Laman

Kamis, Maret 23, 2017

Tubuh Anak Saya, Miliknya. Bukan Milik Orang Lain.


No woman can call herself free who does not control her own body. —Margaret Sanger

......Menindik telinga saat ia masih kecil, saat ia belum bisa setuju atau tidak setuju adalah salah satu pelanggaran besar
Waktu itu, karena dorongan berkemih, saya menitipkan Lilo pada partner, yang sedang kedatangan tamu. Seusainya, ketika saya hendak mengambil alih karena sudah waktunya tidur...

'Cowok mah ngumpulnya di sini, sama bapak dan om!' kata kawan partner pada Lilo.

 'Eh, anak gue cewek,lho!' jawab partner sembari cengar-cengir.

'Oh, kirain. Nggak pake anting sih...'

...

Anyway, bukan sekali dua kali orang mempertanyakan keputusan saya dan partner untuk tidak menindik telinga Lilo. Dan jawaban kami selalu sama 'Sakit, ah! Kasian!' Dan seperti yang sudah bisa ditebak, pasti jawaban orang-orang,'Ih mending pas masih kecil, nggak sakit. Kalau udah gede kan udah kerasa sakitnya...'

Kami berdua menanggapi dengan cengiran (..dan kalau saya sih, tentunya sambil bertanya-tanya, lah memangnya iya, kalau masih kecil ditindik jadi nggak sakit? Tau dari siapa?)

Namun, sesungguhnya alasan kami bukan hanya itu. Kami berdua sepakat untuk memberikan otonomi tubuh pada Lilo. Bagi kami, tubuhnya adalah miliknya, apa pun yang akan dilakukan pada tubuhnya, harus berdasarkan pengetahuan dan persetujuan dirinya. Menindik telinga saat ia masih kecil, saat ia belum bisa setuju atau tidak setuju adalah salah satu pelanggaran besar dari kesepakatan ini.

Mengapa otonomi terhadap tubuhnya penting?



Inti dari semuanya adalah : 1. Supaya Lilo menyadari personal boundaries-nya dan mengatakan 'Nggak mau!' saat ada orang (dewasa) yang melanggarnya itu tidak apa-apa.
Masyarakat kita telah terbiasa menganggap (seorang) anak kecil itu tidak memiliki hak atas dirinya. Contoh, di satu kumpul-kumpul kerabat, tiba-tiba seorang sesepuh menghampiri seorang anak kecil dan memintanya mencium sang sesepuh. Yang saya lihat sih, si bocah menolak dicium. Apa yang terjadi? Sang sesepuh memaksanya. Orangtuanya, alih-alih mendukung si bocah, malah bilang 'Itu eyang mau dicium, cium dong!'

Ini namanya forced physical contact. Perkosaan dan pelecehan seksual pun memiliki konsep yang sama : forced physical contact. Sayangnya, banyak orang yang nggak menyadari dan menganggap hal ini lumrah. Gini deh, bayangkan jika itu terjadi dengan kita. Tiba-tiba di satu acara, ada orang dewasa lain, pengin memeluk/cipika-cipiki, lalu kita bilang nggak mau, tapi ia memaksa. Bahasa Jermannya sih, nggilani.

Dengan tidak menindiknya, maka saya ingin Lilo menyadari kami menghormati tubuhnya dan hal seperti inilah yang seharusnya dilakukan orang lain. Saya benar-benar nggak pengin Lilo tidak menganggap semua orang dewasa itu harus dituruti. Bahaya, bok! Bayangkan kalau ada orang dewasa berniat jahat dan ia terbiasa menurut? No. No. No.

Jika hal tersebut terjadi pada anak saya, maka saya akan bilang,'Kalo Lilo nggak mau dicium, salaman aja deh, atau tos!'

Kalau orang dewasanya maksa?

Tinggalin!

2. Agar Lilo mampu berempati dan menghargai orang lain.
Masih berkaitan dengan yang sebelumnya, kami ingin Lilo juga memberikan respek yang sama pada orang lain. Kami ingin ketika ada orang lain bilang 'Nggak!' artinya nggak. Ia harus stop dan menghargainya. Supaya Lilo tidak melakukan forced physical contact pada orang lain, misalnya mem-bully adik kelasnya..

3. Agar Lilo mengenal organ tubuhnya secara tepat dan tidak malu akan setiap bagian tubuhnya
Salah satu konsep otonomi tubuh adalah mengenal seluruh organ tubuhnya dengan seharusnya. Kami akan mengajarkan kami bahwa alat kelaminnya bernama vagina, alat kelamin laki-laki bernama penis, lubang pantatnya bernama anus. Nggak akan saya memberi nama Pippi, Peppi, bahkan nganu buat Vaginanya, kami akan menyebutnya dengan cuek, secuek kami sebutkan 'tangan', 'kepala' dan 'hidung'. Kami mencegah Lilo merasa bahwa bagian-bagian tersebut adalah bagian yang tabu atau memalukan untuk disebut.

Kenapa ini penting? Karena jika Lilo nyaman dan biasa aja menyebutkan bagian-bagian tersebut, maka ia tidak akan ragu untuk menceritakannya jika --- amit-amit --- terjadi sesuatu.

4. Agar Lilo mengasah instingnya.
Insting itu penting, walau pun kadangkala kita nggak bisa menjelaskan secara logis alasannya. Bagi saya insting itu adalah alarm tanda bahaya internal. Saya percaya, sama seperti insting orang dewasa, ketika seorang anak enggan berdekatan bahkan menolak seseorang, itu karena alarm tanda bahayanya berbunyi. Ia merasa tidak aman.

Seringnya, saya melihat orang lebih menghargai anak yang mudah akrab, sehingga ketika sang anak menolak --- misalnya bersalaman dengan orang baru --- maka ia dianggap ndeso dan dipaksa untuk. Hal ini menyebabkan dalam benaknya muncul pemikiran ' Anak yang disukai adalah anak yang  ramah pada semua orang'. Maka ketika ia tidak merasa aman, alih-alih mengikutinya, ia malah mengabaikannya. Ujung-ujungnya instingnya akan melemah dan lama kelamaan ia tidak bisa merasakan alarm berbahayanya bunyi lagi.

5. Agar Lilo memperlakukan tubuhnya bukan karena keinginan diterima orang lain.
Kami ingin Lilo mandiri memperlakukan tubuhnya; bukan agar diterima oleh lingkungannya. Kami nggak ingin Lilo mengecat rambut karena geng-nya dicat rambutnya. Lalu, dandan atau tidak dandan demi pacarnya? Big no.


Jadi begitulah,  kenapa kami tidak menindik telinganya sejak dini. Kami akan membiarkannya meminta; kalau pun nanti ia merasakan sakit, itu adalah konsekuensi dari keputusannya menindik tubuh.

PR kami masih banyak sih, karena tindik telinga itu salah satu bagian yang kecil dari otonomi tubuh. Hosh! Doakan berhasil!

PS. Jangan tanya, kalau nantinya Lilo mau di-piercing di hidung, misalnya. Soalnya emaknya bertindik hidung, jadi pasti boleh. Ha!

Jangan tanya juga kalau nanti misalnya ia minta di-tattoo, soalnya bapaknya tattoo artist.


3 komentar:

Melissa Octoviani mengatakan...

anakku juga dulu waktu bayi suka dicium sama banyak orang kalo di gereja... apalagi dulu anaknya mau sama siapa aja, dicium juga diem aja, ampe kadang ada bekas lipstik nempel di pipi... aku kadang suka gemes, mau ngelarang tapi mereka semua uda oma oma hahahaha... untung sekarang anaknya bisa bilang engga, dan kalo dicium gemes uda pasti berontak...

mamamolilo mengatakan...

Mel : iya, kadang-kadang kalau urusannya sama tetua suka repot :))

Unknown mengatakan...

Suka suka bgt sama tulisannya. Dee dapet tulisan ini dr share temn pas liat lagi ternyata yg menulis spatu merah tantr okke. Suka sama ulasannya hmm saya sendiri juga suka ditanya,dian gmn klo kakang nanti memilih bertato seperti papihnya hehehe biarin aja. Loh! saya pun sepakat sama papihnya apapun keputusan kakang untuk dirinya harus dr pemahamannya dan kita akan selalu mendampingi untuk semua pengetahuannya ya debat2 sedikit, tp karna kakang belum 2th ini perjalannya mash jauh untuk ke arah itu.heheh oh iya sayang bgt pas ketemu di lavie dian belum tau kalau yang menulis ini tante tau gitu di stop untuk ngbrol sebntr hahahah salam bahagia selalu.