Laman

Selasa, Desember 11, 2018

Ketika Menjadi Saksi Kekerasan di Tempat Umum.


People image created by Rawpixel.com - Freepik.com

The world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything. ― Albert Einstein


....mengintervensi tindakan kekerasan di ruang publik itu butuh strategi, bukan sekedar nyetop kayak nyetop angkot.
Lagi-lagi gara-gara saya iseng menelusuri feeds Instagram, saya menemukan sebuah posting yang asli menggelitik saya. Isinya sebuah video yang menunjukkan seorang perempuan berjilbab hitam sedang dipukuli seorang laki-laki. Tampak di video tersebut tidak ada orang yang bertindak mencegah, sampai kemudian petugas keamanan datang. Video itu hanya beberapa detik saja durasinya dan diberi caption  yang intinya sih menyebutkan bahwa orang Indonesia itu kurang peduli sesama, dan mempertanyakan kenapa tidak ada yang menolong.

Kemudian komentar-komentar senada bermunculan, menghujat orang-orang yang tampak lalu-lalang, menghujat yang mem-videokan, dan menyatakan jika mereka ada di lokasi, sudah pasti akan langsung mengambil tindakan menghentikan.

Ya, saya setuju jika satu saat menjadi saksi tindak kekerasan di tempat umum, kita harus berusaha untuk mengintervensinya. Tapi sejujurnya, hal tersebut nggak semudah juga menghentikan tindak kekerasan dalam shitnetron.

"Hentikan, Badrun! Kau menyakitinya!" ujar Arman

Kemudian Badrun menghentikan pukulannya pada Siti,'Jangan campuri urusanku, Kawan!"

Kemudian Badrun dan Arman berdialog panjang bertele-tele. Siti seharusnya bisa melarikan diri. Seharusnya sih ya.

Oke abaikan.

Nggak semudah itu, beneran! Saya berani bilang gini, karena saya pernah mengalami menjadi bystander tindak kekerasan, Ini nggak sengaja sik. Waktu itu saya baru pulang kerja, tetiba ketika melewati sebuah toko kecil, keluarlah sepasang perempuan dan laki-laki. Mereka berantem, dan sang laki-laki menampar si perempuan. Jarak saya cuma 1 meter dari mereka.

Apa yang saya lakukan? Apakah saya menghentikan mereka?

Enggak. Aslik saya nggak bisa ngapa-ngapain, kayak lumpuh. Belakangan saya baru tahu kalau yang saya alami adalah tonic immobility.

Saya baru bisa bereaksi ketika melihat sang laki-laki hendak menampar lagi. Yang saya katakan, 'Aduh, jangan!' pelan. Laki-laki tersebut menoleh, kemudian dia mendorong saya sambil menyeret sang perempuan pergi. Saya yang memang sedang dalam kondisi tidak siaga, akhirnya terjengkang masuk ke dalam got.

Cerita lain, partner saya pernah mencoba mencari tahu kondisi seorang anak jalanan yang ia duga disiksa oleh seseorang. Hasilnya? Ia dikuntit.

Iya, selalu ada potensi / risiko bahaya bagi bystander yang berusaha bertindak untuk mengintervensi kekerasan. Bukan saya dan partner saja yang pernah mengalami ini. Saya sempat membahas masalah ini di Instastory,beberapa mengaku pernah dimaki-maki, bahkan ditampar gegara berusaha mengintervensi aksi kekerasan.

Dan bahayanya pun bukan cuma buat si bystander, tapi buat korban juga!

Seorang kawan membuat pengakuan via DM (hei, kamu! Terima kasih karena telah mempercayakan cerita kamu pada saya), katanya dulu, waktu ia disiksa di ruang publik oleh pasangannya yang abusif, setiap tindakan untuk menolong, membuat pelaku semakin agresif dan destruktif. Pasangannya baru berhenti ketika beberapa orang menyuruhnya istighfar.

Pengakuan lain, seorang ibu sempat menjadi saksi kekerasan terhadap anak kecil. Sang anak ditampari. Ketika ibu ini berusaha menghentikan ibu yang kalap, yang ada ia dimaki-maki, dan frekuensi pukulan ke sang anak semakin meningkat.

Ya gitulah. Intinya, mengintervensi tindakan kekerasan di ruang publik itu butuh strategi, bukan sekedar nyetop kayak nyetop angkota.

Akhirnya saya menelusuri beberapa artikel yang memberi tips apa saja yang harus dilakukan, sekiranya kita ada di lokasi kejadian. Ternyata hanya ada 4 tindakan, dan tindakan mengintervensi langsung, tidak ada di dalamnya.

1. Memanggil pihak yang punya power di tempat tersebut : Satpam, manager on duty, kepala sekolah, guru, polisi.

2. Berusaha mendistraksi dengan cara yang aman. Ingat nggak sih, zaman SMA, kalau berantem, tau-tau ada yang bilang 'Awas ada guru!', kerumunan bubar dan perkelahian berhenti? Mungkin cara tersebut bisa digunakan, misal berteriak 'Awas, ada polisi!'.  Atau tiup peluit.

Hah? Peluit? Emang gue bawa-bawa peluit? Ujar netyzen.

Ya kali aja ada yang mau bawa peluit. Enggak, ini nggak lagi becanda. Ada satu tip yang pernah diberikan oleh senior saya waktu saya sering-seringnya travel sendirian, yakni : bawa peluit. Bunyi peluit itu punya kecenderungan menarik perhatian orang. Saya bisa meniupnya jika dalam keadaan darurat.

3. Rekam kejadian. Nah, netyzen, jangan julid dulu sama yang merekam kondisi. Kenapa harus merekam? Karenaaa, rekaman tersebut bisa menjadi barang bukti jikalau korban ingin membawa kasus ini ke ranah hukum.

4. Dampingi korban setelah terlepas dari pelaku, tanyakan apakah ia baik-baik saja dan lakukan apa saja yang bisa membantunya. Mengantar pulang, mengantar ke rumah sakit etc.

Lalu saya melempar satu pertanyaan, masih via Instastory. Dan ada satu hal menarik yang dijawab oleh para ibu : mengumpulkan massa untuk menghentikan aksi kekerasan ini. Memprovokasi orang untuk bertindak. Tidak ada yang lebih powerful untuk melakukan apa pun, dibandingkan dengan kekuatan massa.

Anyway, tapi ini hanya berlaku untuk aksi yang jumlah yang terlibatnya sedikit yak? Kalau sudah seperti tawuran, the best way adalah menghindar dan lapor polisi.

Sebagai tambahan, ini ada beberapa hotline yang sekrianya dibutuhkan untuk kondisi darurat (saya dapat nomor ini dari satu artikel dari website berita daring, kayaknya Tempo gitu, lupa :
  • Layanan Gawat Darurat : 119
  • Ambulans 118
  • Nomor darurat polisi 110
  • KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) 021-31901556
  • Komnas Perempuan 021-3903963
  • SIKAP (Solidaritas Aksi Korban Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan) 021-31906933
  • LBH APIK 02187797289
  • Pusat Krisis Terpadu RSCM 0213612261

Atau follow Instagram : @Pengadalayaan yakni jaringan lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan. Berjumlah 115 lembaga, tersebar di 32 propinsi.