun kami berlakukan kebijakan yang sama. Mengunggah foto tanpa sepengetahuannya, ya sama saja, melanggar prinsip pro consent ini. Gimana kalau ternyata dia nggak suka kami meng-upload fotonya?

Ada satu kasus nih, beberapa tahun yang lalu saya pernah dicurhati oleh salah seorang mantan mahasiswi;  katanya ia sebal karena ibunya sering mengunggah (dan menge-tag) foto dirinya tanpa izin di Facebook. Ketika ia menunjukkan salah satu foto yang bikin uring-uringan itu, ternyata foto tersebut biasa saja, foto sang mahasiswi mencium sang ibu. Ketika saya tanya, kenapa ia sebal... ternyata foto itu menyebabkan dirinya jadi bahan olok-olokan di kampus. :D

Kami berusaha untuk membiarkan ia tetap anonim di dunia digital, supaya ia bisa melewati masa pubertasnya dengan relatif aman, tanpa ribuan jejak-jejak digital memalukan, yang bisa menjadi bahan celaan teman-temannya.

Idealnya, sih, kami tidak sharing... well, salah, saya tidak sharing (soalnya partner memang nggak sharing apa pun tentang anak di media sosialnya) apa pun sih ya? Karena apa pun bisa memiliki potensi bahan celaan/bully-an. Namun, namanya juga mamak-mamak, remember? Jiwa pamernya tinggi, jadi terkadang saya suka upload foto... jarinya, atau kakinya, atau punggungnya, atau kepalanya kayak foto di atas. :)))

Bahkan saya juga suka sharing tentang suka duka menjadi ibu, di Instagram. Walau pun sebenarnya subyek dari ceritanya adalah saya, si new mom ini, namun tentu saja si anak terlibat juga.

Maafkan Ibu, Nak, tapi kan ibu tidak upload foto, juga tidak memberi tahu nama dan segala data kamu yang sebenarnya. Bukankah di era media sosial ini berlaku hukum no pic = hoax? Jadi jika sewaktu-waktu ada teman yang meledekmu gara-gara postingan ibu, kamu boleh ngeles 'Ih, emang dia ibu saya?', kok! :D


2. Menekan kemungkinan (foto) anak saya terpapar oleh orang jahat.
Sebut saja kasus Official Candy's Group, sebuah group online di Facebook yang beranggotakan ratusan pedofil. Kasus ini membuktikan bahwa orang yang jahat pada anak-anak di luaran sana banyak dan... yes, hal ini super menakutkan bagi saya. 

Di beberapa artikel yang pernah saya baca, para pedofil ini sering mencuri foto anak-anak kecil dan memasukkannya ke website dengan audience yang memiliki kelainan ini, disertai dengan komentar eksplisit seksual. Ewwww.

Lalu ada juga kasus foto-foto anak yang diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab, untuk kemudian diklaim sebagai foto anaknya. Entah untuk apa. Ngeri ih.

Belum lagi kebijakan Facebook yang bisa bisa menyarankan orang men-tag foto hanya berdasarkan hasil memindai dan membandingkan foto teman-teman kita dengan profile picture dan foto kita yang telah ditandai orang. Dengan demikian, artinya ketahuan dong, siapa saja orang-orang terdekat anak saya? Otak kriminal saya membayangkan, siapa saja inner circle anak saya bisa dimanfaatkan untuk menipu.

Saya nggak mau (foto) anak saya disalahgunakan oleh pedofil. Saya pun nggak mau anak saya diaku-aku oleh orang lain. Saya nggak mau ada yang menelepon/menghubungi inner circle anak saya untuk kemudian mengatakan 'Si (Anak saya) kecelakaan, transfer sekian untuk operasinya'

Iya, memang saya parnoan. :D

3. Menghindari waktu bersama yang berkurang gara-gara sibuk berfoto.
Oke, namanya juga mamak-mamak dengan handphone, yes? Maunya sih, setiap anak bergerak, saking lucunya (menurut kita), ya diabadikan. Itulah yang pernah saya lakukan, anak geser dikit difoto, anak ketawa sedikit, difoto. Pokoknya handphone pernah tidak terlepas dari tangan. Akibatnya? Waktu yang dipakai untuk bersamanya 'terganggu' dengan waktu berfoto. Belum lagi kalau saya gatel memberi filter ini itu. Duh. Lalu jeleknya lagi.... anak saya jadi gila difoto jugaaa cobaaaaa.

Kalau saya memegang handphone di dekatnya, maka ia akan menunjuk sambil bilang 'Uh,uh!', minta difoto dong! Seusai difoto dan diperlihatkan hasilnya, minta difoto lagi, terus aja begitu sampai ia sweet seventeen-an

Ya kali main bareng dia berjam-jam foto-fotoan melulu? Nggak sehat sih, bagi saya. Sejak saat itu, saya selalu mengenyahkan handphone saat bersama anak. Biarlah yang lebih sering memfoto itu nenek-neneknya, kakek-kakeknya, oom-oomnya, tante-tantenya... tinggal saya minta kirim fotonya via Whatsapp :))



Kurang lebih seperti itulah, alasan saya nggak mengunggah foto anak saya di media sosial. Jadi bukannya saya nggak bangga sama anak saya, lho! Aduh, kalau ngikutin nafsu jempol posting sih, udah ribuan foto terunggah kali. :))

Tapi, bukibuk dan pakbapak, buat saya mengunggah/tidak mengunggah foto atau data apa pun ke media sosial adalah keputusan masing-masing individu, kok. Posting ini bukan mau bilang bahwa keputusan saya yang paling benar dan yang lain salah, lho!

So, ada yang memutuskan untuk tidak posting foto anak juga di media sosial? Alasannya apa?

Atau, untuk yang memutuskan mengunggah foto anak, alasannya apa?



Kamis, Mei 04, 2017

Setahun Menyusui : Dari Freezer Yang Nggak Penuh Sampai Tidak Rela Menyapih


A newborn baby has only three demands. They are warmth in the arms of its mother, food from her breasts, and security in the knowledge of her presence. Breastfeeding satisfies all three.

Grantly Dick-Read

Yang jelas pemikiran saya bahwa menyusui itu hanya aktivitas memberi makan bagi bayi berubah banget. Nggak, menyusui itu nggak sesederhana itu, kompleks bo!
Okeh. Anak saya baru saja ulang tahun ke-1 beberapa waktu yang lain. Fiuh! Sampai juga bok, setahun. Saya nggak mau bilang nggak berasa, ah! Setahun ini, walau berlalu cepat banget, tapi ups and downs-nya kerasa deh! Pakai banget.

Anak saya sudah setahun, artinya sudah setahun saya full menyusui. Jadi kalau menurut AIMI-ASI, anak saya sudah S2 ASI. Etsaah.