Laman

Rabu, Januari 24, 2018

Urusan Domestik, Ya Urusan Suami Juga, Dong!


A husband and wife must function like two wings on the same bird. They work together or the marriage never gets off the ground. - Dave Willis  

 
...Bikinnya doyan, ngurusnya nggak mau. Sama dengan tidak mengertinya dengan bapak-bapak yang sama sekali nggak mau menyentuh urusan rumah tangga.
"Cara menahan emosi saat kesal pada anak adalah... tarik napas, hembuskan... lalu berikan anak pada suami."

Itu adalah posting saya di Instastory beberapa waktu yang lalu. Saat menulis itu saya nggak sedang kesal pada anak. Murni iseng doang.

Ternyata keisengan saya membuahkan curhat dari beberapa orang istri dan ibu via DM. Bahasa yang digunakan sih beda-beda tiap orangnya, tapi intinya, suami mereka nggak akan mau 'kena getah' ngurusin anak.

Sesungguhnya, saya nggak ngerti sama bapak-bapak model begini. Bikinnya doyan, ngurusnya nggak mau. Sama dengan tidak mengertinya dengan bapak-bapak yang sama sekali nggak mau menyentuh urusan rumah tangga.

Eh oops. Maaf, jadi nyinyir. Ehe.
Oke, keluarga dan individu yang beranggapan bahwa rawat merawat anak dan mengurus rumah tangga adalah urusannya perempuan, pasti punya pemikiran sendiri.

Saya yang punya pendapat bahwa seorang suami dalam rumah tangga harus juga memedulikan masalah domestik, pun punya pertimbangan sendiri. Buat saya, urusan rumah tangga, dari bebersih rumah sampai ke merawat anak bukan tanggung jawab saya doang. Beruntung saya memiliki partner yang punya pemikiran yang sama.

So, kenapa saya berpikiran demikian?

Yang pertama, bagi saya suami adalah anggota/bagian dari sebuah keluarga. Satu tim, lah istilahnya. Karenanya tugas-tugas intern tim ya harus dikerjakan oleh semua anggotanya bersama-sama. Sering saya heran dengan istilah 'suami membantu istri mengurus anak' atau 'membantu istri melakukan pekerjaan rumah tangga'. Kalau misalnya yang menjaga anak adalah mertua dan yang menyapu adalah tetangga, maka bolehlah itu disebut 'membantu', karena kewajiban mereka sebenarnya bukan itu. 

Menjaga anak itu tugas seorang suami dan seorang istri, karena itu anak mereka, kan? Mengurus rumah pun kewajiban suami dan istri, karena mereka tinggal di tempat itu bersama.  Ye kan?

Yang kedua, Istri bukan superwoman. Dalam sebuah keluarga, suami dan istri ada perannya masing-masing dengan pembagian pekerjaannya masing-masing. Ada yang bilang bahwa 'suami kerja di kantor dan istri beberes rumah' itu sudah pembagian kerja. Buat saya sih nggak proporsional.

Pakbapak, saya bekerja tapi ada waktu di mana saya jadi stay at home mom juga; jadi saya bisa memastikan lebih capek kerjaan domestik dibandingkan bekerja di kantor, lho! Seriously. Pekerjaan domestik itu  combo  dari tipe kerjaan mikir (masak apa hari ini? Gimana me-manage gaji sekian agar bertahan sampai akhir bulan dan seterusnya) dan fisik juga (nyuci, ngepel, nyapu dan seterusnya), dengan waktu kerja dari melek sampai merem, nggak kelar-kelar. Hayati lelah.

(Saya bisa melihat buibu ngangguk-ngangguk setuju.)

Masyarakat sering mengglorifikasi status/peran seorang istri/ibu menjadi sosok yang tak kenal lelah, super sabar, super kuat, super tabah.... superwoman. Padahal pada kenyataannya, istri/ibu ya manusia juga, bisa capek fisik dan mental. Apa yang terjadi ketika seorang istri/ibu terlalu lelah fisik dan mental? Ia bisa stress bahkan depresi. Ia jadi mudah tersinggung, pemarah, agresif, dan sederet karakteristik negatif lainnya. Ujung-ujungnya akan merusak hubungan antarindividu dalam keluarga tersebut, bahkan ada juga potensi abusif Dan destruktif, misal sampai memukul anak. Mengerikan nggak sih?

Kalau masih ngerasa bahwa nggak ambil bagian dalam urusan domestik itu nggak ada hubungannya dengan diri kalean pribadi, wahai para suami, tahu nggak, libido istri bisa turun kalau stress! Hayoloh! Hayoloh! Haha.

Anyway, pada intinya, buat saya menikah adalah partnership (makanya saya menyebut suami saya dengan 'partner'). Karenanya, kami menjalani pernikahan sebagai tim.  Nah, dua dari sekian banyak karakteristik anggota tim yang baik adalah yang memberikan sumbangan (pikiran/tenaga/finansial) secara fair, plus saling men-support satu sama lain.

Sesederhana itu kok.

By the way, saya pernah bikin posting tentang pembagian pekerjaan rumah tangga antar suami istri, status FB lucu-lucuan doang sih. Lalu ada bapak-bapak yang menjawab : Kalau bisa bayar nanny, pembantu atau minimal Go-Clean, ngapain? Jangan kayak orang susah dong.

Ahaha, iya deh, yang horang kayah!

Tetiba saya iba pada beban yang dipikul istrinya. Iya, secara fisik (bisa jadi) ia tidak lelah, tapi tentu saja ia menggunakan otaknya untuk me-manage para pekerja yang membantu tersebut kan? Belum lagi melibatkan emosi menghadapi pembantu yang banyak dramanya itu. :P

Satu-satunya cara agar sang istri nggak capek emosi/mental ya memiliki pemikiran yang sama dengan sang suami : nggak peduli urusan anak dan rumah tangga; semua diserahkan pada nanny, ART dan Go-Clean.

Etapi kalau sampai gitu banget, dua-duanya nggak mau direpotin printilan rumah tangga, dari awal ya gak usah berkeluarga aja sekalian, kali ya? 

:))

Selasa, Januari 16, 2018

#Modyarhood : Belajar Menjadi Ibu Yang Waras dari GTM


“You can learn many things from children. How much patience you have, for instance.” ― Franklin P. Adams


...pakai himalayan pink salt juga nggak menjamin dese lebih sehat, lebih bagus selera makannya dibandingkan dengan pakai garem merk Dolphin
Idih, belum juga sempat posting yang lain, sudah waktunya posting Modyarhood lagi. :))

Anyway, sebelumnya, Modyarhood adalah project nge-blog per bulan bareng saya dan Puty. Tulisannya bertema tertentu, hasil kesepakatan kami. Kami mengajak teman-teman yang mau, untuk ikut posting dengan tema yang sama di blog masing-masing.

Kali ini temanya GTM (Gerakan Tutup Mulut). Alias anak menolak makan.

Mungkin --- kecuali Andien --- nggak ada ibu yang nggak pusing dan nggak pernah ngalamin anak yang GTM. :))

Selama 20 bulan jadi ibu, mungkin sudah tiga kalian kurang lebih anak saya GTM. Kalau awal-awal sih, saya jengkel, sedih, khawatir bahkan sampai frustasi menghadapinya.

Kalau sekarang? Bete tentu saja masih, tapi saya sudah bisa menarik pelajaran dari periode GTM ini.

Buat saya, GTM itu adalah salah satu mata pelajaran dengan learning outcomes : menjadi ibu yang lebih baik waras. Saya mendapatkan beberapa pelajaran, yang kayaknya bisa diaplikasikan untuk keseluruhan proses menjadi orangtua.

Apa saja?

1.  Nggak ada kondisi (anak) yang permanen.
Tsah, ini Zen banget deh! Tapi ya itu, anak-anak nggak bisa ketebak.

Anak saya ( dan mungkin anak-anak lain juga) random kalau soal makan; kadang gampang banget, kadang gampang aja, kadang susah banget, kadang susah aja.

Perubahannya pun bisa cepat, siangnya makan begitu lahap sampai dipuji-puji neneknya dan dibanding-bandingkan dengan anak orang lain, sampai saya GR dan bangga-bangga belagu, eh, sorenya... jreng, mingkem. Sampai seminggu. Bageus.

Jadi buat ABG cowok galau yang ngeluh-ngeluh cewek susah ditebak, coba punya anak deh! Sedap!

Karena memang nggak ketebak, jadinya ya gak perlu berasumsi macam-macam, supaya bisa rileks ketika memulai hari. Nggak senewen duluan dan mikir 'Waduh, pasti ntar gue kesel deh, anak gue nggak mau makan...', lalu mood jadi nggak karu-karuan sepanjang hari.

Gara-gara GTM saya belajar untuk....(1) Nggak belagu kalau kondisi anak sangat sesuai harapan, nggak juga putus asa kalau lagi nggak sesuai. (2) Nggak bikin skenario di awal dan pasrah. Yang terjadi, ya terjadilah.

BTW, ini baru-baru saya terapkan kok! Sebelumnya? Ketika kemarinnya anak saya tantrum hebat dan susah dikendalikan, hari berikutnya saya degdegan cenderung panik bahkan sampai nggak mau ditinggal karena takut tantrum ya berulang. Padahal kan belum tentu juga ya?


2. Ngasih makan dilarang sedang lapar atau capek.
Sebelum memberi makan anak, biasanya saya makan dulu, atau minimal makan bareng. Karena kondisi lapar itu berbahaya. Saya jadi sumbu pendek, gampang marah pakai banget. Kalau saya baru pulang kerja, pun, saya pun sering menolak memberinya makan. Capek bok. Saya serahkan pada bapaknya.

Kalau saya maksain diri untuk menemani atau menyuapi anak saat sedang lapar/capek dan pas dia lagi GTM, hasilnya, kalau dalam bahasa Jerman sih moal baleg, lah! Saya marah, antara saya bentak dia, saya paksa masukan makanan ke mulutnya, atau makanannya saya buang dengan demonstratif.

Apa efeknya? Ya jelas nggak bagus. Anak saya ketakutan, lalu semakin nggak mau makan. Saya makin emosi dan seterusnya seterusnya. Lingkaran setan. Ada tuh masa di mana pada akhirnya, nggak mau makan bareng saya lagi. Kan sedih ya?

Hal ini pun berlaku untuk segala hal. Saat anak trantrum, saat anak menolak mandi, saat anak nggak mau dengar, saat anak nggak mau dicebokin pas pup.

Gara-gara GTM saya belajar, kalau lagi bete atau lelah, tinggalin anak. Kasih ke bapaknya. Daripada terjadi huru-hara, ye kan?

3. Perfeksionis, idealis dan kaku adalah sumber ketidakwarasan.
Saya kaku, kayak Kanebo kering. Juga idealis dan perfeksionis.Ini bikin saya sering senewen. Nah, orang senewenan kayak begini, jadi emak-emak? Kelar! Saya sering stress jadinya.

Tadinya saya kaku menerapkan yang ideal-ideal dalam pola parenting saya. Wajib duduk di highchair, makan menu 4*, tidak makan makanan awetan/frozen food dan lain-lain. Ekspektasinya ya, anak saya nurut dan mendapatkan segala yang (menurut saya) terbaik.

Tapi realitanya?

Ke laut ajah!

Ia menolak duduk di high chair. Awal-awal saya memaksanya stay di sana dengan alasan mendisiplinkan. Jadinya apa? Dia ngamuk, saya jengkel.

Ia melempar semangkuk-mangkuknya menu 4* yang saya buat. Dipaksa makan jadinya berantem, saya kesal.

Saya membuat segala nugget, bakso, santan aja memeras sendiri lhooo! Lalu sudah susah-susah bikin begitu ia lempar-lempar makanannya. Saya murka.

Bubarlah itu acara makan, Mak!

Ini nggak sehat.

Akhirnya demi kewarasan bersama, saya mengalah. Kalau lagi mau, yawis, di high chair, kalau enggak, ya sudahlah. Namun sering saya ingatkan agar ia tidak berlari-larian saat mulut penuh makanan. Kalau cuma mau nasi abon, ya sudah silakan, kalau mau buah doang monggo. Dan saya juga mulai memberinya frozen food, kayak kentang goreng dan lain-lain.

Dengan GTM saya belajar, kalau jadi mamak-mamak itu, nggak usah kaku, perfeksionis dan idealis lah! Metode rock 'n roll pun jadi, demi kewarasan bersama

4. Nggak Usah Baper.
Sebagai perempuan pecinta tidur, bangun pagi itu membutuhkan effort besar. Apalagi sehabis bangun pagi, saat arwah belum kembali sepenuhnya, kudu haraus mikirin menu makan dan masak pula. Yaelah. Saya menganggap ini adalah pengorbanan besar; dan jeleknya, saya mengharapkan imbalan, yakni anak saya harus mau makan.

Saat dia menolak yang saya suguhkan, saya baper dong. Kesel ih, sudah susah-susah dimasakin nggak dimakan. Lalu saya berpikir 'Wah makanan saya nggak enak, saya nggak jago masak', atau 'Mungkin dia bosan masakan saya, saya nggak kreatif...' lalu merasa tertolak dan patah hati. Apasihh.. :)))

Padahal belum tentu juga, karena ternyata penyebab anak saya nggak mau makan itu macam-macam : malas duduk di high chair, lagi asyik main disuruh makan, masih kenyang dan lain-lain. Terakhir, dia nggak mau makan, terus saya taruh makanannya di atas kertas coklat pembungkus makanan ala warteg. Eh, mau. Lahap. Apasih? :))

Gegara GTM saya belajar kalau anak ngasih respons tidak sesuai yang kita harapkan, kayak misalnya pas kita mau main dengan dia, dia lebih memilih bapaknya tau neneknya, itu bukan karena dia nggak menyukai kita/apa yang kita lakukan, ya memang lagi nggak mau saja. Nggak usah ngerasa tertolak gitu. :))

5. (Nyontek) Mamagram tidak menjamin Kita sukses jadi orangtua.
Walaupun saya nggak gagap-gagap amat soal perdapuran --- yaaa, waktu (((masih gadis))), seminggu sekali lah saya masuk dapur untuk nyoba resep bareng adik saya --- tapi kudu masuk dapur setiap pagi, lama-lama mati gaya juga, bingung mau masak apa.

Maka sebagai ibu-ibu pengguna Instagram, saya pun mencari inspirasi dari resep-resep MPASI yang sering di-posting mamagram. Di caption sering ditulis klaim, kalau anaknya doyan. Dan sebagai ibu-ibu normal, saya sering kagum plus iri, orang ini kreatif amat. Anak pasti senang punya nyokap yang jago masak kayak gitu.

Ya saya masaklah, segala pasta, cawan mushi anu-anu. Masakan saya jadi variatif sih, bukan sop lagi, soto lagi. Tapiiii....begitu disuguhkan pada anak saya... dilepeh. Dia maunya makan.... Nasi abon. Eaak. Resep canggih dan variatif, nggak jamin bikin anak mau makan ya?

Untunglah saya baru sekedar nyoba resep doang, bukan tipe yang mudah beli segala apa yang dipakai oleh mamagram, karena pemikiran saya, pakai himalayan pink salt juga nggak menjamin dese lebih sehat, lebih bagus selera makannya  dibandingkan dengan pakai garem merk Dolphin. Kalau nggak,  stressnya jadi dobel, stress gegara GTM, stress pula gegara udah mahal-mahal beli, anak tetap GTM. BHAHAK.

Ini berlaku juga untuk hal lain, mengkonsumsi Mollers' Tran itu nggak wajib kok, pakai i-angel buat ngegendong nggak mesti juga, pakai Beaba baby cook untuk memasak MPASI, memang harus? Nggak pakai Upang untuk sterilisasi alat minum dan makan anak kita, nggak apa-apa.Nggak pakai semua benda tersebut nggak bikin kita jadi ibu yang buruk.

Owyeah, saya tahu segala brand ini dari hasil ngepoin akun-akun mamagram.

Gitu deh, 5 hal yang saya pelajari dari GTM. Semoga kita semua bisa tetap waras menjadi orangtua!

Silakan baca juga runtuhnya idealisme Puty gara-gara GTM di sini, ya?

Semangat!