Laman

Rabu, April 18, 2018

#Modyarhood Dari Sebel Jadi Kangen.

Did you know, when kids go to bed, you can hear yourself think again? I sound fabulous - Paige Kellerman


Sudah waktunya #modyarhood lagi nih! Sekedar mengulang, untuk yang baru dengar istilah #modyarhood, ini adalah blogging project saya bareng Puty. Intinya kami berdua akan membuat blog-post dengan tema-tema seputar motherhood, dari sudut pandang kami berdua. Lalu, kami mau mengajak ibu-ibu blogger lainnya untuk posting tulisan dengan tema yang sama. Ya tujuannya sih untuk melihat banyak variasi sudut pandang soal menjadi ibu, agar wawasan kita terus bertambah. TSAH!

Anyway, sudah ada 4 topik yang kami inisiasi, yakni : 5 Alasan Saya nggak Rajin Baca Parenting Books, Belajar Menjadi Ibu yang Waras dari GTM ,Kencan Setelah Punya Anak, dan Kerjaan Domestik : Sepele Tapi Bikin Senewen. April ini sudah ada 2 pihak yang mau mensponsori. Jadi baca terus ya buibuk, untuk tahu apa dan gimana cara dapetin hadiahnya.
 

Temanya? Momen-momen yang dikangenin setelah punya anak.

"Nikmati aja segala kesulitan yang kamu hadapi sekarang.... nanti kalau anak udah gede, kamu kangen lho!"
Perasaan, setiap ngeliat poster ibu dan bayi di sesi check up ke obgyn sepanjang masa hamil, yang saya lihat adalah ekspresi tersenyum sumringah dari wajah fresh sang ibu, dan wajah damai sang bayi tidur.

Begitu anak saya brojol, nggak ada itu hari-hari selalu penuh senyum di wajah fresh dengan bunga-bunga bermekaran di sekitar ibu dan sang bayi. Yang ada... chaos. Dan semuanya melelahkan fisik dan mental. Dari anak saya masih newborn, sampai sudah mau 2 tahun, kayaknya nggak kelar-kelar capeknya. Muke fresh? Mana adaaa!

Yes, poster itu hoax adanya!

Sebagai ibu baru satu anak yang sama sekali nggak punya pengalaman soal mengurus anak (dan pada dasarnya bukan orang yang suka anak-anak ala-ala miss-miss playgroup) awal-awal saya sering sebel.  Kadang saya berpikir 'Ya ampun, udah enak-enak gak beranak, tetiba kehidupan jadi rumit begini... ngapain?'

Terdengar bukan sebagai ibu yang nggak bersyukur sih ya? Dimaklumi saja, masa adaptasi. :D

Kalau sekarang mah nggak lah ya. Saya happy banget punya Lilo.

 "Nikmati aja segala kesulitan yang kamu hadapi sekarang.... nanti kalau anak udah gede, kamu kangen lho!" Saya ingat betul, beberapa orang senior menasihati begini

Waktu itu sih saya cuma tersenyum kepaksa, karena ngomong 'YA ELU ENAK NGOMONG GITU KARENA RIBETNYA UDAH LEWAT! COBA PAS NGALAMIN! PUSING JUGA DEH!' itu nggak sopan.

Anyway, ini dia dua hal yang (sempat) bikin saya sebal selama jadi ibu

1. Menyusui
Satu sisi, saya ingin menyusui anak saya sampai 2 tahun ++, tapi di sisi lain, saya sempat sebel bahkan frustasi menyusui. Ini karena puting saya sempat lecet. Dari situ, menyusui terasa sangaaaat menyebalkan. Saya selalu merasa ketakutan ketika anak saya terbangun dan ingin menyusui.

Karena sakitnya, ya ampun. Bayangkan bagian tubuh luka, trus diisap/mengalami gesekan terus menerus. Bok, jangan remehkan gusi bayi yak? Gitu-gitu keras juga.

Tuh kan, pas menuliskan ini saya sampai merinding sendiri.

Saya nyaris memberi anak saya sufor, di usianya yang 3 minggu. Waktu itu jam 3 subuh, belum tidur proper, puting sakit, dan anak saya nenen nggak kelar-kelar. Aslik saya nangis-nangis dan bilang pada partner saya : 'Lilo dikasih sufor ajaaa... nggak kuaaaat....'

Cuma, untuknya, saya sempat ketiduran. Dengan kondisi cukup istirahat, saya bisa memotivasi diri untuk terus menyusui.

2. Kehilangan banyak waktu untuk melakukan hal yang saya suka.
Dulu saya sempat bertanya-tanya, kenapa seorang perempuan, ketika menjadi seorang istri/ibu, harus 'menghilangkan' dirinya sebagai individu? Nama, ikut nama suami. Begitu punya anak, jadi 'Mama + nama anak'.

Kemudian saya bertekad, untuk tetap mempertahankan nama saya setelah nikah, bahkan sampai punya anak. Iya, saya nggak pernah dipanggil Nyonya/Ibu + nama suami sih. Tapi gegara personal rebranding (AHZEK!), dan saya memakai nama Mamamolilo, maka sekarang saya sering disebut : Mamanya Lilo. Padahal, awalnya maksudnya Mamamo dan Lilo lho, saya menampilkan saya dan anak saya. Dan padahal lagi, Lilo memanggil saya dengan Ibuk, bukan Mama. #penting

Tapi ya sudahlah, karena ternyata ujung-ujungnya, ada hal yang lebih 'ganggu' buat saya dibandingkan dengan kehilangan nama.

Kehilangan waktu buat melakukan hal yang saya suka. Sebenarnya, bukan kehilangan juga sih, masih sempat, tapi jumlahnya jadi lebih sedikit. Sebenarnya lagi, hal ini wajar, ada individu baru yang masuk dalam kehidupan saya, dan individu tersebut masih butuh banyak bantuan dan bimbingan saya sebagai orang dewasa. Yakali, begitu brojol, dianggurin gak diurusin? Yekan?

Tapi jujur-jujuran, saya kangen waktu selo saya.Salah satu yang sering bikin saya kangen adalah keleluasaan waktu untuk menggambar, menulis, baca buku dan jalan-jalan.

...

Nah, sekarang Lilo sudah mau 2 tahun nih. Perkataan para senior itu baru mulai kerasa. Seharusnya, sebentar lagi saya sudah boleh menyapih yes? Tapi yang ada, sayanya yang nggak mau! Aslik lho sedih banget mikirin Lilo nggak menyusui lagi.

Memang benar adanya bahwa menyusui itu bukan cuma ngasih asupan nutrisi doang, tapi masalah bonding. Setelah drama puting lecet kelar, sesungguhnya saya sangat menikmati momen kebersamaan selama menyusui. Kalau dulu saya hampir nyerah menyusui, sekarang? Saya rela anak saya nyusu sampai umur berapapun. Relaaa! Sampai wisuda S1 pun rela! :))

Kemudian saya jadi tambah mikir, setelah beberasa saat sempat merasa kalau Lilo itu 'ngabis-ngabisin' waktu saya, saya jadi kebayang, apa jadinya kalau satu saat nanti,  dia punya kehidupan sendiri? Nggak, bukan masalah kawin, kejauhan. Lagian saya juga nggak ngewajibin dia kawin, tapi Di masa dia mulai sekolah, punya aktivitas dan teman-teman sendiri? Waktunya kan nggak lagi sepenuhnya bersama saya?

Arrgh. Saya sedih banget asli mikirinnya.

Sampai sempat bikin posting ini di IG, tolong dibaca caption-nya supaya kita bisa mellow basamo ya buibuk! Atau kalau kamu masih anak-anak alias belum jadi ibu-ibu, semoga kamu bisa mengerti gimana perasaan ibu kamu. #KemudianTeleponMamahSaya



Untuk menambah kemellowan, silakan simak video berikut ini. :))))




Slipping Through My Fingers


Schoolbag in hand, she leaves home in the early morning
Waving goodbye with an absent-minded smile
I watch her go with a surge of that well known sadness
And I have to sit down for a while
The feeling that I'm losing her forever
And without really entering her world
I'm glad whenever I can share her laughter
That funny little girl

Slipping through my fingers all the time
I try to capture every minute
The feeling in it
Slipping through my fingers all the time
Do I really see what's in her mind
Each time I think I'm close to knowing
She keeps on growing
Slipping through my fingers all the time

Sleep in our eyes, her and me at the breakfast table
Barely awake I let precious time go by
Then when she's gone, there's that odd melancholy feeling
And a sense of guilt I can't deny
What happened to the wonderful adventures
The places I had planned for us to go
Well, some of that we did, but most we didn't
And why, I just don't know

Slipping through my fingers all the time
I try to capture every minute
The feeling in it
Slipping through my fingers all the time
Do I really see what's in her mind
Each time I think I'm close to knowing
She keeps on growing
Slipping through my fingers all the time

Sometimes I wish that I could freeze the picture
And save it from the funny tricks of time

Slipping through my fingers...

Slipping through my fingers all the time

Schoolbag in hand, she leaves home in the early morning
Waving goodbye with an absent-minded smile
 .
 .
 .
 .
 .
Buibuk? Halo?

Masih nyimak kan?

 *sodorin tisu*

Kalo buibuk punya cerita soal hal yang disebelin dari punya anak, tulis juga yuk di blog masing-masing! Sepertinya yang sudah disebut di awal tulisan ini, untuk edisi April, #Modyarhood dapat 2 sponsor hadiah buat 2 ibu-ibu yang ikutan curcol dengan tagar #Modyarhood.

Syaratnya?

1. Tulis blog post dengan tema ini di blog buibuk.
2. Posting foto yang ngasih URL postingan buibuk dan tag/mention Kami di Instagram. Jangan lupa beri tagar #Modyarhood
3. Tinggalkan komen dengan tautan ke posting buibuk di blog saya dan Puty
4. Deadline tanggal 26 April 2018 ya?

Berikut ini profile dari sponsor Kami bulan April 2018. Hadiahnya oke, lho! Baby book, buat merekam semua perkembangan anak-anak buibuk dan nursing wear, buat buibuk yang lagi drama menyusui. :))

@Thepaperfairyprint creates paper products, especially simple baby book, calendar, photo book with sophisticated designs. We specialized in customized calendar & photo book. We provide a very personal design with touch of creativity.




2. @nyonya_nursingwear Momen menyusui adalah masa bonding terbaik dengan si Kecil. Namun kadang Bunda sulit untuk mencari pakaian yang mempermudah menyusui namun sekaligus chic. Nyonya Nursingwear menyediakan nursing wear yang berkualitas baik, dengan model yang fashionable, dan banyak varian. Silakan intip website-nya di: http://www.nyonyanursingwear.com

Rabu, April 11, 2018

Siapa Bilang Anak 2 Tahun Nggak Bisa Diajari Feminisme?


“Parenthood. It's about guiding the next generation, and forgiving the last.” - Peter Krause 



...Isu dalam feminist parenting lebih luas, dari isu body image, respect terhadap orang lain, toleransi/menghargai perbedaan dan perkara seksualitas
Ahahaha, saya tahu, judul posting-an ini akan membuat beberapa orang berkerut kening. Ye kan? Ye kan? Sengaja, biar di-klik. Kalau udah diklik, baca dong! :)))

Jadi ceritanya saya tercyduk ikutan group online feminist parenting oleh seseorang. Tadinya interaksi saya dengan orang tersebut hanya setiap hari raya, cuma gara-gara ini, dia ninggalin message via Facebook. Kebetulan dia seorang ibu juga, jadi dari basa-basi kami berlanjut ngomongin soal anak, pola asuh yang kemudian mengarah ke diskusi soal feminist parenting.

Sebagai informasi, saya join group tersebut karena tertarik dan pengin nambah wawasan. Iya, memang saya tertarik soal feminist parenting, dan sedang mencari tahu lebih banyak lagi tentang ini, karena somehow kok  goals-nya pas seperti yang ada dalam bayangan saya, ketika saya baca-baca metodenya, saya menjadi semakin tertarik, tapi sedang mengadaptasi dan mencari cara-cara yang pas untuk menerapkannya.

Saya suka diskusi, namun untuk kali itu saya sebal. Diskusi-diskusi tersebut kok jadi full kritik. Dan semua pernyataannya bikin saya pengin merespons 'APASEEH?'

Ia mengatakan bahwa saya memaksakan anak perempuan saya untuk menjadi laki-laki/tidak sesuai kodratnya.

 "Ngapain sih feminist parenting, feminist parenting kayak gitu. Nanti kalau dia jadi lesbian atau transgender, nangis-nangis lo!" itu katanya.

Lalu ia menambahkan, bahwa saya sedang memaksakan/mencekoki anak saya dengan ideologi saya.

Awal-awal saya masih menjelaskan bahwa saya tidak sedang menjadikan anak saya laki-laki (atau lesbian/transgender). Saya kasih barang-barang aneka warna, termasuk pink (jadi nggak pink melulu). Saya kasih dia boneka fluffy tapi juga robot. Dia mau main masak-masakan, ya monggo. Dia mau main mobil-mobilan juga boleh. Intinya, saya nggak mau membatasi bakat dan minatnya.

Soal mencekoki anak dengan ideologi, pertanyaan saya : siapa sih orangtua yang enggak gitu? Siapa sih orangtua yang enggak 'mencekoki' apa yang kita percaya pada anak kita sewaktu mendidik? Misal, mengajarkan ajaran agama? Mengajarkan tata cara/tradisi/norma sosial yang dianut orangtua bertahun-tahun pada anak? Sama aja kali nggak ah!

Alasan saya 'mencekoki' anak saya dengan pola pikir seperti ini, mungkin  sama saja dengan alasan orangtua lain 'mencekoki' ajaran agama/norma sosial dan lain-lain. Untuk membekali sang anak agar ia dapat survived di dunia dan jadi high quality individual. Ya minimal, nggak nyumbang masalah dalam masyarakat. Ye kan?

Conversation itu berakhir dengan... saya tidak membalas lagi message-nya. Abis kesel, dia ngomong seolah-olah saya sedang menghancurkan anak saya dengan feminist parenting.

Anyway, saya yakin orang tersebut mengkritik saya sebenarnya karena kesalahpahaman tentang feminist parenting sendiri. Ya, memang nasibnya feminist sih, sering disalahpahami dan dialergi-in, senasib dengan istilah 'patriarki' dan 'gender'. :)))

Dari situ, saya kemudian bikin survai iseng di Instastory.

'Kalau mendengar istilah 'feminist parenting', apa sih yang ada di pikiran buibuk?'

Jawabannya cenderung seragam, mengatakan bahwa menjadikan anak perempuan yang kuat, nggak harus pakai pink atau main boneka.

Intermezo : ada sih yang menjawab berbeda, yakni : 'Mendidik anak perempuan supaya jadi cewek banget dan lembut banget...'

Jawab ini bikin saya terdiam sesaat dan baru ngeh beberapa menit kemudian. OWALAH! Mungkin maksudnya feminin!:)))

Balik lagi. Mari kita luruskan dulu, bahwa feminist parenting, bukan cuma masalah nggak ngasih anak warna pink dan membiarkan anak perempuan melakukan aktivitas anak cowok kok. Bukan pula satu pola asuh untuk mencetak feminist di masa depan. Isu dalam feminist parenting lebih luas, dari isu body image, respect terhadap orang lain, toleransi/menghargai perbedaan dan perkara seksualitas.

Inti feminist parenting bagi saya adalah pola asuh yang bisa membuat anak menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, dan mampu bertoleransi/menghargai perbedaan. Semuanya non violent, dan nggak ada yang berbahaya kan?

Gambaran agak detail soal feminist parenting saya sarikan dari artikel  di Everyday Feminism, ini ya? (Kalau mau lebih jelas, sila baca sendiri saja artikelnya)

Feminist parenting itu  bertujuan agar anak mampu :

1. Menghargai diri sendiri
Pada dasarnya, feminisme itu bukanlah membenci cowok please lah, hey.  adalah menghargai setiap orang sebagai manusia, baik itu mengharga tubuh, emosi dan pikirannya. Termasuk dirinya sendiri. Dengan feminist parenting, anak akan belajar untuk menghargai tubuhnya sendiri, kemampuan diri dan menyadari bahwa dia punya hak atas tubuhnya sendiri. Plus dia juga belajar soal menghargai emosi dan pikiran sendiri.

2 Menghargai pikiran dan perasaan sendiri.
Ini artinya menganggap apa pun yang ia rasa dan pikirkan itu matters. Supaya anak bisa memahami dan menghadapi emosi dengan sehat. Saya melihat generasi saya tumbuh dalam lingkungan di mana anak harus menurut apa yang dikatakan orang dewasa. Menyatakan apa yang saya pikirkan/rasakan akan dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Kalau dipikir-pikir, artinya perasaan/pikiran anak diabaikan ya nggak sih?

3. Membuat keputusan sendiri.
Hal ini bikin anak lebih bertanggung jawab dalam memilih, dan belajar untuk menerima konsekuensi sendiri. Kalau orangtua yang memilihkan, dia nggak mikir kan? Kemudian, karena tidak terbiasa menerima konsekuensi, maka kalau terjadi apa-apa, dia akan cenderung menyalahkan pihak lain.

4. Menghargai Orang Lain
Dengan memiliki respect pada diri sendiri, tentunya ia akan paham bahwa ia harus respect pada orang lain. Dia nggak akan melakukan hal yang menyakiti tubuh/perasaan orang lain, kayak mem-bully misalnya dan lain-lain.

5. Menghargai Perbedaan
Anak-anak usia 3 - 5 tahun itu menganggap semua orang itu sama. Namun semakin besar, semakin banyak terpapar pengetahuan dari lingkungannya, anak jadi memilah-milah. Memilah nggak apa-apa, tapi jangan sampai mendiskriminasi yang berbeda. Apalagi sampai melakukan kekerasan karena itu.

Coba, coba, kayaknya nggak perlu  ada ditakutkan, ya nggak sih?

Latar belakang orang tersebut adalah psikologi, ini saya kena kritik dengan membawa teori perkembangan anak. Menurutnya, jangan sampai saya membuat kerusakan mental dengan mendidik anak saya tidak sesuai usia.

Well, mungkin dia menganggap saya sebegok itu ya? :)))

*elus dada*

Seperti yang saya bilang, tentu saja seluruh informasi parenting yang saya dapat, saya bandingkan, saya filter, saya adaptasi. Anak saya baru dua tahun, ya aplikasi dari hal-hal yang saya sebutkan di atas itu sederhana banget kok, nggak rumit-rumit, karena percuma. :))

Antara lain :
  • Saya mengajarkan bodily autonomy salah satunya dengan tidak menindik telinganya. Biar saja nanti kalau sudah besar ia mau tindik, tindiklah. Kata orang, tindik saat besar itu lebih kerasa sakitnya. Well, biar saja, sakit itu konsekuensi atas pilihannya.
BACA JUGA : TUBUH ANAK SAYA, MILIKNYA, BUKAN MILIK ORANG LAIN
  • Another lesson of bodily autonomy, saya tidak akan terus menggelitikinya kalau ia tidak mau, plus sekarang saya sedang sounding soal sentuh-menyentuh, saya bilang 'Kalau Lilo nggak suka/nggak mau disentuh, bilang baik-baik sama orangnya : jangan pegang-pegang yaa?'
  • Saya mengenalkan seluruh bagian tubuhnya dengan benar, bagian genital-nya saya sebut vulva.
BACA JUGA : 4 HAL NGGAK ASIK AKIBAT KURANGNYA SEX EDUCATION

  • Saya tidak mengomentari soal fisiknya, baik itu positif ("Aduh cantiknya!") atau negatif ("Aduh gendutnya!"), supaya ia tidak menganggap bahwa fisik indah itu segalanya. Kalau satu saat ia memiliki kondisi tubuh tidak sesuai standar 'indah' dalam masyarakat, dia nggak risau. Kalau nanti ia melihat ada orang yang nggak sesuai standar cantik masyarakat, ia juga nggak ikutan membully.
BACA JUGA : 4 ALASAN KENAPA MENGOMENTARI TAMPILAN FISIK ANAK NGGAK PENTING.
  • Saya membiasakannya membaca buku (tepatnya : membacakan buku cerita, tiap malam). Karena membaca itu buat saya bikin cerdas dan kritis. Again, supaya dia tidak menganggap bahwa trait idaman untuk seorang cewek adalah fisik yang indah thok. Plus, ya supaya dia kritis dengan kondisi sosial.
  • Saya membiarkannya bermain dengan mainan apa pun yang dia mau, boneka-bonekaan oke, masak-masakan oke, mobil-mobilan oke, robot-robotan oke. Ya supaya ia bisa berkembang seluas-luasnya, punya berbagai macam skill, sehingga dia nggak mikirin fisik melulu.
BACA JUGA : ANAK PEREMPUAN NGGAK MESTI JADI PRINCESS KOK!
  • Saya membiarkannya melakukan aktivitas fisik, even kalau itu tidak sesuai dengan standar perilaku perempuan dalam masyarakat, even kalau itu bikin dia kotor. 
  • Saya memercayainya melakukan aktivitas, sesuai umurnya. Misalnya membawa gelas (kaca) dari meja ke sink dapur yang jaraknya 2 meteran. Walau pun itu menegangkan. :)))
  • Saya (berusaha keraas sekaliii yaoloooh) untuk nggak emosi kalau anak saya tantrum, karena tantrum itu muncul karena ia merasa tidak enak, saya harus menghargai itu. Even orang dewasa saja bisa bete kan?
  • Saya membiarkannya mengambil keputusan dan menerima konsekuensi dengan level ecek-ecek. kayak misalnya, sehabis mandi, ia memilih kabur dibandingkan pakai baju. Ya saya biarkan sambil bilang 'Ntar kedinginan lho!'. Seringnya, beberapa menit kemudian dia balik lagi, sambil menggigil dan cengar-cengir.
  • Ketika ia jatuh, alih-alih menyebutkan 'Aduh, lantainya nakal!' saya bilang 'Ati-ati, atuh. Pelan-pelan jalannya...'
  • Saya membiasakannya untuk ngomong dengan baik, tidak memerintah dan/atau merengek ketika menginginkan sesuatu. Ini arahnya ke non-violent communication sih.
  • Saya selalu menjelaskan  akibat perilaku/sikapnya. "Kalau mainan ini dirusak, si X ntar sedih lho!",  Kalau ibu nggak boleh pergi untuk ngajar, ntar ibu nggak digaji, Lilo nggak bisa beli makan/baju, lho!' :))
  • Saya mendengarkan saat ia bercerita. Iya, anak saya baru dua tahun, kosa katanya belum banyak, kadang saya suka nggak ngerti poinnya (atau kadang saya bosen, karena repetitif haha, maab, Lil!), tapi saya yakin, gesture mendengarkan membuat ia merasa bahwa ia didengar dan dihargai. 
  • Saya mengajarinya beberapa tipe emosi dasar, gembira, sedih, marah, takut, kaget, dan alasan mengapa orang bisa demikian dengan cara sangaaaat sederhana.
Semacam itulah. Ada beberapa hal sederhana lain sih, saya lupa juga. Dan semuanya menurut saya ya nggak masalah juga diajarkan untuk anak dua tahun? Tentunya hal-hal ini akan berkembang seiring dengan bertambahnya usia anak saya. Dan saya tahu, semakin besar akan semakin ribet. Gakpapa, itu artinya ya, saya kudu belajar lagi. Hosh! #MenyingsingkanLenganBaju

Gicuuu, buibuuk.