Laman

Senin, Oktober 22, 2018

Moana dan 5 pelajaran Bagus-nya Buat Anak Saya


You may hear a voice inside
And if the voice starts to whisper
To follow the farthest star
Moana, that voice inside is
Who you are

(Where You Are - Grandma Tala)

...Saya ingin anak saya belajar untuk mencari panggilan hidupnya dan mengikutinya. Persetan dengan template lahir-sekolah-kerja-kawin dalam masyarakat..
Jadi, Lilo ini lagi tergila-gila Moana. Entah udah berapa puluh kali dia nonton Moana. Kalau nonton Youtube pun, pasti ujung-ujungnya ke clip film Moana, atau video-video soundtrack-nya film tersebut.

Kemudian, dia mulai mengidentifikasikan dirinya menjadi Moana, dilanjutkan dengan permainan role-playing berlayar di samudra. Bapaknya menjadi Maui, sang demi god.

Lalu, saya (disuruh) jadi apa?

Uhuk.


via GIPHY

YHA! Saya disuruh jadi Heihei, si ayam bloon yang jadi teman Moana selama perjalanan. Ya sudahlah ya, apa pun yang bikin anak saya senang.

Ngomong-ngomong, Moana ini adalah film Disney's princess pertama yang saya approved untuk ditonton oleh Lilo. Nanti-nantinya mungkin Brave, Frozen, Princess and The Frog, Tangled, Mulan, dan Pochahontas

Yang saya nggak approved itu ya princess klasiknya Disney yang ngasih pesan misleading tentang menjadi perempuan. Semua-semua ngasih pesan bahwa cowok/cari suami adalah hal terpenting dalam kehidupan seorang perempuan. Hah, please.

Haha, maafkan, saya memang antipati sama princess klasik Disney's, entah itu Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, Little Mermaid dan Beauty and The Beast.

BACA JUGA : ANTARA FILM PRINCESS DISNEY KLASIK DAN PESAN MORAL DI DALAMNYA.

Kenapa Moana saya approved? Ya, ada beberapa poin, baik dari cerita, mau pun soundtrack-nya yang kata saya bagus dan bisa jadi pelajaran bagi anak saya agar bertumbuh sebagai individu yang menyadari minat, bakat dan potensi serta memanfaatkannya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kehidupannya sepenuh-penuhnya. Ahzeg.

Apa saja?

1. Bahwa urusan perempuan bukan urusan cari suami doang!
Satu hal yang saya suka dari film Moana adalah.... sama sekali nggak ada love interest! Nggak ada pangeran, nggak ada kisah cecintaan bahkan sebagai bumbu sekali pun. Yay! Di sini malah fokusnya ke usaha Moana untuk menyelamatkan rakyatnya.

Semoga Lilo tumbuh menjadi anak yang enggak takut jomblo dan enggak kebelet kawin, sampai melupakan hal-hal penting lain yang harus dan mampu ia lakukan!

2. Bahwa hidup orang itu nggak ada template-nya, beda-beda setiap orang, tergantung gimana panggilan hidupnya.
Selalu ada anggapan bahwa cetakan jalan kehidupan setiap orang (terutama perempuan) itu ya gitu : lahir, sekolah, lulus, kerja, nikah, punya anak, sekolahin anak, ngawinin anak, punya cucu daan seterusnya begitu. Makanya sering terjadi pengabaian terhadap panggilan hidup setiap orang.

Nggak setiap orang pengin beranak-pinak, cuma gegara entah ada kesepakatan template jalan hidup, maka orang yang demikian dianggap aneh.

Bahkan Moana aja merasa ada yang salah dengan dirinya.

I know everybody on this island, seems so happy on this island
Everything is by design
I know everybody on this island has a role on this island
So maybe I can roll with mine
I can lead with pride, I can make us strong
I'll be satisfied if I play along
But the voice inside sings a different song
What is wrong with me?
(How far I'll go-Auli'i Cravalho)

Dan pada akhirnya, ternyata Moana nggak salah tuh, punya panggilan hidup berlayar. Ye kan?

Saya ingin anak saya belajar untuk mencari panggilan hidupnya dan mengikutinya. Persetan dengan template lahir-sekolah-kerja-kawin dalam masyarakat.

3. Perempuan itu boleh dan penting melakukan hal-hal yang biasanya ditujukan buat cowok.
Di film ini, Moana banyak melakukan hal-hal yang dikategorikan aktivitasnya laki-laki : memanjat, berlayar, dan lain sebagainya. Ini pas banget dengan nilai yang pengin saya ajarkan pada anak saya supaya nggak terikat pada pembagian kerja berdasarkan gender yang ada di masyarakat. Bukannya apa-apa, takutnya sih, anak saya jadi nggak leluasa menemukan dan mengembangkan minat dan potensinya karena keburu dibatasi duluan. Mungkin aja ternyata dia punya minat dan potensi di bidang otomotif, cuma gegara nggak diperkenalkan, jadinya dia nggak bisa menemukan hal tersebut.

Lagian penting juga sik menguasai beberapa hal basic, buat survival. Kayak Moana yang bisa berlayar, nggak apa-apa juga kan  anak saya bisa ganti ban. Biar nggak tergantung orang. Atau kalau nyuruh orang ganti ban, dia bisa mengamati dan berkomentar kalau ada yang nggak sesuai.

BACA JUGA : SIAPA BILANG ANAK 2 TAHUN TIDAK BISA DIAJARI FEMINISME?

4. Berprinsip teguh dan berani ngapa-ngapain Sendiri.
Anak saya nge-geng nggak apa-apa. Dulu saya juga nge-geng. Tapi dia juga sekaligus harus punya prinsip sendiri. Berteman haha-hihi oke, tapi memangnya ketika satu anggota geng-nya ngapa-ngapain, dia harus ikutan juga? Gimana kalau hal tersebut nggak sesuai hati nurani?

Saya pun nggak mau anak saya terpapar budaya ABG ke WC rame-rame; yang mau buang hajat cuma satu yang lainnya cuma nemenin. Saya mau anak saya mandiri, nggak mesti ada temen kalau mau ngapa-ngapain. Jangan sampai dia urung melakukan sesuatu gegara gak ada teman.

Moana ngasih pelajaran ini dengan cuek berlayar sendirian untuk mengembalikan hati Te-Fiti. Ya, walau pun di perjalanan dia mengajak Maui sih, tapi kan nggak dari awal dia ngajak ibu, bapak, tetangga, ibunya tetangga, bapaknya tetangga dan sekampung buat nemenin dia kan?

Saya pengin anak saya cuek dan berani melakukan apa yang perlu/ingin dilakukan, tanpa tergantung dari (approval) geng-nya.

5. Tidak menilai orang dari fisiknya.
Mulai dari tidak menganggap Heihei sebagai sosok ayam nggak berguna, sampai tidak menilai buruk Te Ka yang padahal sudah menyerangnya. Saya pengin anak saya tidak menilai segala sesuatu dari apa yang kasat mata.

Gitu deh.

Itu adalah pelajaran buat Lilo. Nah, kalau saya, sebagai orangtua, dapat apa, selain disuruh jadi ayam? 

Ada satu sih, Yang mungkin kerasa berat : jadi orangtua jangan terlalu over-protective. biarkan anak berani eksplorasi, biarkan anak pergi menjalani panggilan hidupnya sendiri.

*Sigh* 

Sesungguhnya pelajaran yang buat orangtua ini susah. Karena sebagai emak-emak, naluri ini ingin rasanya ngekepin anak sampe wisuda S-2. 

Tapi nggak bisa bijitu juga ye kan?
.

Karena sebenernya anak itu individual yang punya panggilan hidup dan 'perang'-nya  sendiri, orangtua cuma dititipin buat menyiapkannya menghadapi dunia.
.
*Kemudian mellow*

Senin, Oktober 15, 2018

Kata Mereka : Apa Yang Engkau Cari, Wahai Working Mom?

It's important for women to work. They need to keep their independence, to keep earning and being challenged. - Tamara Mellon


...setiap keluarga yang pihak ibu-nya bekerja punya solusi masing-masing soal anak yes? Nggak berarti begitu ibu bekerja maka anak jadi auto-terbengkalai.
Di satu malam yang selo, karena Lilo sudah tidur dan tidak ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan, 'jalan-jalan'-lah saya dari satu akun ke akun Instagram lain, dan berhenti di akun tirto.id, pas di infografik yang berisi tentang perempuan bekerja.

Infografiknya sih biasa, yang rame ya justru komentar-komentarnya.

Kalau dipikir-pikir,  akun IG tirto.id ini sama lho, kayak akun lambe-lambean. Komentarnya lebih seru dibandingkan posting foto dan caption-nya. Netyzen julid maha menghibur memang. HAHA.

Saya sadar sepenuhnya bahwa working mom dan stay at home mom adalah sebuah topik klise yang sudah lama diperdebatkan. Nggak di Indonesia, nggak di luar negeri, di mana ada forum para Bunda, tentu akan ada mommywar dengan topik (salah satunya) working mom vs stay at home mom

Apa penyebab 'perang' ini? Karena adanya gender roles tradisional, di mana laki-laki adalah breadwinner, pihak yang mencari nafkah dan penghasilan yang diperolehnya untuk menghidupi keluarga, sementara perempuan adalah pihak yang mengurus rumah tangga dan mendidik anak. 

Gender roles ini sebenarnya konstruksi sosial doang sih. Sayangnya masih banyak orang yang nggak sadar dan menganggapnya sebagai satu 'kodrat' yang nggak bisa diganggu gugat. Jadinya, working mom kemudian di-judge sosial sebagai perempuan yang menyalahi 'kodrat'. Berantem deh jadinya. Ya iya, manalah ada orang yang suka di-judge negatif.

Padahal, siapa yang kerja, siapa yang ngurus keluarga, ya gimana kesepakatan internal aja kali nggak?

Saya ada di kubu mana? Hm.

Kalau dipikir-pikir, saya adalah seorang perempuan setengah working mom dan setengah stay at home mom. Semacam amfibi gitu deh. Jadi saya netral yak, jangan digebukin. :))

Balik lagi, karena selo, saya pun menelusuri komen demi komen di posting tersebut. Syukurnya, sudah banyak (setidaknya di komentar-komentarnya) yang menyadari bahwa gender role tradisional untuk urusan nafkah-menafkahi itu cair, bisa didekonstruksi dan disesuaikan dengan kondisi.

Opini mereka yang kontra working mom kebanyakan klasik juga, dan nggak jauh-jauh dari gender roles tradisional. Namun ada satu komentar yang menarik, intinya kurang lebih mempertanyakan apa yang dicari working mom.

Apa yang engkau cari wahai, working mom? Tugasmu adalah di rumah, mendidik anak. Begitulah kura-kura.

Di sini, saya menempatkan diri sebagai working mom ya. Jadi apa alasan saya tetap bekerja? Apakah takhta dan permata? Eaak.

Ada beberapa poin yang telah saya dan partner bicarakan sebelum menikah soal saya dan pekerjaan saya, yang ujung-ujungnya membuat kami saling menyepakati bahwa saya tetap kerja, even setelah punya anak, yaitu :

Men-support kebutuhan keluarga secara finansial, apa lagiiii. Sesyungguhnya kami berdua tidaklah lahir dari trah Bakri. Butuh duit bok! Anyway, orang-orang yang kontra dengan working mom sering bilang, kalau penghasilan suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, walau tidak berlebih, sebaiknya istri di rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga.

Well, penghasilan partner saya, kalau dibilang cukup ya cukup sih, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, cukup juga untuk bayar cicilan rumah. Aman kok, kalau dia doang yang bekerja.

Cuma saya dan partner membutuhkan keleluasaan finansial, sehingga kami bisa memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier plus bayar cicilan rumah, memenuhi kebutuhan masa depan dan nabung! Maruk? Mungkin.  tapi kan kalau kata Maslow, kebutuhan manusia itu bukan sekedar kebutuhan fisiologis, ye kan?

Saya, partner dan anak saya adalah individu-individu yang butuh dan harus berkembang sepenuh-penuhnya. Kami harus bukan sekedar bebas dari rasa lapar, tapi juga merasa aman dan happy plus bisa mengembangkan diri. Untuk itu kebutuhan-kebutuhan lain selain fisiologis ya harus dipenuhi dong ya?

Ahem, yang barusan saya jabarkan adalah alasan tidak egois saya, alias alasan demi kepentingan bersama.

Lalu semisal suami saya tajir melintir, apakah kemudian saya mau berhenti bekerja?

Ngng. Enggak. Karena saya punya alasan-alasan demi diri sendiri:

Saya mencintai pekerjaan saya.Terutama karena pekerjaan ini benar-benar bisa menjadi wadah saya untuk aktualisasi diri. Saya merasa potensi diri saya terus berkembang melalui pekerjaan saya, dengan berbagai macam tantangannya : keharusan untuk update perkembangan ilmu pengetahuan membuat saya banyak membaca dan cari tahu, keharusan untuk penelitian menajamkan kemampuan analisis saya, keharusan menghadapi manusia mengasah kemampun komunikasi interpersonal dan memahami orang lain, kewajiban berkarya membuat saya terus kreatif, kewajiban untuk mengabdikan ilmu untuk kepentingan masyarakat membuat saya mampu memahami masalah plus menajamkan jiwa kemanusiaan dan sosial saya, and the list goes on and on, and on.

Egois amat sik, demi aktualisasi diri sampai rela ninggalin anak.

Eh, jangan salah. Karena kebutuhan aktualisasi diri tersebut dipenuhi akibatnya nggak egois kok, yakni :

Kewarasan saya tetap terjaga.  Jadi, saya pernah ada dalam kondisi sakit dan harus terapi penyembuhan selama 6 bulan. Saya nggak bisa kerja. Apa yang terjadi? Saya kok ya malah sering sakit kepala, mudah tersinggung, mudah marah, susah tidur, susah bangun tidur dan kena eksim. Plus, ini yang parah, keinginan untuk menyakiti diri sendiri sangat besar.

Sungguhlah itu ciri-ciri stress. Dan memang setelah dicek, saya stress karena merasa tidak berguna.

Yang pertama, jelas karena tidak punya penghasilan sehingga tergantung finansial pada orang lain (keluarga), walau pun orang yang saya 'gantungi' nggak keberatan, tapi ya tetep aja sih susah menghilangkan rasa bersalah. Sudah dewasa masih ngerepotin.

Yang kedua, saya jadi minder karena ngerasa bodoh, ketinggalan jauh dari rekan-rekan sejawat, baik dari sisi skill, informasi mau pun pengetahuan. Pernah nih, dalam kondisi nggak bekerja, saya ketemuan dengan rekan-rekan sejawat dan mereka berdiskusi, saya nggak bisa ngimbangin. Mereka bergosip, saya nggak bisa nimbrung. Mau nangis.

Selain itu, saya tetap 'waras' gegara bekerja, karenaaa.... bekerja adalah me-time saya! Jadi ibu 24/7 selama bertahun-tahun itu bukan pekerjaan yang mudah. It's a tough job. The toughest job. Bok jauh lebih ringan kerja di kantor dibandingkan dengan jadi ibu. So, me-time adalah salah satu cara supaya buibuk nggak terlalu spanneng.

Saya selalu menganggap tugas mengajar di kantor adalah.. me time. Jadi selain untuk menunaikan tugas, saya pun bisa rehat sejenak dari ke-hectic-an jadi ibu. Sekali menyelam minum latte.  Kerasa banget kok, di saat saya harus full dan intensif bareng anak saya, saya jadi cepat spanneng, sementara seusai saya pulang mengajar, mau capek kayak gimana, saya emosi saya nggak cepat tersulut.

Saya rasa, kalau saya jadi stay at home mom, saya bakal kembali stress plus jadi spanneng-an. Sementara bagi saya, ibu yang baik adalah ibu yang waras, dan kalau saya nekad resign, bisa-bisa saya malah jadi ibu yang self-destructive atau lebih gawat lagi, merusak anak saya. No. No way. 

BTW, saya sempat sih sharing topik dari working mom menjadi stay at home mom, yang mancing curhat buibuk. Kebanyakan bilang, kalau sudah terbiasa kerja kemudian harus tinggal di rumah, jadinya gampang senewenan dan merasa tertinggal. Ujung-ujungnya mereka jadi working at home mom, entah buka online shop, atau ikut MLM.

Eh, tapi setiap ibu itu beda-beda yak? Ada juga sih ibu yang bisa zen menjadi stay at home mom. Kebetulan saya enggak, bahkan jadi working at home mom pun saya syulit.

Jadi bagi saya, walau pun alasan aktualisasi diri terdengar egois, tapi efeknya bisa membuat saya bahagia dan content, dan pengaruhnya, saya bisa jadi ibu yang lebih baik. :)

LALUUUU.... gimana anak saya saat saya bekerja?

Untuk kasus saya, kebetulan pekerjaan saya tidak seketat bekerja di bank yang 9 to 5. Dan partner saya pun wiraswasta. Jadi kami bisa bagi-bagi waktu dalam bekerja. Saat saya bekerja, maka dialah yang bersama anak saya, begitu pula sebaliknya.

Saya rasa setiap keluarga yang pihak ibu-nya bekerja punya solusi masing-masing soal anak yes? Nggak berarti begitu ibu bekerja maka anak jadi auto-terbengkalai. Ada yang menititpkannya pada orangtua/mertua. Ada yang mendaftarkannya ke daycare, ada yang meng-hire pengasuh khusus anak.

Semuanya ada positif dan negatifnya.

Biar fair, ini saya jabarkan positif dan negatifnya mengasuh anak sendiri walau pun bekerja.

Positifnya, yaaa, klise lah ya, saya bisa mendidik anak tepat dengan cara yang saya mau, hubungan batin saya dan anak dekat.

Nah, negatifnya jarang dibahas. Padahal cukup pelique juga.

Saya pribadi sebenarnya agak sedih karena kurang waktu untuk melakukan hobi. Hobi saya banyak. Saya juga suka ikut workshop yang berhubungan dengan craft. Pengin gitu ikutan workshop bikin jewelry kek, atau malem-malem ngegambar serius. Tapi waktunya nggak ada. Saya kerja, saat nggak kerja ya bersama anak. Saat malem, capek mau ngapa-ngapain juga. HAHASIAL.

Lalu capek, bosqu. Niat mau mendidik anak ala-ala Montessori dan segala metode apalah-apalah itu nggak selalu tereksekusi karena emaknya lelah.

Oh iya, balik lagi ke posting di tirto.id. Tau nggak sihhh, setelah dirunut-runut berbalas komentar di posting itu ternyataaa.... mereka-mereka yang kontra perempuan bekerja setelah punya anak itu.... belum kewong. HALAH! Bawel aja pade lu!