Laman

Selasa, Juli 31, 2018

Guest Post : Mengapa Kami Memilih Homeschooling

Catatan dari saya :


Tulisan tentang homeschooling di bawah ini, bukan tulisan saya, tapi tulisan Dinda Jou, guest blogger pertama di blog ini.

Jadi, saya kenal Dinda ini sudah cukup lama ya, sekitar tahun 2005-an gitu kali ya? Awalnya yak arena sama-sama ngeblog. Dinda ini adalah jurnalis, blogger dan traveler saat itu. Nggak disangkat ternyata teman-teman kami beririsan juga. Ketemu Dinda pertama kali pas konsernya Anggun, di Bandung!

Kemudian kami nggak pernah kontak-kontakan lagi, Cuma sesekali saya melihat (melalui media sosial), oh Dinda nerbitin buku foto, oh Dinda punya anak. Oh, ternyata Dinda itu sepupuan sama teman kantor saya. Deuh, lagi-lagi beririsan.

Nah kemarin, dalam rangka menggalakkan semangat ngeblog, saya bikin project guest blogging, kemudian Dinda nyahut. Ya udah, atas nama reuni, saya ajak Dinda untuk cross-posting di blog saya.  Waktu kontak-kontakan soal tema kemarin, ternyata kami semacam berjodoh gitu. Dinda pengin mengangkat tema gender dalam membesarkan anak, sementara saya lagi penasaran berat soal homeschooling. Nah kebetulan Dinda baru saja memutuskan untuk homeschooling dalam mendidik Malik, putranya. Pas. :))





...setiap anak harus dibekali life skill yang memadai, kemampuan menganalisa yang cukup, attitude yang baik, serta pemikiran bahwa belajar bisa dari apa saja dan dimana saja..
Setelah dua tahun menimbang-nimbang, akhirnya aku dan suami memutuskan untuk memilih homeschooling untuk mendidik Malik, anak kami satu-satunya yang kini berumur 4,5 tahun. Malik, akan menjadi anak pertama yang menjalankan homeschooling di keluarga besar kami.

Keputusan ini dibuat saat awal tahun ajaran baru kemarin, karena melihat teman-teman sepermainan Malik yang sebaya, sudah mulai masuk sekolah semua. Saat kami mencetuskan keputusan itu, ada banyak orang di sekeliling kami yang merespon. Utamanya sih bertanya soal mengapa. Apa yang menyebabkan kami ‘se-idealis’ itu (untuk tidak menyebut nekat, hihih!) memilih homeschooling? Lalu, tentu saja bertanya soal prakteknya bagaimana, kurikulumnya seperti apa, plus minusnya, dan lain sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan ini wajar banget. Dulu, saat pertama mendengar soal homeschooling, aku juga punya segudang pertanyaan. Soalnya sebelum itu, aku taunya yang homeschool itu kan artis atau atlit ya. Masak rakyat jelata macam aku bisa homeschooling juga sih?

Sebenarnya ada banyak aspek homeschooling yang semestinya dibahas terlebih dulu sebelum kami sampai pada jawaban mengapa milih homeschooling. Tapiiii… karena penjelasannya bisa panjang banget, aku ceritakan aja perjalanan kami sampai akhirnya memutuskan ya. 

Jadi begini sodara-sodara. Kalau mau jujur sejujur-jujurnya, aku dan suami itu sesungguhnya ‘takut’ untuk punya anak. Membayangkan punya tanggung jawab yang super berat untuk MENDIDIK seorang anak manusia itu sungguh membuat keder. Bok, pelihara kaktus aja mati!

Nah, saat Malik lahir, kami jadi banyak merenung dan berdiskusi tentang ide-ide kami menjadi orang tua yang baik. Kami membaca banyak buku referensi, salah satunya adalah buku-buku Ayah Edi, yang beberapa kali menyebutkan perkara homeschooling. Dari lihat-lihat sekilas, kok kayaknya seru ya?

Dari yang hanya sekedar ide, pencarian berlanjut dan tiga tahun lalu aku menemukan sekeluarga prakstisi homeschooling yang aktif berbagi. Rumah Inspirasi (link: www.rumahinspirasi.com) namanya. Keluarga ini memberikan webinar soal seluk beluk homeschooling yang segera saja aku ikuti. Dari webinar sepuluh sesi itu (link: http://dindajou.com/review-webinar-homeschooling-oleh-rumah-inspirasi/ ), aku dan suami belajar banyak sekali. Tidak hanya soal homeschooling, tapi soal menjadi orang tua secara umum. Webinar itu meluaskan pandangan kami tentang bagaimana mendidik anak. Aku sangat merekomendasikan webinar ini untuk siapapun yang ingin belajar menjadi orang tua yang lebih baik.

Jadi, homeschooling itu sebenernya apa sih?
Nah, homeshooling adalah pendidikan berbasis keluarga yang berpusat di rumah. Kegiatan pendidikannya diselenggarakan oleh orang tua yang disebut praktisi homeschooling. Materi belajar juga dibebaskan kepada orang tua, yang disesuaikan dengan VISI MISI pendidikan keluarga masing-masing. Waktu dan tempat belajar pun bisa di mana saja. Pokoknya fleksibel banget!

Mau anaknya diarahkan jadi artist, silahkan. Jadi ahli agama, tentu boleh. Mau jadi entrepreneur, hayuk aja. Nggak perlu takut kalau orang tua nggak bisa ngajarin suatu bidang. Orang tua bisa hanya menjadi fasilitator, membantu anak mencari sumber daya lain untuk mengajari. Bahkan, salah satu tujuan dalam homeschool adalah, pada akhirnya anak bisa jadi pembelajar mandiri. Ia tau harus mencari kemana kalau ingin mempelajari sesuatu hal.

Kalau selain mendalami minat dan bakatnya anak homeschooler ini juga mau punya ijazah, bisa ikut ujian persamaan paket A, B atau C (setara SD, SMP, SMA), yang diselenggarakan Diknas. Anaknya bisa ikutan bimbel intensif menjelang ujian kan? Apalagi ijazah paket ini juga diterima untuk masuk universitas dalam negeri manapun. Atau, kalau mau sekolah di luar negeri, bisa pakai kurikulum luar seperti Cambridge dll yang juga ada tesnya.

Terlihat gampang ya? Hehehe… gampang-gampang susah sih. Susahnya terutama bagian membuat visi-misi pendidikannya. Dari sekian banyak pilihan, anaknya mau diarahin kemana nih? Untuk membuat visi misi pendidikan ini, tentunya orang tua harus seiya-sekata, dan benar-benar berkontemplasi mempertimbangkan segala sesuatunya (belum lagi kalau punya pasangan yang ngeyel ya kak!). Beraaattt…

Selain itu, dalam homeschool, peran orang tua sangat besar. Fungsi orang tua sebenernya lebih mirip kepala sekolah: membuat kebijakan, mengorganisir sumber daya yang ada, juga mengevaluasi perkembangan anak. Jadi, memang dibutuhkan waktu, tenaga dan komitmen yang besar dari orang tua jika memilih ber-homeschool-ria. Sebab, anak kan nggak serta merta bisa menjadi pembelajar mandiri kalau nggak diajarin sejak dini. Jadi dalam penyelenggaraan homeshool ini, anak dan orang tua akan terus terusan belajar, bersama-sama.

Lalu, kok kami tetap berani memilih homeschool?
Yah, tiap keluarga pasti memiliki kondisi yang berbeda-beda. Bagi kami, ada berbagai alasan, mulai dari yang praktis sampai yang idealis. Alasan praktis terbesar adalah karena jadwal kerja suamiku. Sebagai geophysicist yang bekerja untuk sebuah oil service company, suamiku bekerja nun jauh di sana selama 7 minggu, dan setelahnya mendapatkan cuti selama 5 minggu. Saat cuti, ia sama sekali tak bekerja dan kami hampir selalu mengagendakan travelling. Dua manusia cetek ini khawatir kalau anaknya sekolah, maka urusan jalan-jalan ini bisa terganggu, ahahhaha! 

Selain itu, biaya pendidikan saat ini tuh MAHAL gilak! Ngacung deh, siapa yang bergidik melihat angka rupiah di brosur sekolah. Bisa delapan bahkan sembilan digit! Dan untuk apa sebenarnya? Banyak anak lulus sekolah, masih tidak tau mereka mau ngapain.

Kalau merujuk pada pengalaman diri sendiri, aku memang lulusan Komunikasi/jurnalistik. Aku sempat menjadi wartawan selama satu dekade, mulai dari koran lokal hingga internasional, sebelum akhirnya pension dan menjadi ibu rumah tangga sekalian membuka bisnis. Tapi, sesunguhnya kontribusi sekolah minim sekali pada perkembanganku. Aku mempelajari skill menulis justru dari organisasi pers kampus. Aku belajar fotografi dari kursus. Dan baru-baru ini belajar desain dari website belajar seperti Lynda dan Coursera, dan yutub, pastinya!

Suamiku malah lebih ‘parah’ lagi. Kalau aku bilang dia adalah lulusan salah satu kampus negeri di Bandung, kalian pasti mengira dia anak ITB. Salah besar sodara! Dia lulusan Sosiologi di STKS, di Dago Atas situ. Lah? Bisa kerja jadi geophysicist di luar negeri pula? Bisa! Ia memulainya dari bawah sekali dan belajar seiring waktu hingga bisa jadi seperti sekarang.

Dan yang paling ‘meresahkan’, melihat trend saat ini, di masa depan akan ada banyak sekali pekerjaan-pekerjaan baru untuk generasi setelah kita, yang bahkan saat ini belum terpikir. Sekolah, menurutku, punya struktur yang terlalu kaku dan sulit mengejar dunia yang berputar semakin cepat ini. Aku adalah penganut paham bahwa setiap anak adalah unik. Bagaimana mengajarkan soal keunikan ini jika di sekolah semua terstandardisasi?

Aku lebih setuju bahwa setiap anak harus dibekali life skill yang memadai, kemampuan menganalisa yang cukup, attitude yang baik, serta pemikiran bahwa belajar bisa dari apa saja dan dimana saja. Aku juga ingin anakku belajar nilai-nilai agama sesuai dengan yang aku yakini. Tentunya sulit sekali mencari sekolah yang mengajarkan semua hal tersebut sekaligus. Kebanyakan sekolah menitik beratkan pada kemampuan akademis.

Akhirnya, ya sudah, homeschooling saja. Dengan begitu, kami sebagai orang tua bisa mengatur sendiri pendidikan model apa yang ingin kami berikan kepada Malik.

Untuk saat ini, dimana Malik masih usia pra-sekolah, tentunya kami masih berkutat pada hal-hal yang sangat dasar yang bisa dijadikan modal belajar saat ia besar nanti. Kami berfokus pada membangun kebiasaan baik, memaparkannya pada berbagai hal dan membiarkan dia mengekplorasi apapun. Kami menyediakan diri untuk belajar dan berproses bersama Malik, sambil terus mengevaluasi diri. Doakan kami yaaa!


 


 

Selasa, Juli 24, 2018

Tayangan (Youtube) Ramah Anak Rekomendasi Ibu-ibu Instagram (dan Tips Menonton)

“It’s important there is balance in the online and offline worlds and in leisure and learning, but what that looks like for different kids at different ages and in different families is hard to ‘prescribe’. Research shows that not having access to the digital world has a negative impact on kids – so its about finding the right amount with a holistic approach.” The Guardian.


...Jangan ditinggal, temani saat menonton. Artinya, nonton itu nggak bisa dipakai jadi alat supaya anak anteng sementara kita melakukan pekerjaan lain. Ya tapi lumayan, lah, bisa istirahat dikit.
PENTING : Tolong dibaca sampai akhir, saya memuat video Tedtalk tentang sisi gelap video Youtube.

Yang namanya parenting, ekspektasi dan realitas kadang nggak sejalan dong ya? Boleh lah sewaktu belum punya anak kita menetapkan standar pola asuh sedemikian tingginya; tapi saat pelaksanaannya, ternyata situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Pengin anak pakai clodi supaya ramah lingkungan, eh kok ya, cucian jadi banyak, misalnya. HAHA. Ini saya banget

BACA : ORANGTUA IDEAL ITU CUMA HOAX

Yang lain lagi, saya dan partner pengin menghindari anak terpapar TV dan gadget sampai 5 tahun. Kami pengin anak kami banyak melakukan aktivitas motorik dan sosialisasi dengan lingkungan, No cellphone, no TV.

GAYA!

Kenyataannya? Kami insyaf, keinginan ini terlalu muluk. Tanpa TV dan gadget berarti kami harus full dan intensif banget menemani Lilo; dan ternyata hal ini capek banget! Apalagi saat Lilo semakin lama semakin besar, makin bisa lari-larian, makin banyak tanya. Modyaro. Akhirnya mulailah sedikit-sedikit kami menggunakan gadget, dia nonton Youtube, kami meluruskan kaki di sebelahnya.


Mana lagi kami kan hidup tanpa ART yak, jadi selain bergantian ngurusin anak, kami pun kudu mikirin pekerjaan rumah tangga. Gadget adalah salah satu hal yang mudah untuk bikin anak anteng sejenak, sementara kami cuci piring, misalnya.

BACA : PEKERJAAN DOMESTIK : SEPELE TAPI BIKIN SENEWEN

Jadi sejak under 1 tahun Lilo sudah terpapar TV dan gadget sih, walau tetap kami batasi dan awasi. Nah berikut ada tayangan-tayangan favoritnya Lilo, yang saya pikir relatif aman buat anak.

1. Upin dan Ipin.

IYA! Standar! Lilo mengenal Upin dan Ipin melalui TV waktu kami masih nebeng di rumah mertua. Setelah itu, sampai sekarang dia tergila-gila. Dulu sih, sebelum punya anak, saya agak males ya, buat saya secara tampilan, ya nggak menarik hati, dan tambah males karena viral banget, sampai ke mana mata menoleh, di situ ada merchandise Upin dan Ipin.

Tapi setelah ikut nonton, kok saya jadi suka juga...

HAHA. This is the true definition of : dipoyok, dilebok. #SundaDetected.

Ceritanya bersahaja banget, dan anak-anak kampung banget. Somehow mengingatkan saya pada serial Unyil. Ini salah satu episode favorit Lilo : Kembara Dino



Yang bikin agak sebel, kadang-kadang Lilo suka ngomong dengan dialek Melayu gitu. Ih.

Sebenarnya ada satu serial lagi yang Lilo suka, tapi saya enggak! Yaitu serial Adit Sopo Jarwo. Tapi saya enggak sukaaaa! Jadi saya berusaha keras menghalangi dia menonton serial ini. Muahaha, maafkan kalau jadinya terkesan tidak menghargai plotuk-plotuk indonesia.

Kenapa nggak suka? Karena terlalu sinetron-ish. Permasalahan yang diangkat semacam permasalahan sosial yang buat saya terlalu berat buat anak-anak, terus saya nggak suka ada tokoh Pak Haji, yang sebagaimana layaknya sinetron, bisa menyelesaikan semua konflik.

2. Nursery Rhymes di ABC Kids TV

Ini isinya lagu-lagu nursery rhymes bahasa Inggris gitu sih, standar, visualnya keren, animasi 3D gitu. Lilo selalu terpaku banget kalau nonton. Nah, karena saya dan partner selalu ikut nonton, lagu-lagu nursery rhymes itu suka jadi earworm, bikin kami ujug-ujug bersenandung. Nah, kagetnya, Lilo suka nimpalin/nimbrung. Mayan, lah, belajar bahasa Inggris sikit-sikit.

Saya :
Five little monkeys jumping on the bed
One fell off and bumped his head
Mama called the doctor
And the doctor said

Lilo (mendadak nimbrung):
No more monkeys jumping on the bed

  

3. Tayangan Belajar Warna di channel EZ Kids

Ada beberapa tayangan belajar warna, yang buat saya secara visual dan narasi itu nggak oke (ini selera individual kali ya?).

Tapi Lilo suka. *Sigh*.

Yang kayak gini, lho :



Tayangan sejenis ini relatif aman sih, belajar warna. Kosa kata warna Lilo dalam bahasa Inggris bertambah. Sedikit rada membosankan (again, buat saya), karena ya gitu-gitu aja, cuma beda objek. Cuma, yang harus diperhatikan, ada tayangan sejenis yang kadang-kadang menyelipkan produk berupa mainan semacam slime, atau permen. Bae-bae, anak kita minta ntar. Haha.


4. Elmo Sing A Long.

Sesame street mah standar yaaa? Lagu-lagu anak di Elmo Sing Along itu bagus-bagus dan ada yang dinyanyikan kolaborasi dengan selebritas, dari Usher, Adam Sandler, Jason Mraz, India Arie. HAHAHA, ketauan ini yang demen mak dan bapaknya! Untung Lilonya suka juga.

Yang bareng Adam Sandler lucuk!





Yang rutin ditonton itu doang sih, sisanya random. Lilo kan kami biasakan untuk baca buku, salah sekian buku yang dia suka itu tentang binatang-binatang. Jadi begitu liat satu binatang di bukunya, kadang dia pengin liat binatang tersebut kalau gerak kayak gimana.

 Nah kemarin, di Instastory, saya meminta buibuk Instagram buat ngasih rekomendasi lain, sudah saya cobain beberapa supaya Lilo lihat, ada beberapa yang dia nggak demen, jadi nggak bisa saya komentarin lagi, karena nontonnya cuma sekali doang. Ada yang belum sempat saya tonton juga. Cuma mungkin buibuk lain butuh alternatif tontonan yes.

1. Channel Pinkfong (rekomendasi http://www.instagram.com/syilarsyila_cila)

Katanya : Bahasa Inggrisnya gampang diingat, kartunnya menarik.



BTW, ternyata Pinkfong ada apps-nya. Bagus tuh, buat yang nggak kepengin anaknya nonton di Youtube, karena takut terpapar video yang enggak-enggak.

2. Channel SuperSimpleSongs (rekomendasi http://www.instagram.com/iisumarni)

Katanya : "Ada beberapa hal yang bisa diajarin lewat video-video di channel ini, kayak ngenalin soal empati ke anak disabled di salah satu video. "

 

3. Channel balitakita (rekomendasi http://www.instagram.com/theaiuu)

Katanya : "Lagunya lokal, gambarnya gemesin"

Saya pernah lihat sih, yang lagu Cicak, tapi barusan saya search 'balitakita' nggak muncul video yang dimaksud. Apakah mereka sudah ganti nama jadi Lagu Anak Indonesia Balita?


4. Channel Ryan Toys Review (rekomendasi http://www.instagram.com/an_tania_)

Katanya : "Dia orang Canada kayaknya, kalau bikin cerita masih bisa diterima (nggak main kekerasan), banyak belajar/iseng-iseng nyoba science juga."




5. Channel Blippi (rekomendasi http://www.instagram.com/rahma_deama)

Katanya : "PLUS-nya : ngajarin hal-hal basic kayak warna, bentuk, vehicle, mengenai museum dan lain-lain. MINUS-nya : content-nya lama-lama di area playground, di mana kalau anaknya kabitaan (suka penginan) jadi pengin ke mall dan main juga"


6. Channel Peppa Pigs (rekomendasi http://www.instagram.com/vrouwenmetal)

Katanya : "Ceritanya simpel, dialeknya British..."


7. Channel Bing Bunny (rekomendasi http://www.instagram.com/sartikartn)

Katanya : "Karena ceritanya problematika anak-anak banget, kayak takut naik perosotan atau nggak suka makan sayur. Dan di ending-nya selalu ada solusi. Plus logat British yang gemash.



Nah dari sekian banyak rekomendasi, ada satu DM yang bikin saya mikir 'Iya juga ya?' dan waspada

"Aku kalau ngasih lihat Youtube, pake offline-mode, masalahnya suka sebal kalau online, kadang suka muncul video Elsa dan Spiderman making baby. Sekarang sih aku prefer kasih mainan fisik, paling gempor beresinnya. Atau beliin DVD film kartun beberapa seri. (http://www.instagram.com/Miyarahmi)

WHOOPS!

Setelah saya cek, memang ternyata ada channel video orang dewasa yang memakai tokoh Elsa, Spiderman dan beberapa tokoh animasi untuk anak-anak.

So hati-hati buibuuuk.

Saya pun baru dapat satu link tentang betapa mengerikannya mekanisme kerja YouTube dan gimana mereka mencoba merusak otak anak-anak demi advertising revenue!

 

Intinya, mekanisme yang sama, seperti yang ada di FB dan Instagram, yang bikin kita penggunanya bolak-balik ngecek update, juga dipake untuk video anak-anak, dengan tujuan supaya anak-anak kecanduan dan bolak-balik nonton/nge-views. More views artinya more money.  Trus untuk tujuan (supaya di-view) ini, ada keyword-keyword yang dipakai oleh Youtube creator yang contentnya berbau seksual dan violent. So, dengan algoritmanya, bisa jadi ketika anak kita abis nonton video Finger family, tetiba loncat ke video Minnie Mouse lagi masturbasi.

WAKS!

Mungkin kita bisa menerapkan kebijakan ini ya :

Dan saya pun menerapkan kebijakan ini ketika menonton tayangan melalui internet
1. Batasi pemakaiannya, 30 menit- 1 jam perhari cukup. Sisanya, tep ajalah, main.
2. Jangan ditinggal, temani saat menonton. Artinya, nonton itu nggak bisa dipakai jadi alat supaya anak anteng sementara kita melakukan pekerjaan lain. Ya tapi lumayan, lah, bisa istirahat dikit.
3. Nonton dalam offline mode, supaya kita bisa seleksi tontonannya.
4. Kalau nonton dalam online mode : Tidak mengaktifkan autoplay,
5. Kalau nonton dalam online mode : Tidak membiarkan anak yang mengontrol mau nonton apa. Ya kadang, kalau satu video abis, dia suka tuh kan ya, main klik sendiri. Itu saya larang.  

Kita nonton offline saja! Dua yang terakhir saya tulis sebelum saya menonton videonya James Bridle tadi.