Laman

Senin, Juli 31, 2017

Tentang Ajakan Menjadi Stay-At-Home-Mom Yang Mirip Ajakan Join MLM

People image created by Whatwolf - Freepik.com
Being a good mother does not call for the same qualities as being a good housewife; a dedication to keeping children clean and tidy may override an interest in their separate development as individuals. - Ann Oakley
....Lu kate istri lu robot, bisa jadi PRT, supir ojek, dokter, guru endeswey endesbrey? 
Beberapa hari yang lalu,  saya membaca status Facebook seorang laki-laki, seorang suami yang memotivasi ibu-ibu untuk menjadi Stay-At-Home-Mom (untuk selanjutnya, sampai tulisan selesai akan disingkat SAHM saja, yes?). Inti dari tulisannya adalah bagaimana ternyata ia malah bisa melakukan penghematan setelah istri resign, mulai dari memotong anggaran untuk pembantu rumah tangga (karena istri bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga), memotong anggaran les (karena istri bisa mengajari anak-anak), memotong anggaran kesehatan (karena istri bisa menjaga kesehatan anak) sampai menghemat ongkos transport (karena istri nggak perlu ke mana-mana). Ditutup dengan kalimat sakti : Rezeki dari Tuhan akan selalu ada.

Posting ini mengesankan betapa hematnya positifnya kalau seorang ibu menjadi SAHM.

Gemes lho saya bacanya. Mas, mas, iya, positif buat mas, tapi apa kabar buat istri?

Baca juga : ORANGTUA IDEAL ITU CUMA HOAX

Saya jadi ingat, saya punya teman, teman sepermainan. Di tahun ini, kayaknya dia sudah empat tahunan jadi SAHM. Keputusan untuk resign diambilnya saat dia baru melahirkan anak pertama.

Sebentar, iya, ide tulisan ini memang curhatan teman saya; tapi saya sudah meminta izin, kok. Ia memperbolehkan saya menjadikan curhatannya sebagai bahan tulisan, asal namanya tidak disebut. Oke, nggak disebut, tapi dikasih link ke Facebooknya apa ya? *ditendang*

Dia sempat cerita alasan-alasannya ingin berhenti bekerja waktu saya membesuknya setelah melahirkan. Katanya ia ingin fokus ngedidik anak dan ngurus keluarga. Sejauh yang saya ingat, saya cuma manggut-manggut saja. Saya anggap dia sudah memikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan menjadi SAHM.



Setelah itu kami nggak pernah bertemu lagi karena tenggelam dalam kesibukan masing-masing tanpa sempat kontak. Sampai kemudian, dua tahun setelah pertemuan terakhir, saya melahirkan, dan sempat terpikir untuk resign juga, jadi SAHM.

Waktu saya bilang saya terpikir untuk resign, spontan dia bilang 'JANGAN! Gila lo! Pikirin dulu mateng-mateng!'

Lah?

Akhirnya dia pun curhat panjang lebar. Dia bilang, dulu keputusan itu dia ambil secara emosional. Kebetulan suaminya memiliki penghasilan yang sangat memadai, sehingga ia ngerasa nggak punya alasan apa-apa lagi buat bertahan bekerja. Belum lagi ia tinggal di lingkungan keluarga yang punya pandangan bahwa ibu Yang mulia, calon masuk surga adalah ibu yang di rumah. Orangtua, mertua, ipar-iparnya setiap hari ngomporin si kawan ini untuk resign. Semua itu, plus kondisi labil pasca melahirkan, bikin dia nggak sempat berpikir panjang.

'...begitu gue resign, ternyata, jadi SAHM itu nggak seindah ituuuu!' Kata dia di WhatsApp, ditutup dengan emotikon nangis berbaris-baris.

Awalnya dia bilang, dia sengaja tidak pakai pembantu, karena dipikirnya bisalah ia sendiri mengerjakan seluruh pekerjaan domestik. Eh, ternyata keteteran. Dia kecapekan, ya ngurusin anak, ya ngurusin urusan rumah tangga. Bangun paling pagi, tidur paling malam. Setiap hari, nggak ada libur.

Lalu, ia mempekerjakan pembantu. Memang tidak capek badan, tapi kemudian muncul ganjalan-ganjalan batin. Ia merasa terisolir karena susah ketemu orang-orang. Lalu buat dia yang sudah terbiasa bekerja, berhenti bekerja membuat dia ngerasa tertinggal dan nggak berkembang. Dia ngerasa bukan siapa-siapa, karena selalu dipanggil 'Ibu(Nama suami)' atau 'Bundanya(Nama anak). Setiap mau beli apa-apa ia harus 'meminta' suaminya pun bikin ia stress, karena ia sudah terbiasa mandiri.

Ada hari-hari dia ngerasa tertekan, nangis di pojokan bareng si bayi. Tiap hari kerjanya marah-marah kayak cewek lagi PMS. PMS permanen kalo kata dia.

'Ekspektasi gue kan jadi ibu ideal ngedidik anak, gape ngurus rumah, suami makin cinta kayak di iklan-iklan produk rumah tangga gitu dehh. Realitasnya? Jadi ibu ideal apaan kalo tiap ari gue uring-uringan.' katanya

Ketika dia cerita pada orangtua, alih-alih dimengerti, dia malah di-judge kurang ikhlas dan egois. Karena menurut lingkungannya, esensi menjadi seorang ibu adalah pengorbanan.

'...pokoknya gue asli depresi lah! Sampai terapi kan gue?'

Setelah mendengar cerita kawan saya, akhirnya saya menunda keinginan saya menjadi SAHM. Keputusan tersebut bukanlah keputusan yang bisa diambil serta-merta, harus dipikirkan matang-matang.

'Percaya gue deh, biar nggak nyesel!' Katanya menututp perbincangan kami lewat aplikasi WhatsApp.

Baca juga : APA YANG TIDAK ORANG CERITAKAN TENTANG PUNYA ANAK

Kembali lagi ke himbauan untuk menjadi SAHM yang kayaknya banyak beredar di media sosial. Bukan sekali dua kali saja saya membaca posting sejenis, kebanyakan isinya hanya bercerita yang 'positif-positif' saja. Jadi SAHM itu anak akan jadi anak yang baik (seolah-olah anak dari ibu bekerja pasti bakal kacau), istri paling ideal adalah SAHM, bahkan ada yang menjanjikan bahwa jadi SAHM itu akan masuk surga. Tapi alasan yang paling amit-amit adalah, kalau istri jadi SAHM, maka hemat pengeluaran, karena nggak harus bayar PRT, baby sitter, transport, dokter, guru dan seterusnya. Doh.

 Ini mengingatkan saya dengan ajakan untuk gabung MLM deh.
'Anda ingin passive income? Anda bakal punya quality time bersama keluarga, ga usah ngantor lagi! Gabung dong dengan MLM Kami! Gaji Anda bakal lebih besar dari gaji boss Anda!'
Saya pernah mengalami, ngejalanin bisnis MLM, yang ternyata ribet. Janji quality time bersama keluarga itu nggak ada, karena sebagian besar waktu ternyata dihabiskan untuk... yes, mencari downline, presentasi, ikut seminar, pertemuan mingguan, blablabla.

'Ah, di mana-mana bisnis itu kudu susah dari awal, nanti enaknya belakangan...' itu kata upline saya. Ngeles. Ahelah, Pak. Kenapa nggak bilang dari awaaaal sebelum gabuuung?

Antara ajakan hijrah menjadi SAHM dengan ajakan gabung MLM ini sama-sama nggak berimbang, yang ditekankan hanya yang enak-enak dan bagus-bagusnya aja. Padahal kan nggak begitu kenyataannya?

Ya lihat saja, kawan saya sampai depresi.

Untunglah, sebelum memutuskan resign, saya sempat mengobrol dengannya. Sekarang saya baru menyadari bahwa pemikiran saya waktu itu berdasarkan emosi doang. Gara-garanya? Anak saya nggak mau minum ASIP via media apa pun, dot nggak mau, cup feeder nggak mau, pipet nggak mau... Maunya langsung nenen dari galonnya. Saya yang pengin ngejalanin ASIX galau dong! Kalau saya gawe masa dia nggak nyusu? Pokoknya sepanjang cuti, yang kepikir 'mau resign, mau resign, mau resign'

Begitu agak 'waras' dan nggak terlalu emosional, saya berpikir ulang, mengadakan analisis SWOT (TSAH!) dan diskusi dengan partner. Akhirnya saya batal resign. Saya ingat banget waktu itu partner bilang, soal menyusui pasti ada jalannya.

Dan benar, ada jalannya! Yaitu, bolak-balik kantor rumah! Cara ini dimungkinkan karena jam kantor saya fleksibel, nggak 9 to 5, nggak Senin sampai Jumat.  Ditambah lagi jarak dari rumah ke kantor yang dekat dan tidak melewati daerah macet!

Sekarang-sekarang saya sih berpikir, ngapain juga dulu panik duluan soal menyusui? Seharusnya dari awal saya sudah bisa melihat bahwa kondisi dan status pekerjaan saya itu sangat memungkinkan untuk ASIX, kan saya bukan baru sebulan dua bulan kerja di tempat ini? Sudah belasan tahun lho!

Kemudahan ini nggak bisa saya 'lihat' , sampai-sampai  saya pengin  resign. Why? Karena saya  emosional!

 Eh, ini bukan posting untuk melarang ibu-ibu memutuskan jadi SAHM, lho! Saya pribadi pro-choice, kok. Apa pun pilihan yang diambil seseorang (lebih spesifik lagi : seorang perempuan, seorang ibu) dalam kehidupannya adalah haknya. Cuma, ada baiknya jika semua keputusan itu diambil pribadi, secara sadar, bukan karena emosi belaka. Bukan pula karena 'terbuai' cerita sukses jadi SAHM di media sosial. Yang namanya media sosial ya? Yang diunggah tentu yang baik-baik saja. Dan bukan juga karena tergiur dengan betapa hematnya ternyata kalau istri menjadi SAHM, karena memotong dana pembantu, transport, kesehatan, les dan anu-anu. Bok, iya, hemat di urusan itu, tapi kesehatan istri lho, apa kabar? Lu kate istri lu robot, bisa jadi PRT, supir ojek, dokter, guru endeswey endesbrey? :D

Oh, BTW, apa kabar teman saya yang depresi menjadi SAHM? Saya senang mendengar cerita kalau 'badai' dalam kehidupannya sudah berlalu. Mulai beberapa bulan lalu ia bekerja mengajar juga, seminggu beberapa kali, beberapa jam. Anaknya usia empat tahun, cerdas, sehat dan baik.

See?  Kita nggak bisa main pukul rata, harus melihat masalah kasus per kasus. Yang berhasil baik di satu keluarga, belum tentu berhasil di keluarga lainnya kan? Satu ibu bisa bahagia menjadi SAHM, satu ibu mungkin malah depresi. Lalu, gagal di satu keluarga, belum tentu gagal di keluarga lain juga. Ketika anak satu working mom berkembang menjadi anak brengsek, ya belum tentu anak-anak working mom lain bakal seperti itu.

...

Rabu, Juli 12, 2017

7 Omong Kosong Tentang Menikah Dini


More belongs to marriage than four legs in a bed. 
Rainer Maria Rilke

"Kamu udah pacaran belum, Nis?"

Tiba-tiba terdengar pertanyaan saat saya sedang menunggu antrian obat di apotik. Perlahan saya pun mengangkat pandangan dari ponsel dan menoleh; tampak dua orang ibu dan seorang remaja berseragam putih biru di samping saya.

Remaja tersebut menggelengkan kepala sembaru tersipu-sipu malu.

"Ah, ntar mah kalau Nisa udah mulai pacar-pacaran, saya kawinin aja lah, biar nggak zina..." sambar ibu yang satunya; ya saya duga adalah ibunya.

Kedua ibu tersebut tertawa terkekeh, sementara sang remaja semakin tersipu.

Dan reaksi saya


via GIPHY

Pertanyaannya, anak sekarang mulai pacaran umur berapa sih? Saya pernah lihat foto yang konon anak SD dengan pasangannya, dari  caption-nya saya tahu bahwa mereka sedang merayakan 4 bulan anniversary-nya (well, empat bulan kok anniversary, jangan tanya saya).