Laman

Kamis, Desember 10, 2015

Kita di Media Sosial : Seleb-Seleb Delusional

sumber
Celebrity gives us delusion of self-importance - Al Goldstein

... Sekarang, lewat media sosial, saya, kamu, kita, semua orang bisa memamerkan keseharian masing-masing seperti selebritas. Delusional.
Sudah telat belum kalau saya ngomongin soal bagaimana mahluk media sosial merusak taman bunga di Gunung Kidul?

Ya pasti sudah lah ya!

Isu menghebohkan di dunia media sosial itu kan 'panas'-nya cuma sekejapan mata, heboh dibahas, heboh didiskusikan, heboh dibikin meme paling tidak sehari sampai dua hari, lewat dari situ? Kembali adem, seperti tidak terjadi apa-apa. Menunggu sampai ada hal heboh untuk di'rame-rame'in lagi.

Kalau ada yang masih 'hah? Taman bunga apaan sih?', pokoknya gini lah, intinya ada orang-orang yang menginjak-injak taman bunga di Gunung Kidul dan tidur-tiduran di atas rumpun bunga demi.... foto. Untuk ceritanya sih, silahkan  intip : http://travel.detik.com/read/2015/11/30/132812/3083870/1382/pelajaran-dari-taman-bunga-gunungkidul-yang-rusak

Nah saat rame-rame pembahasan peristiwa tersebut, sempat tercetus 'Gila ya? Demi upload foto di sosial media, sampai segitunya?'

Tapi kemudian alih-alih latah ngedumel, saya malah jadi mikir, bukankah kita semua punya kecenderungan seperti itu? Menganggap bahwa posting di sosial media adalah salah satu hal yang penting bagi kehidupan kita, walau pun kadarnya berbeda-beda. Ada yang ekstrim, sampai menganggap (tampilan di) media sosial adalah segalanya, seperti oksigen, sampai nggak mikir risiko kehilangan nyawa karena terjatuh dari tebing atau diseruduk banteng, seperti video di bawah ini.



Atau mungkin yang levelnya tidak ekstrem, seperti berapa lama rela kelaparan demi memotret makanan di resto untuk kemudian diunggah ke media sosial? Seberapa lama rela pegal leher, pegal tangan dan bahu untuk memperoleh selfie ter-fabyeles untuk di-upload? Seberapa buru-burunya menggambar dan rela ribet-ribet nge-set meja gambar supaya bisa difoto dan di-upload? Well, yang terakhir mah saya. :))

Dari fenomena yang sudah disebutkan, ada satu pertanyaan paling krusialnya: Seberapa penting sih aktivitas kita itu bagi orang yang melihat posting kita?

Mungkin nggak ada.

Mungkin, lho. Jangan sedih dulu, lah. :))

Padahal di era 90-an, hanya selebritas-lah yang bisa memamerkan kegiatan hariannya, dari bangun tidur, belanja, rekaman, shooting dan apa pun lah, dipublikasikan melalui televisi, radio, majalah atau surat kabar. Pentingkah apa yang mereka lakukan? Kalau sampai disiarkan di televisi, ya pentinglah. Setidaknya penting buat para fans.

Kemudian muncullah era so called reality show, di mana orang biasa-biasa saja kemudian bisa masuk TV, saya ingat betul, pertama kali saya melihat semacam reality show adalah Diari AFI, tayangan yang berisi drama keseharian para peserta ajang adu bakat AFI. Penting nggak kehidupan orang-orang ini? Ya penting buat yang mengikuti acara AFI ini kayak saya. #eh

Sekarang, lewat media sosial, saya, kamu, kita, semua orang bisa memamerkan keseharian masing-masing seperti selebritas. Delusional.

Iya saya tahu saya mengadopsi istilah medis slash penyakit kejiwaan semena-mena, ya gimana lagi, tapi saya merasa bahwa di media sosial kita (mengidap) delusional bareng-bareng, tipe grandiose, memercayai bahwa diri kita terkenal, luar biasa keren dan hebat sampai semua orang ingin tahu keseharian kita.

Why oh why?

Saya rasa ini karena salah satu kebutuhan manusia adalah mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosial, dan media sosial ini memenuhi kebutuhan kita yang itu. Setiap likes, setiap comments, setiap orang yang follow, setiap friend request, setiap repath, setiap retweets, love dan teman-temannya, menunjukkan bahwa kita itu dianggap ada dan diapresiasi oleh lingkungan sosial kita (walau maya ya). Perasaan senang karena diakui tersebut kemudian menjadi candu, secara terus-menerus kita posting apa pun itu, dari pemikiran brilian, hal-hal lucu, foto anak, foto USG bayi, sampai update 'lagi pup euy!'

Memang ada yang kemudian menjadis selebritas media sosial beneran, dengan followers ratusan ribu sampai jutaan, yang cuma dengan ngetweet 'Halo!', yang respons sampai ribuan. Tapi ada juga yang tidak. Buat yang tidak mendapat respons maksimal, akan berusaha lebih keras lagi untuk menampilkan posting yang disukai khalayak, agar haus akan pengakuan lingkungannya terpenuhi :)

Posting demi apresiasi memangnya salah? Nggak juga sih. Kita semua gitu kan? Tapi masalah? Bisa iya, bisa enggak. Jadi masalah banget kalau hanya demi mendulang lebih banyak likes, loves, follows, friend requests, retweets dan lain-lain, kita jadi mengabaikan apa pun yang ada di sekitar kita. Kayak tidur-tiduran sampai merusak kebun bunga di Gunung Kidul , seperti yang tersebut di awal posting ini. Atau menghadang bahaya demi update media sosial, seperti yang ada di artikel ini. Duh.

Akhir kata, sebagai penutup, saya jadi pengin memodifikasi quote yang saya pakai di awal posting ini :
Social media gives us delusion of self-importance - Al Sepatumerah *AHAK!*

2 komentar:

beyourselfwoman mengatakan...

Hmmm mau ngomong apa ya? Mungkin kalau nggak kalah cepet sama abg2 itu, aku juga bakal tiduran di bunga2 itukah? Heheheee. Tapi kalau lingkup blogger memang makin stress dg angka2 popularitas. Angka2 tsb dikejar via tampilan di socmed, sesering mungkin & sebanyak mungkin like love etc. Motivasi utamanya sekarang uang. Kalau perlu uang + selebritas. Apakah itu delusional?

mamamolilo mengatakan...

Bisa jadi, delusional bertarget . Bhahak :))