Laman

Selasa, Januari 16, 2018

#Modyarhood : Belajar Menjadi Ibu Yang Waras dari GTM


“You can learn many things from children. How much patience you have, for instance.” ― Franklin P. Adams


...pakai himalayan pink salt juga nggak menjamin dese lebih sehat, lebih bagus selera makannya dibandingkan dengan pakai garem merk Dolphin
Idih, belum juga sempat posting yang lain, sudah waktunya posting Modyarhood lagi. :))

Anyway, sebelumnya, Modyarhood adalah project nge-blog per bulan bareng saya dan Puty. Tulisannya bertema tertentu, hasil kesepakatan kami. Kami mengajak teman-teman yang mau, untuk ikut posting dengan tema yang sama di blog masing-masing.

Kali ini temanya GTM (Gerakan Tutup Mulut). Alias anak menolak makan.

Mungkin --- kecuali Andien --- nggak ada ibu yang nggak pusing dan nggak pernah ngalamin anak yang GTM. :))

Selama 20 bulan jadi ibu, mungkin sudah tiga kalian kurang lebih anak saya GTM. Kalau awal-awal sih, saya jengkel, sedih, khawatir bahkan sampai frustasi menghadapinya.

Kalau sekarang? Bete tentu saja masih, tapi saya sudah bisa menarik pelajaran dari periode GTM ini.

Buat saya, GTM itu adalah salah satu mata pelajaran dengan learning outcomes : menjadi ibu yang lebih baik waras. Saya mendapatkan beberapa pelajaran, yang kayaknya bisa diaplikasikan untuk keseluruhan proses menjadi orangtua.

Apa saja?

1.  Nggak ada kondisi (anak) yang permanen.
Tsah, ini Zen banget deh! Tapi ya itu, anak-anak nggak bisa ketebak.

Anak saya ( dan mungkin anak-anak lain juga) random kalau soal makan; kadang gampang banget, kadang gampang aja, kadang susah banget, kadang susah aja.

Perubahannya pun bisa cepat, siangnya makan begitu lahap sampai dipuji-puji neneknya dan dibanding-bandingkan dengan anak orang lain, sampai saya GR dan bangga-bangga belagu, eh, sorenya... jreng, mingkem. Sampai seminggu. Bageus.

Jadi buat ABG cowok galau yang ngeluh-ngeluh cewek susah ditebak, coba punya anak deh! Sedap!

Karena memang nggak ketebak, jadinya ya gak perlu berasumsi macam-macam, supaya bisa rileks ketika memulai hari. Nggak senewen duluan dan mikir 'Waduh, pasti ntar gue kesel deh, anak gue nggak mau makan...', lalu mood jadi nggak karu-karuan sepanjang hari.

Gara-gara GTM saya belajar untuk....(1) Nggak belagu kalau kondisi anak sangat sesuai harapan, nggak juga putus asa kalau lagi nggak sesuai. (2) Nggak bikin skenario di awal dan pasrah. Yang terjadi, ya terjadilah.

BTW, ini baru-baru saya terapkan kok! Sebelumnya? Ketika kemarinnya anak saya tantrum hebat dan susah dikendalikan, hari berikutnya saya degdegan cenderung panik bahkan sampai nggak mau ditinggal karena takut tantrum ya berulang. Padahal kan belum tentu juga ya?


2. Ngasih makan dilarang sedang lapar atau capek.
Sebelum memberi makan anak, biasanya saya makan dulu, atau minimal makan bareng. Karena kondisi lapar itu berbahaya. Saya jadi sumbu pendek, gampang marah pakai banget. Kalau saya baru pulang kerja, pun, saya pun sering menolak memberinya makan. Capek bok. Saya serahkan pada bapaknya.

Kalau saya maksain diri untuk menemani atau menyuapi anak saat sedang lapar/capek dan pas dia lagi GTM, hasilnya, kalau dalam bahasa Jerman sih moal baleg, lah! Saya marah, antara saya bentak dia, saya paksa masukan makanan ke mulutnya, atau makanannya saya buang dengan demonstratif.

Apa efeknya? Ya jelas nggak bagus. Anak saya ketakutan, lalu semakin nggak mau makan. Saya makin emosi dan seterusnya seterusnya. Lingkaran setan. Ada tuh masa di mana pada akhirnya, nggak mau makan bareng saya lagi. Kan sedih ya?

Hal ini pun berlaku untuk segala hal. Saat anak trantrum, saat anak menolak mandi, saat anak nggak mau dengar, saat anak nggak mau dicebokin pas pup.

Gara-gara GTM saya belajar, kalau lagi bete atau lelah, tinggalin anak. Kasih ke bapaknya. Daripada terjadi huru-hara, ye kan?

3. Perfeksionis, idealis dan kaku adalah sumber ketidakwarasan.
Saya kaku, kayak Kanebo kering. Juga idealis dan perfeksionis.Ini bikin saya sering senewen. Nah, orang senewenan kayak begini, jadi emak-emak? Kelar! Saya sering stress jadinya.

Tadinya saya kaku menerapkan yang ideal-ideal dalam pola parenting saya. Wajib duduk di highchair, makan menu 4*, tidak makan makanan awetan/frozen food dan lain-lain. Ekspektasinya ya, anak saya nurut dan mendapatkan segala yang (menurut saya) terbaik.

Tapi realitanya?

Ke laut ajah!

Ia menolak duduk di high chair. Awal-awal saya memaksanya stay di sana dengan alasan mendisiplinkan. Jadinya apa? Dia ngamuk, saya jengkel.

Ia melempar semangkuk-mangkuknya menu 4* yang saya buat. Dipaksa makan jadinya berantem, saya kesal.

Saya membuat segala nugget, bakso, santan aja memeras sendiri lhooo! Lalu sudah susah-susah bikin begitu ia lempar-lempar makanannya. Saya murka.

Bubarlah itu acara makan, Mak!

Ini nggak sehat.

Akhirnya demi kewarasan bersama, saya mengalah. Kalau lagi mau, yawis, di high chair, kalau enggak, ya sudahlah. Namun sering saya ingatkan agar ia tidak berlari-larian saat mulut penuh makanan. Kalau cuma mau nasi abon, ya sudah silakan, kalau mau buah doang monggo. Dan saya juga mulai memberinya frozen food, kayak kentang goreng dan lain-lain.

Dengan GTM saya belajar, kalau jadi mamak-mamak itu, nggak usah kaku, perfeksionis dan idealis lah! Metode rock 'n roll pun jadi, demi kewarasan bersama

4. Nggak Usah Baper.
Sebagai perempuan pecinta tidur, bangun pagi itu membutuhkan effort besar. Apalagi sehabis bangun pagi, saat arwah belum kembali sepenuhnya, kudu haraus mikirin menu makan dan masak pula. Yaelah. Saya menganggap ini adalah pengorbanan besar; dan jeleknya, saya mengharapkan imbalan, yakni anak saya harus mau makan.

Saat dia menolak yang saya suguhkan, saya baper dong. Kesel ih, sudah susah-susah dimasakin nggak dimakan. Lalu saya berpikir 'Wah makanan saya nggak enak, saya nggak jago masak', atau 'Mungkin dia bosan masakan saya, saya nggak kreatif...' lalu merasa tertolak dan patah hati. Apasihh.. :)))

Padahal belum tentu juga, karena ternyata penyebab anak saya nggak mau makan itu macam-macam : malas duduk di high chair, lagi asyik main disuruh makan, masih kenyang dan lain-lain. Terakhir, dia nggak mau makan, terus saya taruh makanannya di atas kertas coklat pembungkus makanan ala warteg. Eh, mau. Lahap. Apasih? :))

Gegara GTM saya belajar kalau anak ngasih respons tidak sesuai yang kita harapkan, kayak misalnya pas kita mau main dengan dia, dia lebih memilih bapaknya tau neneknya, itu bukan karena dia nggak menyukai kita/apa yang kita lakukan, ya memang lagi nggak mau saja. Nggak usah ngerasa tertolak gitu. :))

5. (Nyontek) Mamagram tidak menjamin Kita sukses jadi orangtua.
Walaupun saya nggak gagap-gagap amat soal perdapuran --- yaaa, waktu (((masih gadis))), seminggu sekali lah saya masuk dapur untuk nyoba resep bareng adik saya --- tapi kudu masuk dapur setiap pagi, lama-lama mati gaya juga, bingung mau masak apa.

Maka sebagai ibu-ibu pengguna Instagram, saya pun mencari inspirasi dari resep-resep MPASI yang sering di-posting mamagram. Di caption sering ditulis klaim, kalau anaknya doyan. Dan sebagai ibu-ibu normal, saya sering kagum plus iri, orang ini kreatif amat. Anak pasti senang punya nyokap yang jago masak kayak gitu.

Ya saya masaklah, segala pasta, cawan mushi anu-anu. Masakan saya jadi variatif sih, bukan sop lagi, soto lagi. Tapiiii....begitu disuguhkan pada anak saya... dilepeh. Dia maunya makan.... Nasi abon. Eaak. Resep canggih dan variatif, nggak jamin bikin anak mau makan ya?

Untunglah saya baru sekedar nyoba resep doang, bukan tipe yang mudah beli segala apa yang dipakai oleh mamagram, karena pemikiran saya, pakai himalayan pink salt juga nggak menjamin dese lebih sehat, lebih bagus selera makannya  dibandingkan dengan pakai garem merk Dolphin. Kalau nggak,  stressnya jadi dobel, stress gegara GTM, stress pula gegara udah mahal-mahal beli, anak tetap GTM. BHAHAK.

Ini berlaku juga untuk hal lain, mengkonsumsi Mollers' Tran itu nggak wajib kok, pakai i-angel buat ngegendong nggak mesti juga, pakai Beaba baby cook untuk memasak MPASI, memang harus? Nggak pakai Upang untuk sterilisasi alat minum dan makan anak kita, nggak apa-apa.Nggak pakai semua benda tersebut nggak bikin kita jadi ibu yang buruk.

Owyeah, saya tahu segala brand ini dari hasil ngepoin akun-akun mamagram.

Gitu deh, 5 hal yang saya pelajari dari GTM. Semoga kita semua bisa tetap waras menjadi orangtua!

Silakan baca juga runtuhnya idealisme Puty gara-gara GTM di sini, ya?

Semangat!

4 komentar:

Sandra Hamidah mengatakan...

Hi mamalilo, saya juga lagi.mpasi emang keren ibu kawa kalo gtm kayaknya gakan di share juga kali ya lebih baik share yg bgus2 aja hmmm semoga anak kita juga sehat terus ya tfs

destinugrainy mengatakan...

Nasi abon sih masih lumayan ada proteinnya, mbak. Anakku maunya makan nasi pake kerupuk saja. Kadang pake kuah sop, itu pun kalo anaknya lagi khilaf nggak protes.

mamamolilo mengatakan...

@Sandra Hamidah : haha, amin! Semoga anak kita sehat!

@Pauline : kerupuk udang protein juga. Kuah sop ada proteinnya! Haha, anggap aja demikian biar gak senewen. :)))

Unknown mengatakan...

Suka banget sama tulisan bunda yang satu ini,kebetulan sy lg diposisi ini anak sy usia 2th GTM kondisinya emang lagi kurang sehat tapi kalo minum air dingin dan makan kerupuk miskin(maap nama kerupuknya engga bermaksud menyinggung siapapun karna org2 bilangnya begitu sy pun ikut2an) 😅 yang warna warni itu doyan bgt sm ngemil2 entah buah biskuit atau roti .setelah membaca beberapa artikel sy agak plong ternyata banyak yang mengalami hal serupa. Kudu nyetok sabar emang jadi mamake mamake 😥