Laman

Senin, November 19, 2018

Perempuan, Ujung-ujungnya Jangan Cuma ke Dapur!



....kalau ada yang ngomong "Saat wanita lelah bekerja,  maka ia hanya ingin dinikahi.", rasanya saya gatel pengin nyeletuk : 'Cinderella, is that you?"
Mungkin pada masih ingat, beberapa bulan yang lalu sempat viral meme di Instagram dengan teks : "Saat wanita lelah bekerja, maka ia hanya ingin dinikahi."

So, kalau ada perempuan yang ngomong begitu, respons buibuk gimana?

Kalau saya sejujurnya gatel pengin nyeletuk : 'Cinderella, is that you?"

Kalau respons beberapa kawan saya lain lagi : 'Kalau capek ya pijet, bukan kewong..."

Haha.

Respons para netyzen beragam, ada yang pro dan ada yang kontra.

Gimana saya? Ya, dengan respons yang kayak gitu, ketebaklah, ya, saya kubu yang kontra. Ciye kubu-kubuan.

Kemudian saya pun iseng, share meme tersebut di Facecbook setealah saya tambahkan dengan posting Ferry Salim yang ngepas. Ini dia



Sejujurnya, saya posting cuma buat lucu-lucuan aja, nggak mengharap direspons serius. Cuma, ternyata jadinya saya terlibat adu komen dengan seorang perempuan. Intinya, dia bilang, seharusnya saya menghargai pilihan orang, kalau memang orangnya memang maunya menikah karena capek kerja, kenapa musti dicemooh (melalui postingan saya)?

Ngng. Ya maab, namanya juga becanda ya, Mbaak. Wajar kan, kalau seseorang kontra sama sesuatu, maka dia ngeluarin macem-macem ledekan soal ini? Ya lihat aja pendukung capres dan cawapres yang sangat produktif ngeluarin meme untuk meledek capres/cawapres kubu lawan. Ye kan? :)))

Anyway, kenapa saya kontra (dan mencemooh) meme tersebut?

Sebenarnya kalau dibaca-baca lagi, meme semacam mengamini satu kalimat jadul : 'Perempuan ngapain susah-susah sekolah, kalau ujung-ujungnya ke dapur juga?'. Siapa sih yang nggak pernah denger kalimat ngeselin ini?

Kita hidup dalam masyarakat yang pro domestifikasi perempuan, yang menganggap perempuan tempatnya hanyalah di ranah domestik. Kasarnya, perempuan itu hidupnya hanya untuk nyari pasangan hidup, dikawin, beranak dan ngurusin rumah tangga. Selesai.

Budaya ini kemudian dianggap sebagai hal yang normal/seharusnya demikian, sehingga nggak cowok, nggak cewek, mikirnya begitu. Yang anehnya lagi, kayaknya gaungnya semakin kenceng ya belakangan ini? Banyak banget deh ajakan-ajakan agar perempuan 'kembali' ke rumah. Hedeuh. Itu kasian banget lho, Kartini, sudah capek-capek memperjuangkan emansipasi. :(

Lalu, kenapa saya kontra sama pola pikir seperti itu?

Karena pola pikir tersebut bahaya buat perempuan. Toxic kalau kata Awkarin sih.

Toxic-nya gimana?

#1 Bikin perempuan mandeg, nggak mengembangkan diri.
Ketika seorang perempuan sudah berpikir bahwa tujuan hidupnya semata hanya untuk kawin-kawin-kawin, maka bisa dipastikan dia nggak bakal mau mikirin cara mengembangkan dirinya.Dia nggak bakal mau mencari cara untuk memikirkan gimana dia bisa mengembangkan minat, potensi, bakat, passion endeswey-endesbre. Fokusnya cuma satu : nungguin dan nyari orang yang mau ngawinin. Sekolah dan kerja dimanfaatkan sebagai pengisi waktu  nungguin calon suami. Ciye, situ Cinderella dan teman-temannya? Saya pribadi sih ngerasa, sayang banget lho, sudah dilahirkan di dunia, tapi mendedikasikan diri sepenuhnya cuma  ke permasalahan kawin-beranak.

#2 Bikin perempuan bermental dependen dan nggak siap menghadapi kesulitan hidup sendirian
Dulu saya sempat menjadi asisten kawan saya yang fasilitator pelatihan keterampilan tangan. Peserta pelatihannya itu perempuan-perempuan usia 18-23 tahun. Dari beberapa hari pelatihan, saya banyak mendapatkan cerita, baik via para peserta, mau pun via para fasilitator. Rata-rata peserta adalah perempuan-perempuan yang dicerai/ditinggal suami. Mereka menikah di usia belasan tanpa skill apa pun yang memungkinkan mereka mandiri secara finansial. Bisa ketebak lah, begitu dicerai/ditinggal suami, mereka jadi tidak berdaya.

Nggak ada yang tau apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang. Bisa aja sekarang kawin sama trah Bakri, tau-tau besoknya bangkrut total. Bisa aja sekarang suami sehat walafiat untuk cari nafkah, tau-tau minggu depannya sakit total. Bisa juga sekarang kerja dengan level jabatan oke, tau-tau bulan depannya di-PHK.

Kalau nggak punya bekal? Modyaro.

#3 Bikin perempuan stress kalau nggak dapet-dapet pasangan.
Ya, karena menganggap bahwa tujuan hidup perempuan itu menikah (dan dihidupi oleh suami), maka ketika nggak kunjung dapat pasangan, maka dia stress. Ini true story, dseorang kenalan berubah menjadi perempuan yang needy. Setiap dekat dengan cowok, bawaannya pengin dikawin. Ujung-ujungnya dia jadi desperate, mau dinikahi oleh siapa saja, tanpa menyeleksi pasangannya.

#4 Bikin perempuan lebih memprioritaskan pasangan yang bisa menghidupi (dan mengabaikan kriteria baik lainnya)
Punya kriteria-kriteria tertentu untuk pasangan hidup itu wajar banget. Yang cakeplah, yang humoris, yang romantis, yang nganu dan nganu. Kriteria 'punya penghasilan' pun oke juga; realistis ajalah ya, apa-apa sekarang pakai duit, kalau calon pasangan bokek kan berabe. Namun, ketika seorang perempuan memang udah punya target untuk menggantungkan kehidupannya pada pasangan hidup, jadinya kriteria 'bisa jadi ATM' bakal dapat porsi yang besar, bahkan bisa menempati prioritas utama, mengalahkan kriteria-kriteria penting lainnya dalam membangun hubungan suami istri.
 
Ya ampun, bisa jadi ATM tapi abusif. Bisa jadi ATM tapi jadi istri ke sekian. Bisa jadi ATM tapi tukang selingkuh. Mikirinnya juga sakit kepala.

Gitu deh.

Buat saya, perempuan --- mau pun laki-laki --- lahir sendiri sebagai manusia yang utuh, bukan sebagian dari kehidupan pihak lain. Jadi, baik laki-laki, mau pun perempuan, seharusnya punya mental independen dalam menjalani kehidupan masing-masing. Hal ini sering saya sampaikan kepada mahasiswi-mahasiswi saya. Bahkan ketika saya melahirkan anak perempuan saya (dan sekarang membesarkannya), pola pikir saya tetap demikian. Saya sedang membentuk anak saya untuk menjadi individu yang independent, yang siap menghadapi tantangan kehidupannya sendiri.

Saya menulis ini bukan berarti sedang menyuruh para perempuan nggak kawin yes? Kawin nggak kawin adalah keputusan pribadi. Namun, alangkah baiknya ketika mengambil keputusan untuk menikah bukan karena untuk mencari gelantungan hidup, tapi mencari pasangan yang setara, saling membangun dan asyique untuk mengarungi kehidupan pernikahan yang kompleks ini. Lalu, kalau nantinya perempuan tersebut memutuskan menikah dan akan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu gimana? Ya enggak apa-apa, bebas sik. Mental independent itu bikin seseorang berdaya di segala kondisi kok!

Jadi, kalau capek kerja, ke spa aja atau pijet. yes? Jangan kawin. Atau maksud mbaknya 'capek' itu 'muak' ya? Sampai mau melarikan diri segala. Ya makanya, luangkan waktu untuk kenali minat, potensi dan lain-lain, supaya bisa dapat pekerjaan yang nggak bikin muak.

TSAH!







Kamis, November 01, 2018

Mengurus Anak Tanpa dan Dengan Bantuan : Pros & Cons

 The reason child care is such a loaded issue is that when we talk about it, we are always tacitly talking about motherhood. And when we're talking about motherhood we're always tacitly assuming that child care must be a very dim second to full-time mother care. - Anna Quindlen

....mengasuh sendiri, dengan bantuan nanny, atau dimasukan ke daycare, mana yang paling benar dan paling salah? Nggak ada. Yang ada itu yang paling cocok dengan kondisi keluarga.
"Wah ngurus anak sendiri ya? Emang paling bener tuh ngurus anak sendiri deh, nggak usah pake nanny atau masukin daycare segala." ujar seorang kerabat di salah satu sesi mengobrol basa-basi.

Ya, untuk masalah mengurus anak, sebagian besar saya dan partner lakukan secara mandiri. Ini komitmen kami berdua sejak awal.

Beberapa kali saya mendapat pertanyaan kebingungan; gimana caranya tetap ngurus anak sendiri, sementara saya dan partner sama-sama bekerja? Yang dipertanyakan tentunya, dengan siapa si anak, kalau kami kerja?

Mungkin harus dijelaskan kondisinya. Jadi, waktu kerja saya dan partner memungkinkan kami untuk bergantian menjaga. Saat saya mengajar, partner yang menjaga anak. Sebaliknya, saat partner ada klien, saya yang stand by. Aselik, di saat jadwal sama-sama padat, sudah kayak aplusan pekerja pabrik deh. Saya pulang, dia pergi. Dia pulang saya pergi :))

Saya bilang 'sebagian besar' ya. Jadi tentyu saja masih ada bantuan pihak lain, modyar aja kalau enggak. Biasanya pihak yang suka ketiban pulung dimintain tolong adalah orangtua saya atau mertua. Ini kondisinya kalau kebetulan saya harus mengajar dan dia ada klien. Atau ketika salah satu harus kerja, yang satunya lagi nggak fit atau kecapekan banget.

Balik lagi, untuk yang suka bilang 'Memang yang paling bener ngurus anak full sendiri!', rasanya saya pengin bilang 'Ah macaciy?'.

Satu sisi, iya, saya merasa ada positifnya mengurus anak sendiri. Tapi, kalau dari yang saya rasakan, mengurus anak sendiri itu juga nggak segitunya paling bener deh, apa lagi kalau saya sedang capek fisik dan mental. Bawaannya ngomel melele. Paling bener dari mana coba kalau begitu?

Beberapa kali saya ingin memasukkan anak saya ke day care, tapi ragu.

Iseng saya mengangkat topik ini di Instastory. Saya pengin lihat pandangan ibu-ibu tentang positif dan negatifnya mengasuh anak sendiri, dibantu oleh nanny/ART, dibantu oleh ortu/mertua dan dimasukan ke daycare.Yang respons banyak biyanget.

Saya bahas satu-satu ya. Catatan penting, semua ini adalah hasil curhat buibuk di Instagram ya. Untuk part yang ngurus anak sendiri, saya gabungkan dengan pengalaman saya. Jadi bukan asumsi saya doang.
Oke, kita bahas duluan PROS and CONS ngurus anak sendiri yes?


PROS
1. Kendali pola dan metode asuh sepenuhnya ada di tangan orangtua. minim intervensi dan konflik. Orangtua bisa bersikap anak aing, kumaha aing. (anak saya gimana saya)

Untuk kasus saya : mau pola asuh yang lintas batas gender, ya bisa. Mau minim screen time, ya bisa (tapi kalau kemudian berubah pikiran, dan ngasih lihat Youtube karena capek, ya bisa juga. Bebas, gimana saya.)




Kayaknya sih, sebelum punya anak itu waktu yang paling tepat untuk bercita-cita ideal soal parenting, karena begitu punya anak... bubar! Bye bye segala teori. . Sebelum #Lilo lahir, #Mamamo bercita-cita untuk menerapkan aturan no gadget, dan yes to aktivitas motorik non gadget dan sosialisasi. Tapi, realitasnya, ngikutin gerak Lilo kemana pun dia pergi itu capek, Buibuk~! Motherhood berubah jadi #modyarhood pokoknya sih. . Akhirnya Mamamo pun mulai ngasih Lilo gadget. Dia diizinin nonton beberapa tayangan yang ramah anak di Youtube. . Tapi tetep juga nggak dilepas gitu aja, sik. Karena sistem algoritma Youtube bisa bikin tayangan berpindah ke macam-macam video dan bukan nggak mungkin bisa berakhir ke video yang nggak layak tonton anak. Nggak mau kan anak kita tiba-tiba kesasar ke video Elsa dan Spiderman yang bermesraan? Terus Mamamo ngerasa, ada tayangan-tayangan yang bikin Lilo terhipnotis, kayak tayangan surprised eggs gitu. . Karena itu, sebelum ngasih Lilo nonton, Mamamo sudah memilih tayangan (dan tonton duluan) sampai habis, lalu download. Jadi ketika Lilo nonton, dia nggak nonton online. Mobile data dan wifi pun Mamamo matikan. Gitu, jadi Lilo anteng nonton, Mamamo bisa nemenin sambil selonjoran sejenak. Semua pun senang. . BTW, buibuk punya kebijakan apa buat anak dalam pemakaian gadget? Share yuk! . . #Parentalk #MillennialParenting #Parentalkxmamamolilo
A post shared by Mamamo & Lilo (@mamamolilo) on

2. Bonding dengan anak sangat tinggi.
Yaiyalah, sudah pasti orang yang paling dekat dengan anak ya orangtua, orang paling besar ngapa-ngapain sama orangtuanya.

Lilo, nih, kalau lagi sedih cari saya atau bapaknya, gembira cari saya atau bapaknya, excited pun demikian. Marah? Kzl? Saya dan partner deh yang diomel-omelin.

3. Minim rasa waswas, karena si anak kan ada di bawah pengawasan orangtuanya.
Pun ketika saya harus kerja dan Lilo ditinggal bersama bapaknya, saya tetap merasa Lilo berada di tangan yang benar. Walau pun baju nggak matching dan agak acem karena mandi seadanya. :))))

4. Nggak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk meng-hire pengasuh.

CONS
1. CAPEK!  
Yes, kalau intensif mengurus anak sendiri itu capek fisik dan mental. Selain capek harus ikut lompat kodok, main petak umpet, ngejar sepeda dan lain sebagainya, juga capek ngadepin emotional meltdowns, tantrum, kekhawatiran akan masa depan, rasa bersalah dan semua-semuanya. Campur aduk. Efeknya apa coba? Iya, kadang anak nggak ter-stimulasi dengan konsisten dan variatif. Kalau saya sih, cuma didongengin, diajak ngobrol, diajak lelarian, diajak eksplorasi ke tempat-tempat baru. Pokoknya stimulasinya yang nggak membutuhkan persiapan terlalu printilan, plus nggak juga perlu beberes terlalu heboh. Padahal saya sudah beli berbagai macam buku yang isinya macam-macam aktivitas untuk menstimulasi anak, tapi ya.... males. Capek.
2. Susah me-time.
Ya gimana mau me-time, kalau anak nempel terus, ke toilet aja dicariin. (Untunglah saya bekerja, jadi bisa menghela napas sedikit. Jadi me-time saya dan partner itu saat kerja).
3. Susah our time.
Karena terlalu terbiasa bersama dengan orangtuanya (baik salah satu, atau dua-duanya), anak biasanya  insecured kalau dua-duanya menampilkan gelagat mau pergi berduaan doang. Kalo Lilo ngeliat saya dan partner kayak mau pergi, beuh, langsung deh, nenen nggak kelar-kelar.
4. Pergaulannya sempit.
Mainnya cuma sama orangtuanya lagi, orangtuanya lagi. Kalau saya sih ada tiga anak tetangga yang suka main juga. Mayan, lah ya? :))


PROS and CONS mengasuh anak dengan bantuan ART/Nanny

PROS
1. Lebih nggak capek fisik dan ibu bisa 'menghela napas' karena nggak semua hal yang berhubungan dengan anak, dari bangun tidur sampai tidur lagi, harus dilakukan sendiri.
2. Bisa me-time, anak tinggal titip ke pengasuhnya. Me-time adalah koentji kewarasan para ibu.
3. Anak bisa ketemu orang lain, selain orangtua

CONS
1. Pola dan metode asuh suka berbeda, kudu bisa kompromi. 
 Ketika orangtua punya idealisme sendiri, belum tentu pengasuh bakal ngikutin. Kalau dari contoh yang di-share oleh buibuk di sesi Instacurhat sih, dia nggak ingin anak dibatasi atau dilarang-larang, sementara sang pengasuh takut anaknya jatuh dan dimarahi sang majikan.
2. Nanny terutama yang non-profesional/ART seringnya hanya menjaga, tidak menstimulasi anak, sehingga perkembangan anak bisa terlambat.
3. Jika nanny/ART yang mengasuh punya kebiasaan yang bagi kita buruk dan dibawa saat mengasuh, bisa-bisa anak kita terpengaruh. Contoh yang diberikan di Instacurhat : pengasuh doyan nonton shitnetron dan film azab-azaban, sehingga si anak doyan juga.
4. Harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengasuh anak. Semakin pro nanny yang di-hire, ya semakin dalam rogoh kantong, 

PROS and CONS mengasuh anak dibantu orangtua/mertua

PROS
1. Diasuh dengan penuh kasih sayang, segala kebutuhannya pasti dipenuhi.
2. Bisa mendekatkan/mempererat hubungan anak dengan kakek-neneknya.
3. Bikin happy orangtua/mertua di hari tuanya.
4. Bisa konsultasi (atau minimal melihat perspektif lain) pola pengasuhan, cara penanganan kondisi sakit atau apa pun berdasarkan pengalaman mereka punya anak.
5. Tidak usah mengeluarkan uang banyak-banyak (tapi ya tau diri aja sik. HAHA)

CONS
1. Buat ortu kekinian, yang ikrib dengan buku-buku parenting pasti bakal punya idealisme sendiri, kadang suka berbeda dengan pola asuh mertua/ortu. Seringnya menimbulkan konflik yang malah merenggangkan hubungan kita dengan orangtua kita.
2. Kakek-nenek sering terlalu memanjakan/kontrol disiplin rendah.
3. Kalau keseringan/kelamaan, kakek dan nenek bisa capek dan sebel juga.

Sebenarnya saya punya pengalaman sendiri soal mengasuh anak dibantu orangtua dan mertua. Iya, saat itu konflik heboh, namun konflik-konflik tersebut ujung-ujungnya membuka komunikasi antar pihak saya dan mereka. Sehingga sekarang, pola asuh saya dan mereka sangat sejalan. Tapi ini akan saya pisah jadi satu posting tersendiri.

PROS and CONS menitipkan anak ke day care.

PROS
1. Anak terstimulasi dengan baik, konsisten, dengan metode variatif sesuai buku-buku pendidikan anak (tanpa orangtua harus riweuh persiapan. HAHA)
2. Anak belajar sosialisasi dengan teman-temannya.
3. Anak jadi mandiri.

CONS
1. Anak gampang ketularan penyakit dari teman-temannya.
2. Akan ada peristiwa anak benjut atau luka karena jatuh atau berantem dengan temannya.
3. Anak meng-copy dari pergaulan. Kalau ada teman yang suka ngomong kasar, anak ikutan.

Sejujurnya sharing di Instacurhat ini, cukup membuka mata saya, bahwa mengasuh sendiri, dengan bantuan nanny, dengan bantuan orangtua, atau dimasukan ke daycare masing-masing ada kekurang dan kelebihannya. Nggak ada satu pun yang 'paling benar', yang ada itu yang paling cocok atau pas  dengan kondisi keluarga.

Dan sharing ini juga bisa membuat saya menguji keputusan saya dan membuat saya semakin yakin, bahwa setidaknya untuk sekarang, yang paling tepat ya memang mengasuh sendiri. Yaiyalah, waktu bekerja sama-sama fleksibel, masing-masing masih bisa juga punya me-time sehingga nggak burnt-out, punya idealisme (yang cukup kenceng) soal pola asuh sendiri, nggak percayaan sama orang lain yang bukan orangtua kandung kami. Buat apa ngeluarin duit lebih, kalau kondisinya memungkinkan untuk mengasuh sendiri? Ye kan?

Mungkin buibuk yang berencana punya anak, melalui posting ini, bisa melihat juga, mana yang paling cocok.

:)