Laman

Rabu, Maret 14, 2018

#Modyarhood Pekerjaan Domestik : Sepele Tapi Bikin Senewen.

It is the woman - nearly always - in spite of all the advances of modern feminism, who still takes responsibility for the bulk of the chores, as well as doing her paid job. This is true even in households where men try to be unselfish and to do their share. - A.N Wilson



Sudah waktunya #modyarhood lagi nih! Sekedar mengulang, untuk yang baru dengar istilah #modyarhood, ini adalah blogging project saya bareng Puty. Intinya kami berdua akan membuat blog-post dengan tema-tema seputar motherhood, dari sudut pandang kami berdua. Lalu, kami mau mengajak ibu-ibu blogger lainnya untuk posting tulisan dengan tema yang sama. Ya tujuannya sih untuk melihat banyak variasi sudut pandang soal menjadi ibu, agar wawasan kita terus bertambah. TSAH!

Anyway, sudah ada 3 topik yang kami inisiasi, yakni : Parenting books, baca atau nggak?, Gerakan Tutup Mulut dan Kencan Setelah Punya Anak. Bulan lalu kami memberikan hadiah dengan modal sendiri buat ibu-ibu yang tulisannya kami anggap yahud. Bulan ini, puji Tuhan, ada 3 pihak yang mau mensponsori. Jadi baca terus ya buibuk, untuk tahu apa dan gimana cara dapetin hadiahnya.

Selama 3 tahun berumah tangga, dari belum punya anak sampai beranak kayak sekarang saya belum pernah mempekerjakan pembantu. Bukan, bukan karena saya sok-sokan jadi manusia super yang bisa ngapa-ngapain sendiri; tapi lebih karena kondisi keluarga saya yang tidak berjodoh sama urusan mempekerjakan pembantu rumah tangga.

Untungnya partner saya termasuk terampil dan punya inisiatif tinggi dalam urusan pekerjaan rumah tangga, dari bebersih, masak, nyuci-nyuci bahkan sampai ngurusin anak. Pfiuh.

Selama pembantu-less ini, saya dan partner saling bahu membahu dalam urusan rumah tangga. Kami nggak melakukan pembagian secara saklek sih, siapa yang bisa melakukan ya lakukanlah. Kalau sudah begini, seharusnya urusan domestik sudah nggak perlu dipusingin lagi dong ya?

TAPI TERNYATA ENGGAK LHO, BUIBUK!

Saya masih pusing. Ada dua hal kontradiktif yang bikin kepikiran.

Yang pertama, saya sering merasa bersalah pada suami saya, karena dia jadi double sibuk.Ya sibuk kerja, ya sibuk ngurusin/bebersih rumah, ya ngurusin anak juga. Yang kedua, ini rada ngehe sih,  saya senewen kalau apa yang dikerjakan partner tidak sesuai dengan cara saya, atau dia skipped satu pekerjaan.

Mungkin saya terdengar sebagai estri yang tidak legowo. Tidak bersyukur dan tidak tahu diuntung, punya suami sudah baik begitu, kok ya masih komplen. Aduh, semoga saya nggak kena azab, ya buibuk.

Saya sempat mengobrol dengan beberapa kawan perempuan saya. Dan ternyata mereka juga punya kegalauan sama. Kawan-kawan perempuan saya semuanya hidup tanpa pembantu dengan alasan masing-masing, dan punya suami yang nggak alergian bantu-bantu urusan rumah tangga. Tapi alih-alih merasa beban hidup berkurang, keadaan justru malah jadi nambah pikiran. Kami semua sama-sama sering merasa bersalah 'menyibukkan' suami untuk urusan domestik. Kami semua juga sama-sama ngehek, punya kebiasaan buruk tidak menyesuaikan standar dan metode dengan cara suami masing-masing.

Pada akhirnya kami dapat satu hipotesa (yang nggak dilanjutkan jadi penelitian juga, sik! Kami kan sibuk ngurus keluarga #eh); yakni kami-kami ini adalah perempuan yang dibesarkan dalam pola asuh keluarga (patriarki) konvensional, yang (salah satu value-nya adalah) menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga itu adalah tanggung jawab dan keahlian kheuseus seorang estri. 

Cuma istri. Suami gak ikutan. 

Ya ampun, dengan pemahaman yang cukup tentang gender dan feminism yang kami miliki sejak masa dua puluhan awal, seharusnya kami nggak perlu merasa gini. Apa daya didikan masa kecillah yang lebih kuat membentuk pola pikir kami.

Akibatnya, pembagian kerja rumah tangga membuat kami merasa ada tugas yang 'diambil' dari kami; sehingga muncul perasaan tidak enak/tidak berguna, yang bikin senewen. Padahal, please deh, melakukan semuanya sendiri juga nggak mungkin, bisa modyar kami. :))

Lalu, masih berkaitan dengan soal gender-roles, kami, perempuan-perempuan ini, merasa karena kami perempuan, maka kamilah yang paling jago di urusan domestik. Minimal karena kami pernah melihat pola kerja ibu kami. Sementara para laki-laki, tidak dibiasakan untuk peduli urusan rumah tangga. Makanya, ketika mereka mengerjakan sesuatu dengan standar 'pokoknya beres' dan 'pokoknya semua masuk lemari', kami-kami para perempuan senewen, karena 'Iya sih, beres, tapi kudunya nggak gitu deh....' #dzig

BTW, Sebagai selingan; ini dia ada sebagian dari pekerjaan domestik yang sering bikin kami senewen (tapi pas kami bahas, kami malah ketawa-ketawa).

(1) Seprai dan sarung bantal nggak matching.
(2) Tempat tidur nggak diberesin sampai siang
(3) Anak belum mandi sampai lewat jam 9
(4) Penataan pakaian yang tidak sesuai dengan managemen lemari saya, karena ini bikin saya susah nyari pakaian.
(5) Ngambil pakaian ditarik, yang bikin tumpukan di lemari ambrol.
(6) Mencuci pakaian nggak dipisah pakaian terang dan gelap dulu.
(7) Baju-baju sekali pakai yang digantung, padahal dipakai lagi juga enggak.
(8) Makanan sisa hari itu yang tinggal seuprit, tinggal dimakan aja habis, tapi disimpen dengan niat 'dimakan besok pas sarapan' tapi sampai berhari-hari ada di lemari es.
(9) Cap sikat gigi yang nggak dipasang lagi seusai sikat gigi.
(10) Pasta gigi yang nggak ditutup lagi setelah pakai.

Remeh yes?

Anyway, kebiasaan merumitkan hal sepele seperti ini terus terang membuat saya stress juga, literally. Saya sampai di satu kondisi di mana saya bad mood melulu, susah tidur dan sakit kepala.

Nggak sehat banget ini sih. Untuk memperbaiki hal ini, akhirnya saya melakukan beberapa hal, antara lain: mengenyahkan segala rasa bersalah yang ada dalam otak saya dengan pemikiran bahwa saya juga kerja. Jadi nggak apa-apa suami jadi double sibuk kerja dan ngurusin urusan rumah tangga. Kami sama-sama double sibuk. Adil. Nggak ada yang modyar sendirian, modyarnya bareng-bareng. Kami adalah pasangan sehati.  HAHAHA!

Lalu, tindakan tambahan untuk menjaga kewarasan adalah berusaha menutup mata saya dengan segala ketidaksesuaian standar mau pun metode yang dilakukan partner. Bodo amatlah. Selama rumah masih layak huni, bersih, semua fungsi alat-alat rumah tangga berjalan baik, tidak kekurangan makanan, kami masih bisa ketawa-ketawa, saya anggap semua baik-baik saja.  Gak apalah, rumah berantakan sikit. Itu tandanya ada yang hidup di sana.

Gitu buibu. Jadi, ibu-ibu punya masalah yang sama soal urusan domestic? Share yuk! 

Nah, sepertinya yang sudah disebut do awal tulisan ini, untuk edisi Maret, #Modyarhood dapat 3 sponsor hadiah buat 3 ibu-ibu yang ikutan curcol dengan tagar #Modyarhood.

Syaratnya?

1. Tulis blog post dengan tema ini di blog buibuk.
2. Posting foto yang ngasih URL postingan buibuk dan tag/mention Kami di Instagram. Jangan lupa beri tagar #Modyarhood
3. Tinggalkan komen dengan tautan ke posting buibuk di blog saya dan Puty
4. Deadline tanggal 26 Maret 2018 ya?

Berikut ini profile dari sponsor Kami bulan Maret.

Kawung Living

Kawung Living adalah brand home living dan lifestyle yang dimulai di tahun 2014. Produk-produk kami yang colorful bertujuan untuk memberikan warna di keseharian dan menyebarkan banyak kebahagiaan. Selain rutin mengeluarkan koleksi baru setiap tahunnya, Kawung Living juga menyediakan service custom order sehingga kamu bisa berkreasi dan membuat barang-barang yang lebih personal.

Produk Kawung Living dapat ditemukan melalui website kami www.kawungliving.com, social media @kawungliving, atau stockist online (Dekoruma, LIVAZA, Line Shopping,Shopee) dan offline (The Goods Dept & The Goods Supply).

Kenarsa

Kenarsa memperindah dan menambah kenyamanan ruanganmu, hadiah spesial untuk orang kesayangan yang bisa kalian buat lebih personal juga jadi cinderamata yang akan selalu dikenang. Bisa ditemui melalui akun IG @bykenarsa.

Sunkrisps

SUNKRISPS focus is helping urban people to eat vegetables easily and tasty, by serving the finest quality of healthy vegetable-based snacks to customers.

Sunkrisps always ensures the vegetables are grown organically and always processed on the same day with delivery, with high standard and procedures in Sunkrisps production facility in Bogor, West Java. All of Sunkrisps products are Gluten-Free and Vegan friendly. Through Sunkrisps, there is a pair of goodness and benefits. Sunkrisps’ product quality is very compatible to its slogan “When Veggie becomes Tasty”. Kale is just a beginning of vegetable-based snacks from Sunkrisps.

Rabu, Maret 07, 2018

Veronica Tan, Jennifer Dunn dan Perempuan-perempuan Yang (Selalu) Salah

Why is it that men can be bastards and women must wear pearls and smile? - Lynn Hecht Schafran 

 

...Perselingkuhan itu melibatkan dua pihak lho! 'Aktivitas' yang terjadi karena kesepakatan dua orang. Karena kalau satu pihak doang namanya masturbasi.
Pengakuan nih, kadang saat sedang menggunakan Instagram, saya suka mengintip akun-akun gosip sebangsanya [at]LambeTurah dan kawan-kawan. Ya, ya, saya tahu, berita yang saya konsumsi dari sana benar-benar nggak bergizi bahkan polusi bagi otak. :))

Ahem. Saya nggak sendirian kan? Semoga kita semua nggak jadi bego, ya ibu-ibu, ngintipin akun begituan. Hahaha.

Gegara akses akun-akun tersebut, saya jadi kenal istilah 'pelakor', yang kepanjangannya adalah 'perebut laki orang'. Istilah ini kayaknya sedang sering dipakai ya? Soalnya setiap jempol men-scroll pasti saya akan menemukan kata ini di media sosial mana pun. Tentunya dengan bonus drama.

Sosok pelakor ini menjadi musuh bersama para (netizen) perempuan. Dibenci setengah mampus dan dimaki-maki. Kalau bisa mungkin dibunuh, eh sorry, sudah dibunuh sih. Para netizen sudah melakukan pembunuhan karakter terhadap sosok pelakor. *Puk puk Mulan Jameela, Jennifer Dunn dan Ayu Tingting*

Kalau perempuan-perempuan lain sepertinya membenci pelakor, saya justru mengasihaninya. Nggak, bukan berarti saya mendukung perselingkuhan ya? Cuma, saya melihat ada ketidakadilan dalam (setiap) drama perselingkuhan yang saya temukan di media sosial.

Perselingkuhan itu melibatkan dua pihak lho! 'Aktivitas' yang terjadi karena kesepakatan dua orang. Karena kalau satu pihak doang namanya masturbasi. Eh oops. Jadi dalam setiap kasus perselingkuhan ini, pasti ada pelakornya, ada pula sang suami yang selingkuh. Ye kan? Nggak adil banget, lho, ketika yang babak belur hanyalah sang pelakor, sementara suami yang selingkuh aman tenteram saja. Kesyel deh lihatnya.

Anyway, masih soal selingkuh menyelingkuh (gini nih, kebanyakan micin baca Lamtur, bhahak!), beberapa lalu, jagatnet dikejutkan oleh berita tentang Ahok yang menceraikan istrinya dengan alasan perselingkuhan. Kali ini yang selingkuh adalah Veronica Tan, sang estri.

Apa yang terjadi? Apakah nasib laki-laki yang menjadi partner selingkuh Veronica Tan sama babak belurnya dengan Mulan Jameela, Jennifer Dunn dan Ayu Tingting?

Enggak dong!


Cobalah kunjungi Instagram milik Veronica Tan. Banyaklah itu komentar jahat dan tidak senonoh di sana, belum lagi opini-opini miring lain tentang ibu Vero yang bersliweran di media sosial. Yang babak belur ya Bu Vero, sosok perempuannya.

Bias bener ya penilaian masyarakat?

Anyway, kita hidup dalam masyarakat yang memiliki budaya patriarki yang kuat. Budaya ini membagi manusia  menjadi dua kelompok gender, yakni laki-laki dan perempuan. Budaya ini juga mengkonstruksi sifat dan peran kelompok gende, sehingga ujung-ujungnya menciptakan stigma dan stereotip dan melupakan bahwa pada dasarnya setiap individu itu berbeda-beda.

Laki-laki diwajarkan (bahkan diharuskan) bersifat maskulin, kuat, kekar, jantan, perkasa, kasar, agresif, mandiri dan eksploratif. Pokoknya semua yang ngehek-ngehek miliknya cowok. Sementara perempuan diharuskan bersifat halus penyabar, penyayang, keibuan, lemah lembut, emosional, lemah lembut, aseksual, penurut, tidak mandiri dan pasif. Yang manis-manis, miliknya perempuan.

Nah ketika ada perempuan yang tidak sesuai dengan konstruksi sosial tersebut, maka serta merta dia akan mendapat label 'jalang'. (Sementara ketika laki-laki yang tidak sesuai, maka ia disebut 'banci').

Masyarakat masih memberi toleransi ketika laki-laki nakal, selingkuh, seksual, agresif dan gonta-ganti pasangan alias jadi playboy. Namun, perempuan bakal dirajam kalau melakukan hal yang sama. Saya pernah membaca penelitian soal ini, dengan studi kasus film Jomblo yang diangkat dari novelnya Adhitya Mulya dengan film Virgin yang dibintangi oleh Laudya Cynthia Bella.

Perselingkuhan adalah masalah komitmen. Yang salah siapa? Ya mereka yang terlibat di dalamnya, yang tidak mampu menjaga komitmen. Tapi yang disudutkan akan selalu perempuan. Karena perempuan yang berselingkuh/menjadi selingkuhan tidak sesuai dengan konstruksi sifat dan peran gender dalam budaya patriarki. Sementara laki-laki akan bebas melenggang, karena, yaaa dianggap, wajar. Soalnya laki memang begitu, kata orang-orang.

Jadi ingat beberapa waktu yang lalu, seorang mantan mahasiswa membuat sebuah status yang bikin saya gemas. Saya lupa tepatnya seperti apa, tapi intinya, ketika terjadi satu kasus perselingkuhan, yang patut dipersalahkan adalah... sang istri. Status ini sejalan dengan beberapa anggapan yang pernah saya dengar, bahwa seorang istri itu harus piawai 'melayani' suami, supaya suami nggak jajan di luar.

Lagi-lagi yang disalahin perempuan.

Itu coba, siapa yang suka bilang 'Perempuan selalu benar'?

Salah!

Perempuan itu selalu salah!

*pukpuk perempuan*