Laman

Rabu, Desember 16, 2015

(Nikah) Bukan Sumber Kebahagiaan

Sumber : kaboompics

“When marrying, ask yourself this question: Do you believe that you will be able to converse well with this person into your old age? Everything else in marriage is transitory.” -  Friedrich Nietzsche

... Ia tercenung sejenak sebelum pada akhirnya menjawab,'Ya kawin aja, biar bahagia, kayak orang-orang...'.
Sekitar satu tahun yang lalu, saya melihat ada spanduk terbentang di sebuah posyandu; isinya tentang usia ideal untuk menikah. Di situ tertulis : 26 tahun. Sambil cengar-cengir, saya memotret spanduk tersebut, kemudian mengunggahnya di Path, dengan caption : Oh nooo, Gue telat sepuluh tahun! *Tentu saja itu bercanda* :))

Yagitudeh, katanya, umur menikah saya telat. Mungkin bagi beberapa orang bukan telat doang, tapi telat pakai banget. Pembahasan kawin-mengawin dengan partner-slash-soulmate saya ini baru kejadian beberapa bulan sebelum memasuki usia 38 tahun. Ya maab. Kami berdua memang keasyikan bermain.

Anyway, gara-gara 'telat kawin' (berdasarkan spanduk itu lho! Kalau kata saya sih enggak :P), beberapa orang kawan yang masih lajang di usia tiga puluh ke atas kemudian menjadikan saya sebagai benchmark; mereka bilang, setiap dilanda panik karena umur segitu belum juga kawin, mereka akan mengingat saya, lalu.. tenanglah hati mereka. Ngeselin ya? Lebih ngeselin lagi, kalau kebetulan saya mengenal orangtua mereka, setiap para ortu bertanya 'kapan?', dengan cepat mereka jawab 'Ah Okke aja umur segitu belum menikah...'. Penekanan tentu saja pada kata 'umur segitu'.

Mo. Nyong. :D

Cuma konon sih, setiap dibilang seperti itu, ortu mereka bakal manggut-manggut dan sedikit lega, ternyata ada yang lebih tua dari anak mereka yang belum nikah juga. Ya sudahlah ya, menenangkan hati orang tua, upah saya besar di surga. :))

Kamis, Desember 10, 2015

Kita di Media Sosial : Seleb-Seleb Delusional

sumber
Celebrity gives us delusion of self-importance - Al Goldstein

... Sekarang, lewat media sosial, saya, kamu, kita, semua orang bisa memamerkan keseharian masing-masing seperti selebritas. Delusional.
Sudah telat belum kalau saya ngomongin soal bagaimana mahluk media sosial merusak taman bunga di Gunung Kidul?

Ya pasti sudah lah ya!

Isu menghebohkan di dunia media sosial itu kan 'panas'-nya cuma sekejapan mata, heboh dibahas, heboh didiskusikan, heboh dibikin meme paling tidak sehari sampai dua hari, lewat dari situ? Kembali adem, seperti tidak terjadi apa-apa. Menunggu sampai ada hal heboh untuk di'rame-rame'in lagi.

Kalau ada yang masih 'hah? Taman bunga apaan sih?', pokoknya gini lah, intinya ada orang-orang yang menginjak-injak taman bunga di Gunung Kidul dan tidur-tiduran di atas rumpun bunga demi.... foto. Untuk ceritanya sih, silahkan  intip : http://travel.detik.com/read/2015/11/30/132812/3083870/1382/pelajaran-dari-taman-bunga-gunungkidul-yang-rusak

Nah saat rame-rame pembahasan peristiwa tersebut, sempat tercetus 'Gila ya? Demi upload foto di sosial media, sampai segitunya?'

Tapi kemudian alih-alih latah ngedumel, saya malah jadi mikir, bukankah kita semua punya kecenderungan seperti itu? Menganggap bahwa posting di sosial media adalah salah satu hal yang penting bagi kehidupan kita, walau pun kadarnya berbeda-beda. Ada yang ekstrim, sampai menganggap (tampilan di) media sosial adalah segalanya, seperti oksigen, sampai nggak mikir risiko kehilangan nyawa karena terjatuh dari tebing atau diseruduk banteng, seperti video di bawah ini.