Laman

Kamis, Desember 07, 2017

#Modyarhood : 5 Alasan Saya Nggak Rajin Baca Parenting Books.


"No matter how much time you spend reading books or following your intuition, you're gonna screw it up. Fifty times. You can't do parenting right." - Alan Arkin

....Ketika membaca filosofi parenting yang begitu ideal, berusaha menerapkannya dan lebih sering gagalnya daripada berhasil, maka saya merasa gagal jadi orangtua.
Jadi, saya dan Puty lagi bikin project bareng yang mudah-mudahan berkelanjutan. Kenapa kata 'mudah-mudahan' dikasih underline? Yah, tahulah, mamak-mamak slash blogger boleh berencana, namun waktu(dan mood)-lah yang menentukan. Eh atau ini saya doang ya?

Intinya sih, project ini adalah ngeblog di blog masing-masing dengan topik tertentu gitu, dan namanya adalah : Modyarhood, dengan tagline : biar modyar yang penting tetap yahood. #Eaaaak

Catatan : nama dan tagline semuanya dari Puty lho. Bukan dari saya. :))))

Setelah itu, kami mengajak buibu lain yang juga punya blog untuk mem-posting hal yang sama di blog masing-masing.

Dan topik pertama Modyarhood : tentang parenting books bagi orangtua. Kan, ada ya orangtua yang rajin banget update pengetahuan soal parenting dengan baca-baca buku parenting. Dan ada juga yang enggak.... kayak *uhuk* saya.

Selasa, November 21, 2017

Ketika Tubuh Perempuan Jadi Urusan Orang Lain.


“A cultural fixation on female thinness is not an obsession about female beauty but an obsession about female obedience.” ― Naomi Wolf 


....Perempuan-perempuan berlomba-lomba untuk membuat tubuh mereka masuk ke dalam standar tersebut : berlomba-lomba memutihkan kulit, mencukur bulu ketek, bulu kaki dan bulu jembut sampai menguruskan tubuh.
Saat iseng menelusuri feeds Instagram, saya menemukan satu posting  yang isinya kurang lebih menanyakan hak apa yang rasanya dihilangkan dari kehidupan kita.  Tadinya saya nggak begitu tertarik sih, ada posting-posting lain yang lebih seru.

Kayak soal Rina Nose yang buka jilbab, misalnya.

Buset, deh, Rina Nose buka jilbab kayaknya menjadi topik panas jagad media sosial ya, di minggu lalu? Scroll dikit, ketemu berita Rina Nose. scroll dikit Rina Nose lagi. Rina Nose everywhere. Pada saat yang bersamaan, saya menemukan beberapa posting yang bikin saya keinget pertanyaan soal hak yang dihilangkan dari kehidupan kita; yang pertama adalah posting-an seorang selebgram beramvut cepak yang intinya menyatakan bahwa banyak orang menyuruhnya berambut panjang supaya cantik. Yang lain adalah posting seorang selebritas yang mengenakan bikini di kolam renang yang menuai komentar nyinyir soal aurat.

Saya tahu (salah satu) hak apa yang dihilangkan dari kehidupan saya (dan perempuan secara umum) : hak terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh sendiri. Ini kerasa banget; yang punya tubuh kita, yang ngurusin (lebih tepatnya: ngusilin) masyarakat se-Indonesia raya.

Ini dia ada beberapa hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan yang sering diributin oleh masyarakat.

1. Soal pakaian
Masyarakat masih mengatur cara perempuan memakai pakaian. Dalam benak orang-orang, muncul berbagai macam label yang akan diterapkan seorang perempuan, berdasarkan (seberapa pendek) pakaian mereka. Ish. Kayak beginilah kurang lebih

sumber
Makanya tuh ya, Rina Nose buka jilbab, ributnya pakai banget. Kayaknya sampai bertahun-tahun ke depan, keributan ini nggak bakal reda-reda; lihat saja Marshanda, buka jilbabnya kapan, ributnya sampai sekarang. *puk puk Rina Nose*. Makanya juga akan selalu ada komentar 'Aurat dijaga!' di posting berbikininya selebgram/selebritas.



BACA JUGA : NGGAK WARAS BERJAMAAH

Yang saya sebutkan adalah opini umum; ini ada opini tidak umum yang beredar di sebuah lingkup pergaulan. Orang-orang yang berada di dalamnya menganggap bahwa jilbab adalah simbol represi pada perempuan. Jadi ketika ada yang berjilbab, justru malah dikasihani. Apa lagi kalau sampai sangat tertutup, bakal dapat label tertentu juga.

Serba salah kan? Pakai pakaian terbuka, dikasih label, pakai pakaian serba tertutup, juga kena. :)))

Perempuan seharusnya boleh memakai pakaian apa pun yang mereka suka, apa pun yang bikin mereka merasa nyaman dan senang tanpa judgement. Kata kuncinya adalah memakai apa pun, jadi ketika mereka memutuskan untuk memakai pakaian minim, mau pun memakai pakaian serba tertutup, seharusnya mereka bebas label.




2. Modifikasi Tubuh
Saya ditindik sewaktu bayi, saya rasa banyak perempuan bernasib sama. Kalau dipikir-pikir ini adalah tindakan yang melanggar hak terhadap tubuh si bayi perempuan tersebut kan? Ada sebuah aksi modifikasi tubuh yang dilakukan oleh orang lain, tanpa persetujuan pemilik tubuh. Sekarang bayangkan jika hal tersebut dilakukan pada kita yang sudah dewasa, tahu-tahu, tanpa meminta persetujuan, kita digeret ke tukang tindik telinga, lalu telinga tersebut ditindik. Salah banget kan ini?

BACA JUGA : TUBUH ANAK SAYA MILIKNYA, BUKAN MILIK ORANG LAIN

Nah ketika saya dewasa, sudah bisa memilih dan mengambil keputusan sendiri, saya dipelototi ketika menambah tindikan beberapa bijik di telinga dan satu di hidung. :))

Baru tindik, belum soal tattoo. Seorang kawan perempuan pernah bilang kalau dia pengin memiliki tato. Ketika saya bilang 'Ya bikin,lah!', jawabannya adalah : nggak boleh sama suami. Padahal, tubuh kan tubuh kawan saya ya? Bukan tubuh suaminya.

Belum lagi soal sunat yang masih diberlakukan di berbagai budaya. Beuh.

Eh, wait, nggak usahlah modifikasi bagian tubuh yang ekstrim, ada lhooo orang-orang yang suka mengatur perubahan-perubahan minor pada tubuh perempuan, seperti potongan rambut, misalnya.

Rambutnya panjangin dong! 
Jangan dicat dong! 
Jangan di-highlight dong!
Ih dikeriting, kayak anjing pudel.

3. Kondisi tubuh
Masyarakat menjadikan standar sempurna bentuk dan kondisi tubuh perempuan yang ada di media massa menjadi aturan yang tidak membebaskan perempuan. Perempuan harus : langsing, putih, tinggi, mulus, nggak berbulu dan sebagainya. Ketika ada perempuan yang tidak masuk dalam standar demikian, maka harus menghadapi hukuman berupa body shaming.

Makanya nggak heran ketika standar tersebut diinternalisasi oleh para perempuan sendiri, ya mana ada sih yang mau disetrap sosial atau diolok-olok bentuk tubuhnya. Perempuan-perempuan berlomba-lomba untuk membuat tubuh mereka masuk ke dalam standar tersebut : berlomba-lomba memutihkan kulit, mencukur bulu ketek, bulu kaki dan bulu jembut sampai menguruskan tubuh.

Jadi ingat, seseorang yang saya kenal membuat status : Kalau mau pakai rok mini, pastikan paha tidak ada selulit, nggak sedap ngeliatnya. Yang menyedihkan adalah, banyak yang menyetujuinya, bahkan juga para perempuan.

Ih, padahal, kalau misalnya ada orang yang merasa tidak nyaman karena seorang cewek berbulu, gendut, item, berselulit, ya problem yang melihat kan? Bukan problem si cewek. Weks.

4.Hal-hal yang berkaitan dengan urusan seksual dan reproduksi
Buat saya, keputusan untuk berhubungan seksual seharusnya merupakan kebebasan seseorang. Itu adalah tubuh mereka, kan? 

Kasus pasangan yang diarak bugil gegara diduga sedang melakukan hubungannya seksual merupakan salah satu contoh bagaimana masyarakat ikut campur dalam.mengatur tubuh seseorang. 

Contoh lainnya, masih banyak laki-laki (suami) memaksa istrinya untuk berhubungan seksual tanpa memedulikan apa sang istri mau atau tidak. Sialnya, pemaksaan hubungannya seksual dalam pernikahan tidak dianggap pemerkosaan, karena ada anggapan tugas istri adalah melayani suami.

Masalah kontrasepsi pun seringnya dibebankan pada perempuan. Ada beberapa kasus di mana laki-laki tidak mau memakai kondom karena 'nggak enak' dan menyuruh perempuan memakai alat kontrasepsi apa pun, tanpa memikirkan efeknya pada tubuh sang perempuan. Ya memang sih, variasi alat kontrasepsi banyaknya ya untuk perempuan, tapi ya kan nggak gitu juga dong.

Terakhir, ini saya mah mau curhat. Jadi setelah anak saya berumur setahun, banyak banget yang menyuruh saya untuk hamil lagi. Ketika saya bilang 'Ntar deh...', dijawab 'Eh, jangan di-entar-entar, mumpung masih muda! Kasian anakmu nggak punya temen main di rumah.'

HOII! Yang kalian bicarakan itu adalah alat reproduksi saya lho? Kenapa kalian yang ngatur?



Gitu deh, anyway,  ada yang bisa nambahin? Atau ada yang mau share pengalaman? Silakan! :)

Kamis, November 02, 2017

8 Komentar 'Lucu' Tentang C-Section (Yang Bisa Diabaikan)

Every mom has a mission. To love, guide and protect her family.Don't mess with her when she's on it. - Vicky Reece.
....selama hamil berminggu-minggu, sebenarnya otot-otot dasar panggul kita sudah teregang.Jadi, ubi-ubi yang melahirkan pervaginam, mau pun SC, sama-sama kendor!
Jauh sebelum punya anak, saya pernah kongkow dengan beberapa teman. Mereka semua sudah punya anak, dan kebetulan semuanya melahirkan dengan cara C-section. Saya masih ingat betul, salah satu topik yang terbahas adalah bagaimana mereka kerap mendapatkan komentar yang bikin panas telinga gegara cara melahirkan mereka yang tidak pervaginam. Waktu itu saya hanya menjadi pendengar yang budiman; namun saya mendapatkan satu kesimpulan : hati-hati dengan mamak-mamak, karena mulutnya kayak lotek karet dua, pedeus.

BACA JUGA :  TENTANG MOMPETITION (DAN 5 CARA SAYA MENGHINDARINYA). FEAT KARYA TISYA HANAFIE

Mungkin gara-gara itu pula, ketika bertahun-tahun kemudian saya hamil, dan karena kondisi medis harus melahirkan C-section, maka sikap saya menjadi super defensif. Jawaban-jawaban yang saya berikan kalau berkaitan soal cara melahirkan sangat antisipatif semi ketus, yang tentoenja berpusat dari suudzon. Dalam pikiran saya selalu bercokol kecurigaan 'Ni orang nanya cara lahiran kenapa nih? Mau apa?'

Setiap menjawab pertanyaan, saya selalu menambahkan kata 'Emang kenapa gitu?' di ujungnya.

'Eh, kamu ngelahirinnya normal apa Cesar?'
'Cesar. Emang kenapa gitu?'

Kombinasi antara muka resting bitch dan jawaban berbuntut 'Emang kenapa gitu?' kayaknya bikin males orang yang nanya deh, soalnya pasti respons mereka 'Ah nggak apa-apa. Nanya doang, koook...' :)))

Makanya, saya nggak pernah mengalami dikomentari sampai panas kuping seperti kawan-kawan saya. Tapi kemudian, saya jadi berpikir, jangan-jangan selama ini saya terlalu GR dan defensif?
Jangan-jangan orang-orang sebenarnya nggak sejahat itu dengan yang lahirannya C-section? Teman-teman saya saya yang apes, lingkungannya reseh.

Akhirnya, secara iseng, di Instastory, saya menanyakan para ibu C-Section, apakah pernah mendapat komentar nggak enak gara-gara C-Section? Kalau pernah, kayak apa komentarnya?

Daaaaaaan......

Ada sekitar 100-an DM masuk selama 24 jam. Semuanya bilang pernah sakit hati menerima komentar tentang C-Section yang didapat dari orang-orang sekitar.

Nah, kayak apa komentar-komentarnya? Macam-macam sih, tapi sudah saya kelompok-kelompokkan. Dan kata saya sih, semuanya bisa diabaikan, karena kebanyakan sih mitos/asumsi akibat kurang informasi doang.

1. Ibu yang menjalani kelahiran dengan C-Section adalah ibu yang 'malas'/mau gampangnya/mau cepat.

Komentar ini bisa langsung diabaikan kok. Kebanyakan para ibu C-Section yang 'curhat' via DM menyatakan bahwa sebenarnya mereka sangat ingin melahirkan pervaginam, namun, apa daya kondisi medis mengharuskan mereka menjalani C-Section; untuk menyelamatkan nyawa baik ibu mau pun anaknya.

Selasa, Oktober 17, 2017

4 Alasan Kenapa Ngomentarin Tampilan Fisik Anak Itu Nggak Penting



There are thousands of good-looking women out there. Longevity for a heroine doesn't come only with good looks: talent matters. - Samantha Ruth Prabhu

....Lalu ngapain juga ngomentari soal fisik dan penampilan anak? Ga pentiiiing!
"Ih, si adek mah putih, nggak kayak kamu, item!" ujar perempuan itu. Ia adalah tetangga ibu saya; dan saya baru bertemu dengannya kali itu, saat saya dan putri saya berkunjung. Ia membandingkan warna kulit putrinya dengan putri saya.

Waktu itu saya cuma diam, karena nggak kenal-kenal amat.

Saya tau terangnya warna kulit putri saya itu sementara. Waktu itu usianya setahun kurang, belum panas-panasan. Sekarang, beberapa bulan kemudian, setelah ia sudah lancar jalan dan sering main di lapangan, kulitnya sudah sedikit menggelap. Saya yakin, sebentar lagi ia akan semakin menggelap dengan bonus bau matahari. Sudah ada tanda-tandanya. Bhahak.

Tapi sejujurnya, saya nggak sreg juga sih. Ngapain juga membandingkan kondisi anak dengan anak lain? Lalu ngapain juga ngomentari soal fisik dan penampilan anak? Ga pentiiiing!

Anyway, setelah punya anak, saya baru memperhatikan bahwa orang dewasa ini punya kencederungan ngomentarin penampilan ya kalau berinteraksi dengan anak? Misalnya, baru pertama kali bertemu dengan si anak, maka yang dipakai sebagai pembuka interaksi adalah soal fisik.

'Ihh, pipina chubby, gemets...'
'Bajunya bagus banget yaaa?'
'Ya ampun tangannya gendud kayak roti sobek....'

Iya, sih, namanya juga berbicara dengan anak-anak, nggak mungkin juga membahas isu politik yang lagi panas. Tapi ada kok hal lain yang bisa diangkat, seperti menanyakan umur, sekolah, lagu kesukaan, makanan kesukaan, binatang kesukaan, warna kesukaan dan lain-lain. Anaknya belum bisa ngomong? Ya ajak saja tos. Kelar. :D

Buat saya, mengomentari tampilan anak, baik itu komentar positif (seperti menyebutnya cantik, atau bajunya bagus atau badannya tinggi), juga komentar negatif (seperti menyebutnya 'Si Gendut', 'Si Item' atau 'Si Pendek') itu nggak penting. Hal ini saya terapkan pada anak saya.

Mungkin saya dan partner memang berjodoh, karena tanpa kesepakatan sebelumnya, bahkan tanpa pernah diobrolin, ia juga menganggap komentar atas kondisi/tampilan fisik anak kami itu nggak penting. Hal ini terungkap beberapa bulan yang lalu, saat ada saudara yang mengajarkannya untuk menyebut dirinya 'Cantik...', sambil mengelus pipi. Waktu itu dia mendelik sambil sewot 'Ngapain sih?'



Dari sana, di malam harinya, kami mengobrol. Dan ujung-ujungnya, kami memutuskan untuk secara resmi menerapkan kebijakan agar nggak usah merisaukan/melebih-lebihkan apa pun yang berkenaan dengan 'permukaan' anak kami.  Lalu sebisa mungkin memberi tahu orang di sekitar kami untuk melakukan hal yang sama.

Why?

Ini dia beberapa alasannya.

(1) Kami ingin anak kami nggak bertingkah ngeselin gara-gara terlalu bangga dengan fisik.
Katanya bagi seorang ibu, anak perempuannyalah yang paling cantik sedunia apa pun yang terjadi. Saat sang anak cemong bedak semuka, bagi ibunya tetap saja ia cantik. Betul? :))

Tapi buat saya, pujian 'Kamu cantik...', apa lagi jika terlalu sering, bisa membuat anak saya GR kemudian bersikap ngeselin.

Saya pernah berinteraksi dengan seorang bocah cewek cantik fisik, yang sadar bahwa ia cantik (karena semua orang kerap --- bahkan terlalu sering--- memujinya demikian).  Usianya sekitar sepuluh tahunan. Ia arogan dan hanya mau berteman dengan pemujanya. Jika ada yang memiliki pendapat berbeda, kalimat andalannya adalah 'Ah, orang cantik mah banyak yang iri, biasa itu sih...'

Kan nyebelin? Asli pengin jitak dengernya. Tingkah yang sama saya temukan pada beberapa anak yang mendapat pujian yang sama.

Saya dan partner nggak pengin pujian cantik membuat putri saya tidak rendah hati.

Bukan berarti saya nggak pernah memuji, sih. Pernah! Sering malah. Pujian yang pernah saya lontarkan seringnya sih 'Aduh, keren (atau jagoan) amat kamu!', terutama kalau saya melihat progress pada skill berbicara atau motoris.

Soal pujian ini, saya jadi ingat obrolan dengan seorang kawan. Menurutnya memuji cantik sekali dua kali tidak apa-apa; untuk menambah kepercayaan dirinya. Kawan saya berpendapat, pujian cantik yang diterima anak ngeselin yang saya ceritakan di atas overdosis sehingga perilakunya demikian.

Well, mungkin.  Tapi daripada pujian cantik, mungkin saya lebih memilih adjective lainnya : keren, cool, kocak, berani, dan baik misalnya.

Lalu, dari pada pujian 'cantik' (dan 'pintar' jika anak mendapat nilai baik di sekolah), yang mengarah ke pujian terhadap hasil akhir, saya sih lebih memilih pujian terhadap proses. Misal, ketika anak saya membereskan mainannya, walau pun masih acak-acakan, ya saya puji 'Keren euy, beresin mainan sendiri...' (sambil, tentunya, saya bereskan ulang mainan-mainan tersebut) :D

(2) Kami ingin anak kami nggak melakukan body shaming, mendiskriminasi (apa lagi sampai mem-bully) orang yang dianggap tidak sesuai dengan standar cantik oleh masyarakat.


Seumur saya hidup, dari SD sampai sekarang, saya selalu menemukan sosok-sosok yang diperlakukan tidak baik gara-gara urusan fisik dan penampilan. Entah itu karena bertubuh lebih bongsor dari teman-teman seusia, berkulit gelap, berambut keriting, bertubuh pendek dan lain sebagainya. Ada yang diledek-ledek bercanda, ada juga yang sampai di-bully. Saya ingat betul kawan SD saya, yang bongsor Dan kumal, sampai mengamuk. Saya pun ingat kawan SMU saya, cowok bertubuh besar dan berikut gelap sampai menangis sambil berkata 'Gue teh salah apa sama kalian? Kalian kenapa jahat gitu?' (Padahal sejauh yang saya ingat, dia adalah orang yang baik hati dan penyabar)


Sayangnya waktu itu saya menjadi silent bully, tidak secara aktif menyerang, namun melihat hal tersebut terjadi, saya diam saja karena takut.

Sebenernya saya pun nggak bebas-bebas amat dari dosa mengomentari tampilan orang lain. Sekali dua kali pernah saya  melontarkan komentar tampilan. Kini setelah punya anak, saya berhenti total. Well, sepertinya anak bikin saya insyaf untuk banyak hal, karena saya ingin jadi contoh untuknya. :D

Anyway, dengan tidak pernah merisaukan kondisi fisik dan penampilan anak kami (dan orang lain), kami ingin memberi contoh padanya, bahwa kami tidak menilai orang dari kondisi permukaan seseorang. Cara kami memperlakukan dirinya (dan orang lain) pun tidak berdasarkan tampilan.

Saya beneran berharap, anak saya, selain tidak memperlakukan orang dengan buruk, juga bisa lebih berani dari saya untuk bersuara jika melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya.

(3) Kami nggak ingin anak kami punya body image yang negatif.

Hal ini tentu saja berkaitan dengan ledekan fisik seperti 'Si nDut.', 'Si Item' dan lain-lain. Saya yakin, olokan apa pun (bahkan jika 'cuma bercanda'), jika diucapkan secara berulang-ulang maka lama kelamaan akan diinternalisasi oleh seseorang. Kemudian, ujung-ujungnya akan dianggap sebagai kenyataan dirinya. Akan sangat menyedihkan ketika seseorang menganggap tubuhnya buruk, gara-gara meyakini olok-olokan atau julukan yang diterimanya dari lingkungan. Lebih menyedihkan lagi ketika kemudian ia memiliki rasa percaya diri rendah, bahkan sampai rela melakukan cara apa pun untuk 'memperbaiki' dirinya. Menjadi penderita anorexia atau bulimia, misalnya, atau memiliki ketergantungan terhadap kosmetik, ingin melakukan operasi plastik dan lain sebagainya.

(4) Kami ingin anak kami bebas bereksplorasi, tanpa mengkhawatirkan akibatnya pada fisik/penampilan.
Saya nggak mau sampai anak saya takut bermain di bawah sinar matahari karena takut hitam, saya nggak mau dia takut makan karena takut gendut, saya nggak mau dia hanya berdiam diri bermanis-manis di rumah karena takut jatuh dan lukanya meninggalkan parut di kulit. Kami nggak mau gara-gara  terlalu mikirin penampilan, dia sampai tidak mau mengeksplor dunia. (TSAH!~)

Selain tidak merisaukan soal fisik, kami pun tidak meributkan soal penampilan aka pakaian. Kami membiarkannya bermain sampai baju kotor bahkan sobek. Makanya saya termasuk juwarang memakaikannya baju-baju cewek yang keren (dan mahal), soalnya bisa-bisa saya senewen, khawatir baju mahal tersebut hancur atau kotor blas gegara dia berguling-guling di rumput. Ya, the name is mother-mother yes? Namanya juga ibu-ibu, soal pengeluaran dipikirin banget :)))

Anyway, kami tahu pada akhirnya ia akan bertumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tentunya --- suka tidak suka --- ia akan terpapar budaya terlalu mementingkan tampilan. Ia akan hidup di tengah masyarakat yang bakal melihat permukaan. Nggak apa-apa, setidaknya (semoga) cara kami membesarkannya dengan tidak mentingin fisik, bisa menjadi dasar baginya untuk berpikir, mengambil keputusan, bertindak dan bertanggungjawab atas perilakunya dalam masyarakat.



Selasa, September 19, 2017

4 Hal Gak Asik Akibat Kurangnya Sex Education

sumber
When people say "sex is normal", they don't mean you should do it with everyone. They mean stop making it taboo and educate people about it. - Shafiqah Othman 

....memiliki pengetahuan seks dan seksualitas yang mumpuni, memiliki otoritas tubuh, mengharga diri sendiri, independent, serta bertanggung jawab secara seksual.
Saya sering memanfaatkan waktu mandi anak saya untuk belajar mengenal nama-nama anggota tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Ada beberapa yang sudah bisa ia sebutkan dengan jelas, tapi masih ada juga yang cara menyebutkannya salah. Ya, anak umur 16 bulan gitu, lho. Nggak apa-apa. Setidaknya dia sudah mengenal yang mana, bernama apa, tanpa tertukar-tukar.

Yang bisa ia sebutkan dengan jelas terutama yang namanya berulang, atau dua suku kata. Ia bisa menyebutkan 'Kuku!', 'Pipi', 'Kaki' dan 'Pupa'

Jangan bingung dengan 'Pupa', itu maksudnya 'Vulva'. Yes, organ genitalia-nya.

Saya memang berencana untuk memberitahukan nama-nama anggota tubuh anak saya dengan nama yang seharusnya. Dari kepala, sampai ke kaki, termasuk bagian-bagian tubuh yang terletak di antaranya; seperti organ genitalianya misalnya.

Saya nggak akan membahasakan alat kelamin anak saya dengan nama-nama (rekaan) lain. Kawan perempuan saya diajari bahwa nama kelaminnya adalah 'komom'. Ada yang menyebut 'pipis'. Bahkan saya pernah baca di sebuah artikel, seorang ibu yang tinggal di Amerika Serikat sana memberitahu anak perempuannya, bahwa nama alat kelaminnya adalah.... cookies. Demikian halnya dengan penyebutan nama alat kelamin laki-laki, kakak ipar saya memberitahu bahwa nama alat kelamin anak(cowok)nya adalah 'tuti' (dan saya ngebayangin, apa yang ada di benak anak-anak ini, ketika berkenalan dengan seorang perempuan bernama Tuti :D). Nama-nama lain yang sering dipakai untuk alat kelamin laki-laki antara lain burung, tutut, titit dan lain-lain.




Menyebutkan alat genitalia dengan nama yang tepat adalah bentuk dari early sex education untuknya. ini saya dan partner putuskan karena kami berdua tumbuh sebagai anak-anak yang nggak mendapatkan sex education dengan baik.

Kalau saya pribadi sih, boro-boro sex education, nama organ genitalia yang benar saja saya nggak tahu! Dulu saya diberitahu bahwa namanya adalah 'pepep', itu pun selewat, tidak secara khusus diberitahu, seperti ketika saya sedang belajar nama-nama anggota tubuh lainnya. Masalah perkelaminan ini ditutup rapat-rapat semasa saya kecil. Jangankan dibahas menyeluruh, disebutkan saja juga jarang-jarang. Sejauh yang saya ingat, dulu saya pernah dibelikan buku ensiklopedia pengetahuan alam, ada 10 seri, tapi yang ada di rak buku saya hanya 9. Buku yang kesepuluh --- tentang anatomi manusia, yang di dalamnya juga membahas organ reproduksi --- disembunyikan di lemari orangtua saya.

Oh BTW, untuk menyamakan persepsi tentang sex education, saya kutip (dan terjemahkan) dari Wikipedia ya :


Sex education adalah panduan untuk menghadapi isu tentang seksualitas manusia, termasuk di dalamnya hubungan emosional dan responsibilities, anatomi seksual manusia, aktivitas seksual, reproduksi, age of consent, kesehatan reproduksi, hak reproduksi, safe sex, birth control dan abstinence.
Saya mendapatkan sex education yang baik dalam usia yang cukup telat. Jauh melewati masa remaja, yaitu saat melanjutkan kuliah dan menerima mata kuliah yang berkaitan dengan gender dan seksualitas. Plus, saya pun beruntung,sempat kenal dengan satu badan yang bergerak mengurusi masalah gender. Untunglah masih sempat dapat. Dan sampai sekarang pun saya masih terus belajar.

Anyway, apa akibatnya kalau kita tidak mendapatkan sex education yang tepat? Kalau yang saya rasakan sih, saya mengalami banyak hal nggak asik, yang bakal saya jabarkan di bawah ini.

1. Merasa asing dan malu dengan organ genitalia sendiri.
Saking juwarang-nya dibahas saya merasa bahwa organ seksual saya itu adalah hal yang asing, bukan bagian dari tubuh saya. Jadi saya sering mengabaikannya. Bahkan, saya pun menganggap bahwa organ genitalia saya itu bagian buruk, sehingga bikin saya malu.Kalau ada kenapa-kenapa, misalnya keputihan, maka saya memilih untuk mendiamkannya saja, atau kalau sudah dirasa sangat mengkhawatirkan, maka saya akan mencoba mencari tahu sendiri via majalah/tanya-tanya bisik-bisik dengan teman-teman (yang sama bloonnya dengan saya), bukan dokter.

Seandainya saya mendapatkan sex education, saya akan tahu bagaimana harus bersikap dengan hal-hal yang berhubungan dengan organ genitalia.

Bayangkan jika perasaan asing dan malu ini terjadi pada mereka yang mengalami kekerasan seksual. Saya yakin mereka pun akan malu untuk menceritakannya pada orang yang berkompeten kan? Maka masalah kekerasan seksual akan menjadi kasus yang bagaikan gunung es. Maka pelaku kejahatan seksual pun bisa melenggang bebas :-(

2. Menganggap Seks Adalah Buruk.
Karena organ genitalia serta seksualitas dianggap tabu, dosa, porno dan yang negatif-negatif lainnya, maka saya jadi merasa bahwa perkara seksualitas adalah hal yang buruk. Saya akan merasa malu pada diri sendiri ketika memiliki rasa ketertarikan seksual dengan orang, saya akan merasa sebagai cewek nggak bener ketika memiliki dorongan seksual. Padahal organ genitalia, seks dan perkara seksualitas adalah hal yang alamiah. Bahkan kalau merujuk piramida Maslow, masalah seksual itu masuk ke dalam kebutuhan level fisiologis, disandingkan dengan tidur, bernafas dan makan. Jadi, sama dengan lapar, dorongan seksual itu pasti akan muncul.

Seandainya saya mendapat sex education, saya akan menganggap bahwa dorongan seksual itu wajar, dan tidak melebih-lebihkannya. Pun tidak menghabiskan masa remaja dengan perasaan bersalah karena memiliki dorongan seksual.

3. Merepresi, dan gagal.
Saya sempat mengobrol dengan beberapa kawan yang merepresi dorongan seksual, di badan yang mengurusi soal gender tersebut; kami semua mencapai satu kesepakatan, bahwa ketika satu dorongan ditahan, maka akan 'meledak', tahulah, what you resist persists. Saya pribadi, end up dengan menonton film porno. Yang sialnya membuat saya ingin dan ingin menonton lagi. Ada kawan saya mengaku, jadinya ia kecanduan prostitusi, ada yang jadinya berhubungan seksual dengan setiap pacarnya, ada yang kecanduan masturbasi.

Seandainya saya mendapat sex education yang tepat, tentunya saya akan memahami tentang dorongan seksual, cara me-manage-nya dengan sehat secara fisiologis dan psikologis.

4. Menganggap seks adalah hanya sexual intercourse.
Setiap mendengar kata 'seks', yang terlintas dalam ya pemenuhan dorongan seksual alias hubungan seksual thok.  (Untungnya) Saya tinggal besar dalam lingkungan konservatif dengan kontrol sosial yang tinggi, sehingga membentuk pola pikir yang konservatif juga, sehingga pemikiran ini nggak membuat saya jadi mudah untuk berhubungan seksual (dengan alasan takut dosa).

Nah, apa kabar untuk orang-orang yang lingkungan sosial memiliki kontrol yang lebih longgar? Hubungan seksual akan sangat mudah dilakukan, tanpa memikirkan akibat-akibat setelahnya. Dan saya rasa, semakin ke sini, apa lagi dengan adanya internet yang membuat arus informasi mengalir deras bak tsunami, saya rasa orang-orang sudah tidak bisa 'ditakut-takuti' dengan dosa lagi.

Pola pikir bahwa seks hanyalah sexual intercourse akan mengakibatkan banyak hal buruk : hubungan seksual menjadi hal yang mudah, bahkan mungkin anak SMP akan melakukannya dengan pengetahuan tentang seks dan seksualitas yang minimal. Deuh, apa kabar dengan hamil di usia terlalu muda, penyebaran penyakit menular seksual, kekerasan dalam pacaran dan lainnya deh. Lalu, orang akan memperlakukan orang lain bukan sebagai manusia, namun sebagai objek (maka muncullah yang namanya kejahatan seksual).

Dengan sex education, seseorang akan memahami bahwa perkara seks itu berkaitan erat dengan tanggung jawab, emosi, consent dan lain-lain. Kompleks. Semua akan berpikir sangat panjang sebelum melakukannya.


Begitulah.

Empat hal di ataslah yang memotivasi saya untuk selalu berusaha memberi sex education yang benar bagi anak saya (yang artinya saya pun harus terus belajar masalah ini), sehingga ia bertumbuh menjadi perempuan yang memiliki pengetahuan seks dan seksualitas yang mumpuni, memiliki otoritas tubuh, mengharga diri sendiri, independent, serta bertanggung jawab secara seksual. Sehingga nantinya saya tidak perlu membuat rules to date my daughter ala orangtua posesif, karena anak sayalah, yang akan membuat rules-nya sendiri.

sumber
Oh iya, saya menemukan infografik age appropriate sex talks di Pinterest, yang mungkin akan saya jadikan panduan untuk saya.

sumber

Selasa, September 05, 2017

Tentang Mompetition (Dan 5 Cara Saya Menghindarinya) - Featuring Karya Tisya Hanafie

Motherhood is not a competition to see who has the smartest kids, the cleanest house, the healthiest dinner, the nicest clothes. Motherhood is your journey with your children - Hot Moms Club

....kalau ibu tersebut melakukan pola asuh A, apakah akan merugikan saya dan masyarakat? Kalau enggak, ya sudah, nggak usah ribut.
Walau pun saya baru menjadi ibu setahun belakangan, tapi saya aware banget dengan kondisi tidak harmonis antaribu. Bukannya saya visioner ya? Tapi kebetulan saja, beberapa tahun yang lalu saya menjadi pembimbing tugas akhirnya Tisya Hanafie, mahasiswa saya. Topik yang diambilnya adalah fenomena mompetition, alias kompetisi antaribu, soal apa lagi sih, kalau bukan soal pola pengasuhan? Fenomena ini tak jarang berujung pada mommywar, atau perang antaribu.

Dari proses pembimbingan, saya jadi sedikit tahu gini-gitu-nya mompetition. Kompetisi ini benar-benar nggak sehat, baik buat ibu, anak bahkan keluarganya. Waktu itu saya berpikir kalau saya jadi ibu, saya nggak mau terjebak dalam bentuk kompetisi apa pun. Saya bilang kalau ya, karena saat itu saya, boro-boro mikir punya anak, menikah pun belum masuk rencana hidup.

BACA JUGA : TENTANG MENIKAH DAN MENJADI VOLTES 5

Sejujurnya, dulu sih saya berpikir, ngapain sih ibu-ibu ini pada berkompetisi? Tapi setelah punya anak, saya baru menyadari bahwa kejeblos dalam arena kompetisi ini sungguhlah mudah.

Kenapa ada mompetition?
Sambil menuliskan ini, saya berusaha mengingat-ingat hasil diskusi saya dengan Tisya, ya? Jadi penyebab mompetition ini adalah insecurity. Why insecure? Bayi itu nggak datang dengan manual book, dan kejadiannya, pola pengasuhan yang dianggap berhasil untuk satu bayi, belum tentu berhasil diaplikasikan pada bayi lain. So, sebenarnya ibu-ibu itu clueless, pengin tahu apakah pola pengasuhannya sudah baik atau belum. Bahkan artikel parenting yang katanya ditulis oleh ahli pun gak bisa mengakomodasi segala kondisi yang mungkin ada. Makanya emak-emak kerap intip-intip pola asuh dan perkembangan anak lain, untuk cari tahu, mereka sudah di jalan yang benar atau belum. Dari intip-intip, kemudian mulai membandingkan satu sama lain.

BACA JUGA : APA YANG TIDAK PERNAH ORANG CERITAKAN TENTANG PUNYA ANAK



Yang kedua, adalah rasa excited dan kebanggaan terhadap anak sendiri. Namanya anak sendiri ya, apa-apa tentunya menarik dan membanggakan. Hal ini bikin seorang ibu selalu bersemangat sharing soal anaknya pada seluruh dunia. Ketika kisahnya dibaca oleh ibu lain, muncullah perbandingan-perbandingan itu.

Saya pikir saya nggak akan insecure, ternyata insecure juga. Apa lagi sebelumnya saya nggak punya pengalaman punya anak, blank lah. Lalu soal excitement, beneran perasaan ini nggak bisa ditolak, bagi seorang ibu (dan orangtua secara umum), apa pun yang dilakukan oleh anaknya itu menarik. Bahkan anaknya napas atau ngedip aja dianggap lucu. Seriusan deh.

Saya pun sudah berusaha sedemikian rupa untuk jauh-jauh dari arena mompetition, tapi kadang saya suka culun untuk menyadari bahwa satu pertanyaan sederhana saja bisa menyeret saya masuk ke dalamnya. Misalnya, satu hari ada seorang ibu bertanya tentang berat anak saya, ya saya jawab. Kemudian dia bilang 'Iiih, dulu anak gue waktu seumur gitu beratnya sekian kilo lhooo!'

Alih-alih cuek, tapi saya malah tergores merasa anak saya di'hina', dalam hati saya berseru '...bitch. Biasa aja deh.'

Tapi enggak kok, saya nggak pernah sampai adu mulut. Maleys.

Apa akibatnya jika seorang ibu kompetitif?
Salah satu posting  saya di Instagram ,tentang mompetition, pernah di-regram oleh satu akun ber-followers banyak. Dari sana, mendadak banyak yang me-regram ditambahi dengan curhat tentang kebiasaan membanding-bandingkan ini. Berhubung sekarang adalah eranya media sosial,  mereka seringnya membandingkan diri sendiri dengan mamagram alias mama-mama penggiat Instagram yang posting parenting-nya kinclong. Ada yang bilang, mereka jadi semakin insecure dengan pola asuh sendiri, ada yang bilang lagi ada yang kemudian berusaha membeli semua barang yang dipakai oleh mama-mama idola/influencer tersebut, yang kebetulan menampilkan perkembangan prima sang anak.

Ini nggak sehat.

Bisa jadi seorang ibu kemudian akan frustasi karena perkembangan anak tidak seperti para mama-mama influencer, kemudian ujung-ujungnya bakal melampiaskan rasa frustasinya dengan memaksakan satu pola asuh pada anak sendiri. Kasihan anaknya bok!

Bisa juga seorang ibu kemudian jadi... boros. Beli ini, beli itu, les ini, les itu, agar sang anak bisa secemerlang anak para influencer.

Bagaimana (saya) menghindarinya.
Awalnya saya memakai sikap pro choice, satu istilah yang saya adopsi semena-mena dari pro choice movement, kemudian saya terjemahkan sebagai : bersikap mendukung seluruh pilihan ibu terhadap anaknya. Mungkin saya salah adopsi istilah, karena kemarin sempat ada beberapa orang yang protes. Lagi pula, pada akhirnya saya nggak benar-benar mendukung pilihan ibu lain juga kok, tapi sikap yang saya ambil cenderung ke tidak peduli.

Anyway, pada intinya, saya tidak mau usil terhadap pilihan pola asuh seorang ibu, plus saya tidak mau diusili orang lain. Tindak nyatanya adalah

(1) Ketika melihat pola asuh seorang ibu yang berbeda dengan pola asuh yang saya lakukan, saya akan berusaha keras mingkem, nggak komentar apalagi kritik. Biarlah judgement-judgement itu tinggal di otak saja
(2) Tidak memberikan saran parenting, kalau nggak ditanya.
(3) Tidak terlalu banyak dan detail sharing soal anak, karena semakin banyak sharing yang bawel bakal semakin banyak. Betul? :))
(4) Ketika bersama ibu-ibu lain, berusaha untuk nggak melulu ngomongin anak.
(5) Nggak kepo soal anak lain, untuk tahu bahwa saya sudah di 'jalan yang benar' saya hanya berpanduan pada dokter anak, dan mungkin psikolog ketika ia sudah lebih besar.

BACA JUGA : 3 ALASAN SAYA TIDAK MENGUNGGAH FOTO ANAK DI MEDIA SOSIAL

Saya akan memilih mengajukan satu pertanyaan sebelum saya masuk ke adu argumen tertentu dengan ibu lain : kalau ibu tersebut melakukan pola asuh A, apakah akan merugikan saya dan masyarakat?

Kalau enggak, ya sudah, nggak usah ribut.

Misal, ketika seseorang memilih untuk menggunakan epidural saat melahirkan, apakah merugikan saya? Masyarakat lain? Kalau jawabannya enggak, saya memilih diem. Ketika seorang ibu memilih menggunakan sufor, apakan merugikan saya? Kalau enggak, saya mingkem dan seterusnya. Satu-satunya (sejauh saya ingat) yang pernah saya kritik adalah  soal pilihan orangtua untuk tidak memvaksin anaknya. Ini nggak lain, karena saat saya mengajukan pertanyaan : apakah akan merugikan saya dan orang lain, jawabannya adalah iya. BTW, silakan baca posting Grace Melia yang terkena rubella saat hamil : Pesan dari ibu yang terkena rubella saat hamil.

BACA JUGA : SETAHUN MENYUSUI : DARI FREEZER YANG TIDAK PERNAH PENUH SAMPAI TIDAK RELA MENYAPIH

Gicu. Mompetition mah hindari aja deh, biar tetap waras, buibuk! :D

Anyway, ini dia poster untuk Kampanye Mompetition karya Tisya Hanafie.






Senin, Juli 31, 2017

Tentang Ajakan Menjadi Stay-At-Home-Mom Yang Mirip Ajakan Join MLM

People image created by Whatwolf - Freepik.com
Being a good mother does not call for the same qualities as being a good housewife; a dedication to keeping children clean and tidy may override an interest in their separate development as individuals. - Ann Oakley
....Lu kate istri lu robot, bisa jadi PRT, supir ojek, dokter, guru endeswey endesbrey? 
Beberapa hari yang lalu,  saya membaca status Facebook seorang laki-laki, seorang suami yang memotivasi ibu-ibu untuk menjadi Stay-At-Home-Mom (untuk selanjutnya, sampai tulisan selesai akan disingkat SAHM saja, yes?). Inti dari tulisannya adalah bagaimana ternyata ia malah bisa melakukan penghematan setelah istri resign, mulai dari memotong anggaran untuk pembantu rumah tangga (karena istri bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga), memotong anggaran les (karena istri bisa mengajari anak-anak), memotong anggaran kesehatan (karena istri bisa menjaga kesehatan anak) sampai menghemat ongkos transport (karena istri nggak perlu ke mana-mana). Ditutup dengan kalimat sakti : Rezeki dari Tuhan akan selalu ada.

Posting ini mengesankan betapa hematnya positifnya kalau seorang ibu menjadi SAHM.

Gemes lho saya bacanya. Mas, mas, iya, positif buat mas, tapi apa kabar buat istri?

Baca juga : ORANGTUA IDEAL ITU CUMA HOAX

Saya jadi ingat, saya punya teman, teman sepermainan. Di tahun ini, kayaknya dia sudah empat tahunan jadi SAHM. Keputusan untuk resign diambilnya saat dia baru melahirkan anak pertama.

Sebentar, iya, ide tulisan ini memang curhatan teman saya; tapi saya sudah meminta izin, kok. Ia memperbolehkan saya menjadikan curhatannya sebagai bahan tulisan, asal namanya tidak disebut. Oke, nggak disebut, tapi dikasih link ke Facebooknya apa ya? *ditendang*

Dia sempat cerita alasan-alasannya ingin berhenti bekerja waktu saya membesuknya setelah melahirkan. Katanya ia ingin fokus ngedidik anak dan ngurus keluarga. Sejauh yang saya ingat, saya cuma manggut-manggut saja. Saya anggap dia sudah memikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan menjadi SAHM.



Setelah itu kami nggak pernah bertemu lagi karena tenggelam dalam kesibukan masing-masing tanpa sempat kontak. Sampai kemudian, dua tahun setelah pertemuan terakhir, saya melahirkan, dan sempat terpikir untuk resign juga, jadi SAHM.

Waktu saya bilang saya terpikir untuk resign, spontan dia bilang 'JANGAN! Gila lo! Pikirin dulu mateng-mateng!'

Lah?

Akhirnya dia pun curhat panjang lebar. Dia bilang, dulu keputusan itu dia ambil secara emosional. Kebetulan suaminya memiliki penghasilan yang sangat memadai, sehingga ia ngerasa nggak punya alasan apa-apa lagi buat bertahan bekerja. Belum lagi ia tinggal di lingkungan keluarga yang punya pandangan bahwa ibu Yang mulia, calon masuk surga adalah ibu yang di rumah. Orangtua, mertua, ipar-iparnya setiap hari ngomporin si kawan ini untuk resign. Semua itu, plus kondisi labil pasca melahirkan, bikin dia nggak sempat berpikir panjang.

'...begitu gue resign, ternyata, jadi SAHM itu nggak seindah ituuuu!' Kata dia di WhatsApp, ditutup dengan emotikon nangis berbaris-baris.

Awalnya dia bilang, dia sengaja tidak pakai pembantu, karena dipikirnya bisalah ia sendiri mengerjakan seluruh pekerjaan domestik. Eh, ternyata keteteran. Dia kecapekan, ya ngurusin anak, ya ngurusin urusan rumah tangga. Bangun paling pagi, tidur paling malam. Setiap hari, nggak ada libur.

Lalu, ia mempekerjakan pembantu. Memang tidak capek badan, tapi kemudian muncul ganjalan-ganjalan batin. Ia merasa terisolir karena susah ketemu orang-orang. Lalu buat dia yang sudah terbiasa bekerja, berhenti bekerja membuat dia ngerasa tertinggal dan nggak berkembang. Dia ngerasa bukan siapa-siapa, karena selalu dipanggil 'Ibu(Nama suami)' atau 'Bundanya(Nama anak). Setiap mau beli apa-apa ia harus 'meminta' suaminya pun bikin ia stress, karena ia sudah terbiasa mandiri.

Ada hari-hari dia ngerasa tertekan, nangis di pojokan bareng si bayi. Tiap hari kerjanya marah-marah kayak cewek lagi PMS. PMS permanen kalo kata dia.

'Ekspektasi gue kan jadi ibu ideal ngedidik anak, gape ngurus rumah, suami makin cinta kayak di iklan-iklan produk rumah tangga gitu dehh. Realitasnya? Jadi ibu ideal apaan kalo tiap ari gue uring-uringan.' katanya

Ketika dia cerita pada orangtua, alih-alih dimengerti, dia malah di-judge kurang ikhlas dan egois. Karena menurut lingkungannya, esensi menjadi seorang ibu adalah pengorbanan.

'...pokoknya gue asli depresi lah! Sampai terapi kan gue?'

Setelah mendengar cerita kawan saya, akhirnya saya menunda keinginan saya menjadi SAHM. Keputusan tersebut bukanlah keputusan yang bisa diambil serta-merta, harus dipikirkan matang-matang.

'Percaya gue deh, biar nggak nyesel!' Katanya menututp perbincangan kami lewat aplikasi WhatsApp.

Baca juga : APA YANG TIDAK ORANG CERITAKAN TENTANG PUNYA ANAK

Kembali lagi ke himbauan untuk menjadi SAHM yang kayaknya banyak beredar di media sosial. Bukan sekali dua kali saja saya membaca posting sejenis, kebanyakan isinya hanya bercerita yang 'positif-positif' saja. Jadi SAHM itu anak akan jadi anak yang baik (seolah-olah anak dari ibu bekerja pasti bakal kacau), istri paling ideal adalah SAHM, bahkan ada yang menjanjikan bahwa jadi SAHM itu akan masuk surga. Tapi alasan yang paling amit-amit adalah, kalau istri jadi SAHM, maka hemat pengeluaran, karena nggak harus bayar PRT, baby sitter, transport, dokter, guru dan seterusnya. Doh.

 Ini mengingatkan saya dengan ajakan untuk gabung MLM deh.
'Anda ingin passive income? Anda bakal punya quality time bersama keluarga, ga usah ngantor lagi! Gabung dong dengan MLM Kami! Gaji Anda bakal lebih besar dari gaji boss Anda!'
Saya pernah mengalami, ngejalanin bisnis MLM, yang ternyata ribet. Janji quality time bersama keluarga itu nggak ada, karena sebagian besar waktu ternyata dihabiskan untuk... yes, mencari downline, presentasi, ikut seminar, pertemuan mingguan, blablabla.

'Ah, di mana-mana bisnis itu kudu susah dari awal, nanti enaknya belakangan...' itu kata upline saya. Ngeles. Ahelah, Pak. Kenapa nggak bilang dari awaaaal sebelum gabuuung?

Antara ajakan hijrah menjadi SAHM dengan ajakan gabung MLM ini sama-sama nggak berimbang, yang ditekankan hanya yang enak-enak dan bagus-bagusnya aja. Padahal kan nggak begitu kenyataannya?

Ya lihat saja, kawan saya sampai depresi.

Untunglah, sebelum memutuskan resign, saya sempat mengobrol dengannya. Sekarang saya baru menyadari bahwa pemikiran saya waktu itu berdasarkan emosi doang. Gara-garanya? Anak saya nggak mau minum ASIP via media apa pun, dot nggak mau, cup feeder nggak mau, pipet nggak mau... Maunya langsung nenen dari galonnya. Saya yang pengin ngejalanin ASIX galau dong! Kalau saya gawe masa dia nggak nyusu? Pokoknya sepanjang cuti, yang kepikir 'mau resign, mau resign, mau resign'

Begitu agak 'waras' dan nggak terlalu emosional, saya berpikir ulang, mengadakan analisis SWOT (TSAH!) dan diskusi dengan partner. Akhirnya saya batal resign. Saya ingat banget waktu itu partner bilang, soal menyusui pasti ada jalannya.

Dan benar, ada jalannya! Yaitu, bolak-balik kantor rumah! Cara ini dimungkinkan karena jam kantor saya fleksibel, nggak 9 to 5, nggak Senin sampai Jumat.  Ditambah lagi jarak dari rumah ke kantor yang dekat dan tidak melewati daerah macet!

Sekarang-sekarang saya sih berpikir, ngapain juga dulu panik duluan soal menyusui? Seharusnya dari awal saya sudah bisa melihat bahwa kondisi dan status pekerjaan saya itu sangat memungkinkan untuk ASIX, kan saya bukan baru sebulan dua bulan kerja di tempat ini? Sudah belasan tahun lho!

Kemudahan ini nggak bisa saya 'lihat' , sampai-sampai  saya pengin  resign. Why? Karena saya  emosional!

 Eh, ini bukan posting untuk melarang ibu-ibu memutuskan jadi SAHM, lho! Saya pribadi pro-choice, kok. Apa pun pilihan yang diambil seseorang (lebih spesifik lagi : seorang perempuan, seorang ibu) dalam kehidupannya adalah haknya. Cuma, ada baiknya jika semua keputusan itu diambil pribadi, secara sadar, bukan karena emosi belaka. Bukan pula karena 'terbuai' cerita sukses jadi SAHM di media sosial. Yang namanya media sosial ya? Yang diunggah tentu yang baik-baik saja. Dan bukan juga karena tergiur dengan betapa hematnya ternyata kalau istri menjadi SAHM, karena memotong dana pembantu, transport, kesehatan, les dan anu-anu. Bok, iya, hemat di urusan itu, tapi kesehatan istri lho, apa kabar? Lu kate istri lu robot, bisa jadi PRT, supir ojek, dokter, guru endeswey endesbrey? :D

Oh, BTW, apa kabar teman saya yang depresi menjadi SAHM? Saya senang mendengar cerita kalau 'badai' dalam kehidupannya sudah berlalu. Mulai beberapa bulan lalu ia bekerja mengajar juga, seminggu beberapa kali, beberapa jam. Anaknya usia empat tahun, cerdas, sehat dan baik.

See?  Kita nggak bisa main pukul rata, harus melihat masalah kasus per kasus. Yang berhasil baik di satu keluarga, belum tentu berhasil di keluarga lainnya kan? Satu ibu bisa bahagia menjadi SAHM, satu ibu mungkin malah depresi. Lalu, gagal di satu keluarga, belum tentu gagal di keluarga lain juga. Ketika anak satu working mom berkembang menjadi anak brengsek, ya belum tentu anak-anak working mom lain bakal seperti itu.

...

Rabu, Juli 12, 2017

7 Omong Kosong Tentang Menikah Dini


More belongs to marriage than four legs in a bed. 
Rainer Maria Rilke

"Kamu udah pacaran belum, Nis?"

Tiba-tiba terdengar pertanyaan saat saya sedang menunggu antrian obat di apotik. Perlahan saya pun mengangkat pandangan dari ponsel dan menoleh; tampak dua orang ibu dan seorang remaja berseragam putih biru di samping saya.

Remaja tersebut menggelengkan kepala sembaru tersipu-sipu malu.

"Ah, ntar mah kalau Nisa udah mulai pacar-pacaran, saya kawinin aja lah, biar nggak zina..." sambar ibu yang satunya; ya saya duga adalah ibunya.

Kedua ibu tersebut tertawa terkekeh, sementara sang remaja semakin tersipu.

Dan reaksi saya


via GIPHY

Pertanyaannya, anak sekarang mulai pacaran umur berapa sih? Saya pernah lihat foto yang konon anak SD dengan pasangannya, dari  caption-nya saya tahu bahwa mereka sedang merayakan 4 bulan anniversary-nya (well, empat bulan kok anniversary, jangan tanya saya).

Rabu, Mei 31, 2017

Antara Film Disney Princess Klasik dan 'Pesan Moral' di Dalamnya


Parenting girls makes you quite gender-conscious - it's almost impossible to fight the power of pink. It's not such a terrible thing to want to be a princess when you're five, but it would be nice if there were some other options.
Robert Webb  

Catatan : Sebenarnya ini obrolan bertahun-tahun yang lalu, yang tadinya mau saya tulis, namun entah mengapa tidak saya selesaikan, Pagi ini saya menemukannya lagi di draft blog, kok kayak pas dengan kondisi saya yang sudah mamak-mamak dan khawatir dengan muatan pesan di berbagai media anak-anak, jadilah ini saya edit dan publish.

....jadi saja, saya insaf, nggak pengin bercita-cita menemukan prince charming lagi dan baru menikah di umur 38. HAHA
Jadi, waktu kecil, saya menggilai film-film kartun Disney, terutama kisah klasik princess, seperti Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty dan kawan-kawan. Gegara film-film tersebut, kemudian saya jadi pengin punya baju princess. Saya masih ingat betul di ulang tahun saya yang ke-5, ibu saya membelikan saya dress cantik dan menyebutnya 'Ini, baju Cinderella-nya'. Eh ciyeh, baju Cinderella bok! Dan saya merasa sangat kece memakai baju tersebut.

Oh, film-film tersebut juga telah berhasil membuat saya berpikir bahwa tujuan  kehidupan (seorang perempuan) adalah... yes, menikah. Bagi saya pra remaja, menikah adalah akhir bahagia kehidupan umat manusia. Ya, gimana, kan itu yang saya lihat di film-film princess-nya Disney yang bilang... and they lived happily ever after.

Untung saja, seiring dengan berjalannya waktu, saya menemukan banyak pengetahuan, banyak pengalaman dan berinteraksi dengan beragam orang. Semua itu kemudian membuat saya mengubah pola pikir saya tentang kehidupan seorang manusia. Pada akhirnya, selama hidupnya manusia itu harus bisa mengeksplorasi dan mengembangkan minat dan bakat seluas mungkin, memperkaya pengetahuan dan kemampuan serta menikmat hidup semaksimal mungkin. Saya insaf, nggak bercita-cita menemukan prince charming lagi dan baru menikah di umur 38.



Film, walau pun tujuannya untuk menghibur, namun bisa menjadi media penyampai satu pesan bagi audience-nya. Film kartun pun demikian; apa lagi kalau audiensnya anak-anak yang gampang banget menyerap informasi. 'Pesan' misleading yang disampaikan oleh film kartun bisa membentuk pola pikir seorang anak, bahkan dapat dijadikan kepercayaan baginya.

Seorang kawan mengaku bahwa ia pun sempat mengalami fase ter-Cinderella-pengin-kawin-dengan-pangeran. Dan pada akhirnya kami berdua mulai membahas karakter princess klasik Disney dan pesan-pesan subliminal *alah* yang dikandungnya.  Yang klasik doang lho, ya. Soalnya yang sekarang-sekarang sudah banyak yang oke juga. Kayak Merida di film Brave misalnya.

(1) Cinderella

via GIPHY

Cinderella adalah tokoh yang apes, disiksa oleh ibu dan saudari-saudari tirinya. Dan dalam kondisi tersiksa tersebut dia menanti pangeran tampan menjemput dan menyelamatkannya. Ya, 'untunglah' dia cantik, sehingga ia bisa memenangkan kontes cari istri yang diadakan oleh pangeran nan kaya raya.

Pesan moralnya : Menikah adalah jalan keluar dari segala kesulitan hidup! Jadilah trophy wife! Nah, jalan menuju kebebasan dari kesulitan hidup (aka menikah) itu menjadi mudah, kalau kamu cantik.

This, somehow reminds me of...Rey Utami dan Pablo..ah sudahlah. :D

Oke, oke, mungkin Cinderella juga membawa pesan untuk berani bermimpi, dan mewujudkan mimpi. Boleh. Sayangnya pesan yang lebih kuat (buat saya sih) ya kawinin orang kaya, maka selesai sudah masalah hidupmu. :D

(2) Snow White

via GIPHY
Snow White ini cantik, saking cantiknya sampai Sang Ratu iri dan ingin membunuhnya. Lalu, kabur kan dia, untuk menyelamatkan diri. Lah, kaburnya kok ya ke tangan tujuh kurcaci... untuk jadi pengurus rumah tangga. Dia pun naif, mau-maunya makan apel beracun, sudah jelas-jelas ia lagi diincar mau dibunuh. Sama seperti Cinderella, segala keapesan kehidupannya berakhir setelah sang pangeran datang menyelamatkannya.

Pesan moralnya : hal yang paling penting bagi perempuan adalah kecantikan fisiknya, thok. Dan perempuan boleh melakukan apa saja untuk menjadi yang tercantik. Lalu, pesan lainnya, karena laki-laki nggak piawai mengerjakan pekerjaan domestik, maka perempuanlah yang harus mengerjakannya. Mencuci pakaian, membereskan rumah dan lain-lain harus dikerjakan dengan gembira ya? Sabar aja, nanti juga ada pangeran yang akan menikahimu.

Satu lagi yang bikin gemes adalah, soal ciuman lagi. Mengesankan menyentuh fisik perempuan itu boleh, walau tanpa izin yang empunya tubuh. Lalu aksi ini dibuat legal dengan excuse : kan untuk menyelamatkannya dari pengaruh kutuk penyihir. Yea yea.

3. Sleeping Beauty

via GIPHY
Dalam film ini, Aurora kena kutukan tertidur, sampai seorang pangeran datang untuk menyelamatkannya. Lalu, datanglah sang pangeran, nggak ngobrol, nggak nge-date, ujug-ujug jatuh cinta dan menciumnya.

Pesan moral : Kalau cantik, nggak usah ngapa-ngapain, orang pasti tertarik. Maka mari menjadi cantik! Ya memang iya, sih, masyarakat sekarang ya masyarakat superficial, yang cantik dan rupawan bakal lebih diuntungkan dalam lingkungan sosial, yang kurang rupawan harus usaha lebih. BHAHAK. Sial.

Satu lagi yang bikin gemes adalah, soal ciuman tanpa izin lagi! Seolah-olah diwajarkan untuk ngapa-ngapain perempuan saat ia tidak berdaya.

4. Little Mermaid


via GIPHY
Ariel Si putri duyung, demi bisa bersama dengan pangeran yang ia cinta, rela melawan orangtua, meninggalkan keluarga, menyerahkan pita suara pada Ursula, bahkan bersakit-sakit menanggalkan buntut duyungnya.

Pesan moral : kalau sudah jatuh cinta dengan seorang laki-laki, lakukan apa pun demi laki-laki tersebut, bahkan jika harus menyakiti keluarga, menyia-nyiakan potensi, bakat atau prestasi atau menyakiti diri sendiri.

5. Beauty And The Beast

via GIPHY
Belle terpaksa dijual ke orang lain karena hutang, dan sialnya orang tersebut adalah orang kaya buruk rupa dan buruk perangai. Namun ia bertahan dalam relationship paksaan tersebut. Lambat laun,karena kesabaran dan kebaikannya, maka perangai sang Pangeran yang abusif pun melembut.

Pesan moral : Bahwa kita nggak punya hak untuk menentukan kehidupan kita. Lalu, kita, perempuan, adalah juru selamat bagi laki-laki. Jadi, kalau satu saat kita mendapatkan pasangan yang abusif, tabah, sabar dan bertahanlah. Cinta kita akan memperbaiki sifatnya. Ini sih seolah mengatakan iya pada KDRT dan kekerasan dalam hubungan perpacaran.

Begitu deh, kurang lebih, hasil obrolan kami di hari itu. Ya ini sih hasil obrolan iseng doang ya, buat penggemar radikal Disney Princess klasik, please, sayanya jangan dimarahin. :D

Peace, yow!

Rabu, Mei 24, 2017

3 Alasan Saya Tidak Mengunggah Foto Anak di Media Sosial

There are a lot of pros and cons about social media; it's just how you choose to handle it and how you have to be prepared for the negatives as well. 
Aubrey Peeples

....bukannya saya nggak bangga sama anak saya, lho! Aduh, kalau ngikutin nafsu jempol posting sih, udah ribuan foto terunggah kali.
Anak kamu baik-baik aja, kan?

Ini kesekian kalinya saya mendapat pertanyaan dari kenalan dengan isi yang kurang lebih mempertanyakan kondisi anak saya; baik itu via Whatsapp mau pun  Facebook Messenger.

Waktu pertama kali sih saya bingung ke mana arah pertanyaan tersebut, sampai pada akhirnya saya baru mengerti setelah dijelaskan.

Ya, abis kamu nggak pernah upload fotonya sih di FB.

Iya, banyak orang menyangka saya tidak pernah mem-posting foto anak saya di media sosial karena saya menyembunyikan kondisi(fisik)nya. Bahkan ada juga nih orang yang--- sebelum saya sempat mengatakan apa pun ---  sudah memberikan wejangan agar apapun dan bagaimana pun kondisi anak, kita harus menerima dan harus bangga, supaya perkembangan mental sang anak baik dan lain sebagainya sebagainya.

Spontan saya nyengir.

Anak saya baik-baik saja. Alasan saya nggak posting sama sekali nggak ada hubunganya dengan kondisi fisik anak saya, kok. Ini hanya kesepakatan bersama, antara saya dan partner.

Walau pun... ssst... setelah punya anak, ternyata godaan untuk posting tentang anak itu begitu besar!  Pernah saya khilaf unggah foto di Path, saya tandai inner circle, tapi kemudia saya menyesal dan saya hapus foto tersebut.

Iya, segitu besarnya godaan itu! Rasanya semua yang dilakukan oleh anak saya sangat lucu, sampai perlu dilihat oleh jagad raya. Bahkan dia napas pun lucu, sumpah! :)))

Eh, sampai mana tadi?



Oke...

Saya masih ingat betul, beberapa alasan yang sempat kami bahas tentang posting foto anak di media sosial, yaitu

1. Mengurangi kemungkinan mempermalukan anak saya.
Sebagai orangtua yang pro consent, tentu saja saya dan partner berprinsip, apa pun yang dilakukan untuk anak kami, harus diketahui dan disetujui anak kami, atau harus berdasarkan hasil kompromi antara kami sebagai orangtua dengan dia. Iya, memang consent ini baru bisa berjalan jika anak sudah cukup besar, namun nggak ada salahnya kan berlatih untuk membiasakan diri? Hal-hal receh, seperti membersihkan hidung, membersihkan telinga, minum obat atau aktivitas lain yang tidak disukainya namun harus dilakukan demi kebaikannya, sering kami sertai kata 'Maaf yaaa, tapi ini kan (sebutkan kebaikan untuk dia)'

Perwujudan dari prinsip ini, sebagian kecilnya adalah telinganya tidak ditindik sedari bayi, kami mau dia yang memintanya sendiri setelah besar. Yang kedua, kami tidak akan memaksa dirinya untuk mau dipeluk, dicium atau digendong orang lain.
 
Nah, sharing foto pun kami berlakukan kebijakan yang sama. Mengunggah foto tanpa sepengetahuannya, ya sama saja, melanggar prinsip pro consent ini. Gimana kalau ternyata dia nggak suka kami meng-upload fotonya?

Ada satu kasus nih, beberapa tahun yang lalu saya pernah dicurhati oleh salah seorang mantan mahasiswi;  katanya ia sebal karena ibunya sering mengunggah (dan menge-tag) foto dirinya tanpa izin di Facebook. Ketika ia menunjukkan salah satu foto yang bikin uring-uringan itu, ternyata foto tersebut biasa saja, foto sang mahasiswi mencium sang ibu. Ketika saya tanya, kenapa ia sebal... ternyata foto itu menyebabkan dirinya jadi bahan olok-olokan di kampus. :D

Kami berusaha untuk membiarkan ia tetap anonim di dunia digital, supaya ia bisa melewati masa pubertasnya dengan relatif aman, tanpa ribuan jejak-jejak digital memalukan, yang bisa menjadi bahan celaan teman-temannya.

Idealnya, sih, kami tidak sharing... well, salah, saya tidak sharing (soalnya partner memang nggak sharing apa pun tentang anak di media sosialnya) apa pun sih ya? Karena apa pun bisa memiliki potensi bahan celaan/bully-an. Namun, namanya juga mamak-mamak, remember? Jiwa pamernya tinggi, jadi terkadang saya suka upload foto... jarinya, atau kakinya, atau punggungnya, atau kepalanya kayak foto di atas. :)))

Bahkan saya juga suka sharing tentang suka duka menjadi ibu, di Instagram. Walau pun sebenarnya subyek dari ceritanya adalah saya, si new mom ini, namun tentu saja si anak terlibat juga.

Maafkan Ibu, Nak, tapi kan ibu tidak upload foto, juga tidak memberi tahu nama dan segala data kamu yang sebenarnya. Bukankah di era media sosial ini berlaku hukum no pic = hoax? Jadi jika sewaktu-waktu ada teman yang meledekmu gara-gara postingan ibu, kamu boleh ngeles 'Ih, emang dia ibu saya?', kok! :D


2. Menekan kemungkinan (foto) anak saya terpapar oleh orang jahat.
Sebut saja kasus Official Candy's Group, sebuah group online di Facebook yang beranggotakan ratusan pedofil. Kasus ini membuktikan bahwa orang yang jahat pada anak-anak di luaran sana banyak dan... yes, hal ini super menakutkan bagi saya. 

Di beberapa artikel yang pernah saya baca, para pedofil ini sering mencuri foto anak-anak kecil dan memasukkannya ke website dengan audience yang memiliki kelainan ini, disertai dengan komentar eksplisit seksual. Ewwww.

Lalu ada juga kasus foto-foto anak yang diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab, untuk kemudian diklaim sebagai foto anaknya. Entah untuk apa. Ngeri ih.

Belum lagi kebijakan Facebook yang bisa bisa menyarankan orang men-tag foto hanya berdasarkan hasil memindai dan membandingkan foto teman-teman kita dengan profile picture dan foto kita yang telah ditandai orang. Dengan demikian, artinya ketahuan dong, siapa saja orang-orang terdekat anak saya? Otak kriminal saya membayangkan, siapa saja inner circle anak saya bisa dimanfaatkan untuk menipu.

Saya nggak mau (foto) anak saya disalahgunakan oleh pedofil. Saya pun nggak mau anak saya diaku-aku oleh orang lain. Saya nggak mau ada yang menelepon/menghubungi inner circle anak saya untuk kemudian mengatakan 'Si (Anak saya) kecelakaan, transfer sekian untuk operasinya'

Iya, memang saya parnoan. :D

3. Menghindari waktu bersama yang berkurang gara-gara sibuk berfoto.
Oke, namanya juga mamak-mamak dengan handphone, yes? Maunya sih, setiap anak bergerak, saking lucunya (menurut kita), ya diabadikan. Itulah yang pernah saya lakukan, anak geser dikit difoto, anak ketawa sedikit, difoto. Pokoknya handphone pernah tidak terlepas dari tangan. Akibatnya? Waktu yang dipakai untuk bersamanya 'terganggu' dengan waktu berfoto. Belum lagi kalau saya gatel memberi filter ini itu. Duh. Lalu jeleknya lagi.... anak saya jadi gila difoto jugaaa cobaaaaa.

Kalau saya memegang handphone di dekatnya, maka ia akan menunjuk sambil bilang 'Uh,uh!', minta difoto dong! Seusai difoto dan diperlihatkan hasilnya, minta difoto lagi, terus aja begitu sampai ia sweet seventeen-an

Ya kali main bareng dia berjam-jam foto-fotoan melulu? Nggak sehat sih, bagi saya. Sejak saat itu, saya selalu mengenyahkan handphone saat bersama anak. Biarlah yang lebih sering memfoto itu nenek-neneknya, kakek-kakeknya, oom-oomnya, tante-tantenya... tinggal saya minta kirim fotonya via Whatsapp :))



Kurang lebih seperti itulah, alasan saya nggak mengunggah foto anak saya di media sosial. Jadi bukannya saya nggak bangga sama anak saya, lho! Aduh, kalau ngikutin nafsu jempol posting sih, udah ribuan foto terunggah kali. :))

Tapi, bukibuk dan pakbapak, buat saya mengunggah/tidak mengunggah foto atau data apa pun ke media sosial adalah keputusan masing-masing individu, kok. Posting ini bukan mau bilang bahwa keputusan saya yang paling benar dan yang lain salah, lho!

So, ada yang memutuskan untuk tidak posting foto anak juga di media sosial? Alasannya apa?

Atau, untuk yang memutuskan mengunggah foto anak, alasannya apa?



Kamis, Mei 04, 2017

Setahun Menyusui : Dari Freezer Yang Nggak Penuh Sampai Tidak Rela Menyapih


A newborn baby has only three demands. They are warmth in the arms of its mother, food from her breasts, and security in the knowledge of her presence. Breastfeeding satisfies all three.

Grantly Dick-Read

Yang jelas pemikiran saya bahwa menyusui itu hanya aktivitas memberi makan bagi bayi berubah banget. Nggak, menyusui itu nggak sesederhana itu, kompleks bo!
Okeh. Anak saya baru saja ulang tahun ke-1 beberapa waktu yang lain. Fiuh! Sampai juga bok, setahun. Saya nggak mau bilang nggak berasa, ah! Setahun ini, walau berlalu cepat banget, tapi ups and downs-nya kerasa deh! Pakai banget.

Anak saya sudah setahun, artinya sudah setahun saya full menyusui. Jadi kalau menurut AIMI-ASI, anak saya sudah S2 ASI. Etsaah.

Kamis, April 20, 2017

Merayakan Hari Kartini Dengan Membebaskan Diri

We are going to emancipate ourselves from mental slavery because whilst others might free the body, none but ourselves can free the mind - Marcus Garvey

...... emansipasi (dan gender equality) itu nggak ada hubungannya dengan pengin jadi sama dengan laki-laki, ya saya sih nggak mau bangun-bangun tiba-tiba punya jakun, berjenggot dan berpenis.
Oh fiuh, akhirnya Pilkada DKI kelar juga. Lega. Sejujurnya saya empet menggunakan media sosial, karena suasananya pasti nggak enak, isinya seragam, perseteruan antara pendukung paslon nganu dan nganu. Pusing. Dua-duanya sama ributnya. Semoga setelah ini timeline dan feeds sosial media kembali bervariasi seperti dulu. Saat Valentine's Day, update orang-orang ramai soal halal-haramnya merayakan hari cinta itu, saat natal, update tentang halal haramnya memakai topi Santa dan mengucapkan Selamat Natal, saat Hari Batik, orang pun ramai dengan kuliah-kuliah online tentang batik dan asal-usulnya, saat... apa lagi ya?

Oh, saat hari Kartini! Besok kan hari Kartini, ya gaes? Harinya orang-orang ramai-ramai membahas tentang ibu yang sebenarnya bernama Harum ini.

Ibu kita Kartini, Harum namanya?

Ingat?

Oke, ini becandaan 80-an memang. Maafkan. Tipe bercandaan kadang membuka rahasia umur. :))

Di Hari Kartini ini, orang-orang di media sosial akan merayakannya dengan banyak hal : membandingkannya dengan pahlawan-pahlawan perempuan lainnya (yang katanya langsung berperang, bukan surat-suratan seperti Kartini), dengan posting foto kebaya diberi hashtag #ootd, karena mungkin janjian dengan teman-teman se-geng atau diharuskan memakai dress code demikian oleh kantor. Ada juga yang merayakannya dengan memberi kuliah online melalui akun-akun media sosialnya mengenai ketidaksetaraan gender yang masih terjadi. Macam-macam. Rame.

Yang menarik lagi, kemudian kata 'emansipasi' akan sering disebut.

'Jangan nyebut-nyebut emansipasi, kalau parkir saja masih di area ladies parking!'
'Emansipasi, tapi tas minta dibawain pacar!'

Rabu, April 05, 2017

Anak Perempuan Nggak Musti Jadi Princess Kok!

“Girls can be athletic. Guys can have feelings. Girls can be smart. Guys can be creative. And vice versa. Gender is specific only to your reproductive organs (and sometimes not even to those), not your interest, likes, dislikes, goals, and ambitions.”

- Connor Franta, A Work in Progress 

...... perempuan harus kalem dan anggun selayaknya Miss Universe dan slogan Brain, beauty, behaviour and boobs-nya.
"Wah, cewek ya? Ih pasti ribet deh ntar besarinnya. Untung anak gue cowok dua-duanya." begitu komentar yang saya dapatkan dari seseorang sekitar setahun yang lalu, saat saya dalam kondisi harap-harap cemas jelang kelahiran.  Orang tersebut menanyakan jenis kelamin bayi yang saya kandung.

"Kenapa ribet?" jawab saya setengah jengkel, setengah penasaran.

"Iya, ngawasinnya ribet, nggak boleh jatuh, harus dilindungi sampai gede, pokoknya harus serba hati-hati, kayak Princess gitu deh! Enakan laki, diemin aja mau jungkir balik kayak apa juga, ga repot." jawabnya.

Di kesempatan yang lain, setiap saya mengunjungi toko perlengkapan bayi untuk membeli pakaian buat anak saya, sang SPG selalu bertanya,"Cowok apa cewek anaknya, Bund?" Ketika saya jawab cewek, maka ia akan menggiring saya ke arah pakaian anak perempuan yang berenda-renda ala Cinderella dan berwarna aneka pink, dari shocking pink sampai baby pink.

Sementara itu di saat lain, jauh sesudah anak saya lahir, seorang tetua menunjukkan keheranannya begitu mengetahui bahwa anak saya nggak suka pada boneka berbulu. Iya, dia geli, atau gilaeun dalam bahasa Sundanya. Sambil berseloroh, partner bilang,"Tau-taunya dia suka bola..."


"Ya jangan dong, kan anak perempuan..." jawab sang tetua.


Kamis, Maret 23, 2017

Tubuh Anak Saya, Miliknya. Bukan Milik Orang Lain.


No woman can call herself free who does not control her own body. —Margaret Sanger

......Menindik telinga saat ia masih kecil, saat ia belum bisa setuju atau tidak setuju adalah salah satu pelanggaran besar
Waktu itu, karena dorongan berkemih, saya menitipkan Lilo pada partner, yang sedang kedatangan tamu. Seusainya, ketika saya hendak mengambil alih karena sudah waktunya tidur...

'Cowok mah ngumpulnya di sini, sama bapak dan om!' kata kawan partner pada Lilo.

 'Eh, anak gue cewek,lho!' jawab partner sembari cengar-cengir.

'Oh, kirain. Nggak pake anting sih...'

...

Anyway, bukan sekali dua kali orang mempertanyakan keputusan saya dan partner untuk tidak menindik telinga Lilo. Dan jawaban kami selalu sama 'Sakit, ah! Kasian!' Dan seperti yang sudah bisa ditebak, pasti jawaban orang-orang,'Ih mending pas masih kecil, nggak sakit. Kalau udah gede kan udah kerasa sakitnya...'

Kami berdua menanggapi dengan cengiran (..dan kalau saya sih, tentunya sambil bertanya-tanya, lah memangnya iya, kalau masih kecil ditindik jadi nggak sakit? Tau dari siapa?)

Namun, sesungguhnya alasan kami bukan hanya itu. Kami berdua sepakat untuk memberikan otonomi tubuh pada Lilo. Bagi kami, tubuhnya adalah miliknya, apa pun yang akan dilakukan pada tubuhnya, harus berdasarkan pengetahuan dan persetujuan dirinya. Menindik telinga saat ia masih kecil, saat ia belum bisa setuju atau tidak setuju adalah salah satu pelanggaran besar dari kesepakatan ini.

Mengapa otonomi terhadap tubuhnya penting?

Kamis, Maret 09, 2017

Menyusui Di Tempat Umum? Kenapa Nggak Boleh?


There are three reasons for breast-feeding: the milk is always at the right temperature; it comes in attractive containers; and the cat can't get it. ~Irena Chalmers

......Anak nangis dipelototin, disuruh supaya ibunya menenangkan. Eh ditenangkan dengan disusui, salah juga. Njuk ibu-ibu kudu piye, Jal?.
Di satu hari yang iseng, saya menelusuri Instagram feed saya dan menemukan foto seorang selebritas yang sedang menyusui di tempat umum dengan menggunakan apron. Dari foto tersebut, ada dua hal yang menarik perhatian saya. Yang pertama, nursing apron-nya lucu, tapi mari kita kesampingkan, karena hal ini bukan masalah, banyak online shop yang menjual barang-barang keperluan bayi yang lucu. Nah, masalah kedua adalah.... pengguna Instagram lain yang mengomentari foto tersebut.

Inti dari 'keramaian' di kolom komentarnya adalah masalah pro dan kontra menyusui di tempat umum. Kontennya ada menasehati dan mencerca, ada pula yang support. Rempyong ya bow.

Dari sana, akhirnya saya iseng membuat polling di Twitter dan Facebook. Lega ketika mendapati sebagian besar menganggap menyusui di tempat umum itu biasa saja. Namun saya juga menghargai mereka yang tidak sependapat.

Yang malesin adalah mereka (cowok-cowok) yang kemudian berkomentar menjurus ke arah seksual. Ngeselin. Nanya apa, jawaban apa. Emang susah ngobrol sama sobekan majalah porno sih.


Kamis, Maret 02, 2017

Orangtua Ideal Itu Cuma Hoax

Before I got married I had six theories about bringing up children; now I have six children, and no theories. - John Wilmot
......kalau hidup itu tidak semudah cocote Mario Teguh, maka jadi orangtua itu tak semulus cocote para parenting advisor.
Saya nggak pernah membayangkan diri saya punya anak. Sumpah. Makanya saya sama sekali buta masalah parenting, sampai pada akhirnya hamil. Nah! Dari situ saya baru banyak belajar dan membaca berbagai macam buku, artikel, website yang berhubungan dengan parenting. Segala macam informasi yang saya kumpulkan, baca dan pahami sepanjang masa kehamilan pada akhirnya membentuk gambaran bagaimana orangtua yang ideal (atau minimal baik) itu.

Jelang melahirkan, saya merasa sudah cukup paham kurang lebihnya dan dalam hati bilang : Oh gitu toh, jadi orangtua itu. Sip. Saya pikir, ya sudah, tinggal jalani saja.

Eh begitu Lilo lahir, jebulnya (alah jebulnya), saya harus mengatakan 'bye-bye', pada standar-standar orangtua baik yang sudah ada di dalam benak saya. Kenapa? Ya karena yang terjadi di lapangan ternyata nggak semulus apa yang disebutkan dalam buku-buku dan artikel parenting yang pernah saya baca.

Ini dia, hal-hal yang saya rasakan setelah 10 bulan jadi ibu. Eh, 10 bulan mah baru ya? Dan saya percaya, akan bertambah lagi daftarnya, seiring dengan bertambahnya umur Lilo.

Tentang Pumping ASI
Teorinya sih, pumping itu dilakukan setidaknya setiap 3 jam sekali, selama 20 menit, untuk merangsang produksi ASI (karena ASI prinsipnya supply-demand, semakin sering payudara 'kosong' akan mempercepat produksi ASI.

Kenyataannya
Saya bingung menentukan waktu memompa. Lilo menyusu langsung setiap 2-3 jam sekali, selama setengah jam. Berarti, saya memompa di antara waktu menyusui, selama dua puluh menit. Jadi saya cuma punya waktu yang sangat sempit untuk mengurus diri sendiri; dalam artian mandi, makan dan istirahat. Waduh! Saya nggak sanggup, kelelahan dan kurang tidur pasca melahirkan saja sudah cukup membuat saya stress, kalau ditambah wajib pumping dengan jadwal seketat itu, modyar saya. Terpujilah para ibu-ibu yang sanggup menjalani rutinitas seperti itu tanpa stress.  Kalian setrong bukibuk!