Laman

Selasa, September 19, 2017

4 Hal Gak Asik Akibat Kurangnya Sex Education

sumber
When people say "sex is normal", they don't mean you should do it with everyone. They mean stop making it taboo and educate people about it. - Shafiqah Othman 

....memiliki pengetahuan seks dan seksualitas yang mumpuni, memiliki otoritas tubuh, mengharga diri sendiri, independent, serta bertanggung jawab secara seksual.
Saya sering memanfaatkan waktu mandi anak saya untuk belajar mengenal nama-nama anggota tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Ada beberapa yang sudah bisa ia sebutkan dengan jelas, tapi masih ada juga yang cara menyebutkannya salah. Ya, anak umur 16 bulan gitu, lho. Nggak apa-apa. Setidaknya dia sudah mengenal yang mana, bernama apa, tanpa tertukar-tukar.

Yang bisa ia sebutkan dengan jelas terutama yang namanya berulang, atau dua suku kata. Ia bisa menyebutkan 'Kuku!', 'Pipi', 'Kaki' dan 'Pupa'

Jangan bingung dengan 'Pupa', itu maksudnya 'Vulva'. Yes, organ genitalia-nya.

Saya memang berencana untuk memberitahukan nama-nama anggota tubuh anak saya dengan nama yang seharusnya. Dari kepala, sampai ke kaki, termasuk bagian-bagian tubuh yang terletak di antaranya; seperti organ genitalianya misalnya.

Saya nggak akan membahasakan alat kelamin anak saya dengan nama-nama (rekaan) lain. Kawan perempuan saya diajari bahwa nama kelaminnya adalah 'komom'. Ada yang menyebut 'pipis'. Bahkan saya pernah baca di sebuah artikel, seorang ibu yang tinggal di Amerika Serikat sana memberitahu anak perempuannya, bahwa nama alat kelaminnya adalah.... cookies. Demikian halnya dengan penyebutan nama alat kelamin laki-laki, kakak ipar saya memberitahu bahwa nama alat kelamin anak(cowok)nya adalah 'tuti' (dan saya ngebayangin, apa yang ada di benak anak-anak ini, ketika berkenalan dengan seorang perempuan bernama Tuti :D). Nama-nama lain yang sering dipakai untuk alat kelamin laki-laki antara lain burung, tutut, titit dan lain-lain.




Menyebutkan alat genitalia dengan nama yang tepat adalah bentuk dari early sex education untuknya. ini saya dan partner putuskan karena kami berdua tumbuh sebagai anak-anak yang nggak mendapatkan sex education dengan baik.

Kalau saya pribadi sih, boro-boro sex education, nama organ genitalia yang benar saja saya nggak tahu! Dulu saya diberitahu bahwa namanya adalah 'pepep', itu pun selewat, tidak secara khusus diberitahu, seperti ketika saya sedang belajar nama-nama anggota tubuh lainnya. Masalah perkelaminan ini ditutup rapat-rapat semasa saya kecil. Jangankan dibahas menyeluruh, disebutkan saja juga jarang-jarang. Sejauh yang saya ingat, dulu saya pernah dibelikan buku ensiklopedia pengetahuan alam, ada 10 seri, tapi yang ada di rak buku saya hanya 9. Buku yang kesepuluh --- tentang anatomi manusia, yang di dalamnya juga membahas organ reproduksi --- disembunyikan di lemari orangtua saya.

Oh BTW, untuk menyamakan persepsi tentang sex education, saya kutip (dan terjemahkan) dari Wikipedia ya :


Sex education adalah panduan untuk menghadapi isu tentang seksualitas manusia, termasuk di dalamnya hubungan emosional dan responsibilities, anatomi seksual manusia, aktivitas seksual, reproduksi, age of consent, kesehatan reproduksi, hak reproduksi, safe sex, birth control dan abstinence.
Saya mendapatkan sex education yang baik dalam usia yang cukup telat. Jauh melewati masa remaja, yaitu saat melanjutkan kuliah dan menerima mata kuliah yang berkaitan dengan gender dan seksualitas. Plus, saya pun beruntung,sempat kenal dengan satu badan yang bergerak mengurusi masalah gender. Untunglah masih sempat dapat. Dan sampai sekarang pun saya masih terus belajar.

Anyway, apa akibatnya kalau kita tidak mendapatkan sex education yang tepat? Kalau yang saya rasakan sih, saya mengalami banyak hal nggak asik, yang bakal saya jabarkan di bawah ini.

1. Merasa asing dan malu dengan organ genitalia sendiri.
Saking juwarang-nya dibahas saya merasa bahwa organ seksual saya itu adalah hal yang asing, bukan bagian dari tubuh saya. Jadi saya sering mengabaikannya. Bahkan, saya pun menganggap bahwa organ genitalia saya itu bagian buruk, sehingga bikin saya malu.Kalau ada kenapa-kenapa, misalnya keputihan, maka saya memilih untuk mendiamkannya saja, atau kalau sudah dirasa sangat mengkhawatirkan, maka saya akan mencoba mencari tahu sendiri via majalah/tanya-tanya bisik-bisik dengan teman-teman (yang sama bloonnya dengan saya), bukan dokter.

Seandainya saya mendapatkan sex education, saya akan tahu bagaimana harus bersikap dengan hal-hal yang berhubungan dengan organ genitalia.

Bayangkan jika perasaan asing dan malu ini terjadi pada mereka yang mengalami kekerasan seksual. Saya yakin mereka pun akan malu untuk menceritakannya pada orang yang berkompeten kan? Maka masalah kekerasan seksual akan menjadi kasus yang bagaikan gunung es. Maka pelaku kejahatan seksual pun bisa melenggang bebas :-(

2. Menganggap Seks Adalah Buruk.
Karena organ genitalia serta seksualitas dianggap tabu, dosa, porno dan yang negatif-negatif lainnya, maka saya jadi merasa bahwa perkara seksualitas adalah hal yang buruk. Saya akan merasa malu pada diri sendiri ketika memiliki rasa ketertarikan seksual dengan orang, saya akan merasa sebagai cewek nggak bener ketika memiliki dorongan seksual. Padahal organ genitalia, seks dan perkara seksualitas adalah hal yang alamiah. Bahkan kalau merujuk piramida Maslow, masalah seksual itu masuk ke dalam kebutuhan level fisiologis, disandingkan dengan tidur, bernafas dan makan. Jadi, sama dengan lapar, dorongan seksual itu pasti akan muncul.

Seandainya saya mendapat sex education, saya akan menganggap bahwa dorongan seksual itu wajar, dan tidak melebih-lebihkannya. Pun tidak menghabiskan masa remaja dengan perasaan bersalah karena memiliki dorongan seksual.

3. Merepresi, dan gagal.
Saya sempat mengobrol dengan beberapa kawan yang merepresi dorongan seksual, di badan yang mengurusi soal gender tersebut; kami semua mencapai satu kesepakatan, bahwa ketika satu dorongan ditahan, maka akan 'meledak', tahulah, what you resist persists. Saya pribadi, end up dengan menonton film porno. Yang sialnya membuat saya ingin dan ingin menonton lagi. Ada kawan saya mengaku, jadinya ia kecanduan prostitusi, ada yang jadinya berhubungan seksual dengan setiap pacarnya, ada yang kecanduan masturbasi.

Seandainya saya mendapat sex education yang tepat, tentunya saya akan memahami tentang dorongan seksual, cara me-manage-nya dengan sehat secara fisiologis dan psikologis.

4. Menganggap seks adalah hanya sexual intercourse.
Setiap mendengar kata 'seks', yang terlintas dalam ya pemenuhan dorongan seksual alias hubungan seksual thok.  (Untungnya) Saya tinggal besar dalam lingkungan konservatif dengan kontrol sosial yang tinggi, sehingga membentuk pola pikir yang konservatif juga, sehingga pemikiran ini nggak membuat saya jadi mudah untuk berhubungan seksual (dengan alasan takut dosa).

Nah, apa kabar untuk orang-orang yang lingkungan sosial memiliki kontrol yang lebih longgar? Hubungan seksual akan sangat mudah dilakukan, tanpa memikirkan akibat-akibat setelahnya. Dan saya rasa, semakin ke sini, apa lagi dengan adanya internet yang membuat arus informasi mengalir deras bak tsunami, saya rasa orang-orang sudah tidak bisa 'ditakut-takuti' dengan dosa lagi.

Pola pikir bahwa seks hanyalah sexual intercourse akan mengakibatkan banyak hal buruk : hubungan seksual menjadi hal yang mudah, bahkan mungkin anak SMP akan melakukannya dengan pengetahuan tentang seks dan seksualitas yang minimal. Deuh, apa kabar dengan hamil di usia terlalu muda, penyebaran penyakit menular seksual, kekerasan dalam pacaran dan lainnya deh. Lalu, orang akan memperlakukan orang lain bukan sebagai manusia, namun sebagai objek (maka muncullah yang namanya kejahatan seksual).

Dengan sex education, seseorang akan memahami bahwa perkara seks itu berkaitan erat dengan tanggung jawab, emosi, consent dan lain-lain. Kompleks. Semua akan berpikir sangat panjang sebelum melakukannya.


Begitulah.

Empat hal di ataslah yang memotivasi saya untuk selalu berusaha memberi sex education yang benar bagi anak saya (yang artinya saya pun harus terus belajar masalah ini), sehingga ia bertumbuh menjadi perempuan yang memiliki pengetahuan seks dan seksualitas yang mumpuni, memiliki otoritas tubuh, mengharga diri sendiri, independent, serta bertanggung jawab secara seksual. Sehingga nantinya saya tidak perlu membuat rules to date my daughter ala orangtua posesif, karena anak sayalah, yang akan membuat rules-nya sendiri.

sumber
Oh iya, saya menemukan infografik age appropriate sex talks di Pinterest, yang mungkin akan saya jadikan panduan untuk saya.

sumber

Selasa, September 05, 2017

Tentang Mompetition (Dan 5 Cara Saya Menghindarinya) - Featuring Karya Tisya Hanafie

Motherhood is not a competition to see who has the smartest kids, the cleanest house, the healthiest dinner, the nicest clothes. Motherhood is your journey with your children - Hot Moms Club

....kalau ibu tersebut melakukan pola asuh A, apakah akan merugikan saya dan masyarakat? Kalau enggak, ya sudah, nggak usah ribut.
Walau pun saya baru menjadi ibu setahun belakangan, tapi saya aware banget dengan kondisi tidak harmonis antaribu. Bukannya saya visioner ya? Tapi kebetulan saja, beberapa tahun yang lalu saya menjadi pembimbing tugas akhirnya Tisya Hanafie, mahasiswa saya. Topik yang diambilnya adalah fenomena mompetition, alias kompetisi antaribu, soal apa lagi sih, kalau bukan soal pola pengasuhan? Fenomena ini tak jarang berujung pada mommywar, atau perang antaribu.

Dari proses pembimbingan, saya jadi sedikit tahu gini-gitu-nya mompetition. Kompetisi ini benar-benar nggak sehat, baik buat ibu, anak bahkan keluarganya. Waktu itu saya berpikir kalau saya jadi ibu, saya nggak mau terjebak dalam bentuk kompetisi apa pun. Saya bilang kalau ya, karena saat itu saya, boro-boro mikir punya anak, menikah pun belum masuk rencana hidup.

BACA JUGA : TENTANG MENIKAH DAN MENJADI VOLTES 5

Sejujurnya, dulu sih saya berpikir, ngapain sih ibu-ibu ini pada berkompetisi? Tapi setelah punya anak, saya baru menyadari bahwa kejeblos dalam arena kompetisi ini sungguhlah mudah.

Kenapa ada mompetition?
Sambil menuliskan ini, saya berusaha mengingat-ingat hasil diskusi saya dengan Tisya, ya? Jadi penyebab mompetition ini adalah insecurity. Why insecure? Bayi itu nggak datang dengan manual book, dan kejadiannya, pola pengasuhan yang dianggap berhasil untuk satu bayi, belum tentu berhasil diaplikasikan pada bayi lain. So, sebenarnya ibu-ibu itu clueless, pengin tahu apakah pola pengasuhannya sudah baik atau belum. Bahkan artikel parenting yang katanya ditulis oleh ahli pun gak bisa mengakomodasi segala kondisi yang mungkin ada. Makanya emak-emak kerap intip-intip pola asuh dan perkembangan anak lain, untuk cari tahu, mereka sudah di jalan yang benar atau belum. Dari intip-intip, kemudian mulai membandingkan satu sama lain.

BACA JUGA : APA YANG TIDAK PERNAH ORANG CERITAKAN TENTANG PUNYA ANAK



Yang kedua, adalah rasa excited dan kebanggaan terhadap anak sendiri. Namanya anak sendiri ya, apa-apa tentunya menarik dan membanggakan. Hal ini bikin seorang ibu selalu bersemangat sharing soal anaknya pada seluruh dunia. Ketika kisahnya dibaca oleh ibu lain, muncullah perbandingan-perbandingan itu.

Saya pikir saya nggak akan insecure, ternyata insecure juga. Apa lagi sebelumnya saya nggak punya pengalaman punya anak, blank lah. Lalu soal excitement, beneran perasaan ini nggak bisa ditolak, bagi seorang ibu (dan orangtua secara umum), apa pun yang dilakukan oleh anaknya itu menarik. Bahkan anaknya napas atau ngedip aja dianggap lucu. Seriusan deh.

Saya pun sudah berusaha sedemikian rupa untuk jauh-jauh dari arena mompetition, tapi kadang saya suka culun untuk menyadari bahwa satu pertanyaan sederhana saja bisa menyeret saya masuk ke dalamnya. Misalnya, satu hari ada seorang ibu bertanya tentang berat anak saya, ya saya jawab. Kemudian dia bilang 'Iiih, dulu anak gue waktu seumur gitu beratnya sekian kilo lhooo!'

Alih-alih cuek, tapi saya malah tergores merasa anak saya di'hina', dalam hati saya berseru '...bitch. Biasa aja deh.'

Tapi enggak kok, saya nggak pernah sampai adu mulut. Maleys.

Apa akibatnya jika seorang ibu kompetitif?
Salah satu posting  saya di Instagram ,tentang mompetition, pernah di-regram oleh satu akun ber-followers banyak. Dari sana, mendadak banyak yang me-regram ditambahi dengan curhat tentang kebiasaan membanding-bandingkan ini. Berhubung sekarang adalah eranya media sosial,  mereka seringnya membandingkan diri sendiri dengan mamagram alias mama-mama penggiat Instagram yang posting parenting-nya kinclong. Ada yang bilang, mereka jadi semakin insecure dengan pola asuh sendiri, ada yang bilang lagi ada yang kemudian berusaha membeli semua barang yang dipakai oleh mama-mama idola/influencer tersebut, yang kebetulan menampilkan perkembangan prima sang anak.

Ini nggak sehat.

Bisa jadi seorang ibu kemudian akan frustasi karena perkembangan anak tidak seperti para mama-mama influencer, kemudian ujung-ujungnya bakal melampiaskan rasa frustasinya dengan memaksakan satu pola asuh pada anak sendiri. Kasihan anaknya bok!

Bisa juga seorang ibu kemudian jadi... boros. Beli ini, beli itu, les ini, les itu, agar sang anak bisa secemerlang anak para influencer.

Bagaimana (saya) menghindarinya.
Awalnya saya memakai sikap pro choice, satu istilah yang saya adopsi semena-mena dari pro choice movement, kemudian saya terjemahkan sebagai : bersikap mendukung seluruh pilihan ibu terhadap anaknya. Mungkin saya salah adopsi istilah, karena kemarin sempat ada beberapa orang yang protes. Lagi pula, pada akhirnya saya nggak benar-benar mendukung pilihan ibu lain juga kok, tapi sikap yang saya ambil cenderung ke tidak peduli.

Anyway, pada intinya, saya tidak mau usil terhadap pilihan pola asuh seorang ibu, plus saya tidak mau diusili orang lain. Tindak nyatanya adalah

(1) Ketika melihat pola asuh seorang ibu yang berbeda dengan pola asuh yang saya lakukan, saya akan berusaha keras mingkem, nggak komentar apalagi kritik. Biarlah judgement-judgement itu tinggal di otak saja
(2) Tidak memberikan saran parenting, kalau nggak ditanya.
(3) Tidak terlalu banyak dan detail sharing soal anak, karena semakin banyak sharing yang bawel bakal semakin banyak. Betul? :))
(4) Ketika bersama ibu-ibu lain, berusaha untuk nggak melulu ngomongin anak.
(5) Nggak kepo soal anak lain, untuk tahu bahwa saya sudah di 'jalan yang benar' saya hanya berpanduan pada dokter anak, dan mungkin psikolog ketika ia sudah lebih besar.

BACA JUGA : 3 ALASAN SAYA TIDAK MENGUNGGAH FOTO ANAK DI MEDIA SOSIAL

Saya akan memilih mengajukan satu pertanyaan sebelum saya masuk ke adu argumen tertentu dengan ibu lain : kalau ibu tersebut melakukan pola asuh A, apakah akan merugikan saya dan masyarakat?

Kalau enggak, ya sudah, nggak usah ribut.

Misal, ketika seseorang memilih untuk menggunakan epidural saat melahirkan, apakah merugikan saya? Masyarakat lain? Kalau jawabannya enggak, saya memilih diem. Ketika seorang ibu memilih menggunakan sufor, apakan merugikan saya? Kalau enggak, saya mingkem dan seterusnya. Satu-satunya (sejauh saya ingat) yang pernah saya kritik adalah  soal pilihan orangtua untuk tidak memvaksin anaknya. Ini nggak lain, karena saat saya mengajukan pertanyaan : apakah akan merugikan saya dan orang lain, jawabannya adalah iya. BTW, silakan baca posting Grace Melia yang terkena rubella saat hamil : Pesan dari ibu yang terkena rubella saat hamil.

BACA JUGA : SETAHUN MENYUSUI : DARI FREEZER YANG TIDAK PERNAH PENUH SAMPAI TIDAK RELA MENYAPIH

Gicu. Mompetition mah hindari aja deh, biar tetap waras, buibuk! :D

Anyway, ini dia poster untuk Kampanye Mompetition karya Tisya Hanafie.