Laman

Kamis, November 02, 2017

8 Komentar 'Lucu' Tentang C-Section (Yang Bisa Diabaikan)

Every mom has a mission. To love, guide and protect her family.Don't mess with her when she's on it. - Vicky Reece.
....selama hamil berminggu-minggu, sebenarnya otot-otot dasar panggul kita sudah teregang.Jadi, ubi-ubi yang melahirkan pervaginam, mau pun SC, sama-sama kendor!
Jauh sebelum punya anak, saya pernah kongkow dengan beberapa teman. Mereka semua sudah punya anak, dan kebetulan semuanya melahirkan dengan cara C-section. Saya masih ingat betul, salah satu topik yang terbahas adalah bagaimana mereka kerap mendapatkan komentar yang bikin panas telinga gegara cara melahirkan mereka yang tidak pervaginam. Waktu itu saya hanya menjadi pendengar yang budiman; namun saya mendapatkan satu kesimpulan : hati-hati dengan mamak-mamak, karena mulutnya kayak lotek karet dua, pedeus.

BACA JUGA :  TENTANG MOMPETITION (DAN 5 CARA SAYA MENGHINDARINYA). FEAT KARYA TISYA HANAFIE

Mungkin gara-gara itu pula, ketika bertahun-tahun kemudian saya hamil, dan karena kondisi medis harus melahirkan C-section, maka sikap saya menjadi super defensif. Jawaban-jawaban yang saya berikan kalau berkaitan soal cara melahirkan sangat antisipatif semi ketus, yang tentoenja berpusat dari suudzon. Dalam pikiran saya selalu bercokol kecurigaan 'Ni orang nanya cara lahiran kenapa nih? Mau apa?'

Setiap menjawab pertanyaan, saya selalu menambahkan kata 'Emang kenapa gitu?' di ujungnya.

'Eh, kamu ngelahirinnya normal apa Cesar?'
'Cesar. Emang kenapa gitu?'

Kombinasi antara muka resting bitch dan jawaban berbuntut 'Emang kenapa gitu?' kayaknya bikin males orang yang nanya deh, soalnya pasti respons mereka 'Ah nggak apa-apa. Nanya doang, koook...' :)))

Makanya, saya nggak pernah mengalami dikomentari sampai panas kuping seperti kawan-kawan saya. Tapi kemudian, saya jadi berpikir, jangan-jangan selama ini saya terlalu GR dan defensif?
Jangan-jangan orang-orang sebenarnya nggak sejahat itu dengan yang lahirannya C-section? Teman-teman saya saya yang apes, lingkungannya reseh.

Akhirnya, secara iseng, di Instastory, saya menanyakan para ibu C-Section, apakah pernah mendapat komentar nggak enak gara-gara C-Section? Kalau pernah, kayak apa komentarnya?

Daaaaaaan......

Ada sekitar 100-an DM masuk selama 24 jam. Semuanya bilang pernah sakit hati menerima komentar tentang C-Section yang didapat dari orang-orang sekitar.

Nah, kayak apa komentar-komentarnya? Macam-macam sih, tapi sudah saya kelompok-kelompokkan. Dan kata saya sih, semuanya bisa diabaikan, karena kebanyakan sih mitos/asumsi akibat kurang informasi doang.

1. Ibu yang menjalani kelahiran dengan C-Section adalah ibu yang 'malas'/mau gampangnya/mau cepat.

Komentar ini bisa langsung diabaikan kok. Kebanyakan para ibu C-Section yang 'curhat' via DM menyatakan bahwa sebenarnya mereka sangat ingin melahirkan pervaginam, namun, apa daya kondisi medis mengharuskan mereka menjalani C-Section; untuk menyelamatkan nyawa baik ibu mau pun anaknya.



Ini ada beberapa curhat yang saya kutip ya:

Saya awalnya mau lahir normal, tapi ketuban pecah dini, jadi saya diinduksi. 13 jam udah guling-guling kesakitan, cervix-nya tetap nggak mau buka, cuma stuck di pembukaan 3. Kaki tangan sudah dingin semua, kata orang-orang saya diajak ngomong sudah nggak nyambung.
.....

Secara fisik sih, tubuhku nggak ada masalah melahirkan pervaginam, tapi baru di bukaan 2 hasil CTG menunjukkan denyut jantung janin drop jauh setiap kontraksi, jadi aku harus legowo untuk melakukan SC daripada menunggu bukaan lengkap karena kondisi gawat janin.
.....

Usia kandungan 40w, tapi mules belum datang. Waktu lagi kontrol mingguan, pas dicek, tensi 150/100 dan protein urin ++. Akhirnya harus segera dikasih tindakan. Sempat diinduksi, pake obat yang dimasukin vagina, tapi nggak mempan. Lalu lewat infus, ada bukaan tapi stuck di pembukaan 7. Sayanya pun udah nggak kuat banget. Diputuskanlah SC.
.....

Sudah bukaan 10, bukaan sempurna, tapi si bayi nggak ada dorongan, detak jantung melemah, ketuban sudah hijau. Dokter bilang masih bisa nunggu 4 jam, tapi mama mertua sudah nangis dan mohon SC saja, takut si bayi nelen ketuban yang kotor.
Kalau lihat kasus-kasus di atas, gugurlah semua itu asumsi kalau SC dilakukan karena mau gampangnya, atau mau cepat. Ye kan?

2. Ibu yang melahirkan secara SC enak, nggak pakai sakit, tau-tau bayi sudah keluar.

Yha! Memang saat dioperasi ibu berada dalam pengaruh obat bius, sehingga tidak merasakan sakit. Namun, ketika efek obat biusnya habis, beberapa jam kemudian...

BOK! SAKITNYAAAAAAAAAA! Dapet salam itu dari obat anti sakit yang dimasukin via dubur. :)))

Itu kata saya sih. Tapi saya nggak sendiri. Beberapa teman-teman se-geng (alah!) bilang, bahkan untuk memutar tubuh di tempat tidur, beberapa jam setelah operasi, demi kepentingan menyusui, rasanya sakit mampus. Rasa sakit itu bertahan sampai setidaknya dua minggu; bersin dan batuk sampai jadi momok, soalnya setiap hentakan yang terjadi pada perut serasa bisa bikin seluruh jahitan lepas.

BTW, kalau ini saya sih, kadang bekas operasinya masih terasa linu, terutama kalau anak saya yang lagi hobby main smack down menimpa saya. -___-

Anggapan nggak sakit? Abaikan juga.


3. Kalau SC, vagina bakal terus rapet, kehidupan seks tidak bakal terganggu.

EAAAK! :)))

Saya pernah mengobrol dengan obgyn saya, sewaktu saya check up. Gara-garanya dia gemas dengan anggapan seperti ini. Katanya, memang dalam persalinan pervaginam, dinding vagina dan otot serviks mengembang dan berkonstraksi berkali-kali sehingga ototnya menjadi kendur, apa lagi setelah dilewati bayi. Tapi, kondisinya akan kembali setelah enam mingguan.

Lalu, be-nar-kah vagina seorang perempuan yang melahirkan dengan cara SC bakal tetap rapat? Well, dari luar memang bentuknya ya masih tetap sama seperti sebelum melahirkan. Tapi, di dalamnya, ya kendor juga. Kenapa? Karena selama hamil berminggu-minggu, sebenarnya otot-otot dasar panggul kita sudah teregang.

Jadi, ubi-ubi yang melahirkan pervaginam, mau pun SC, sama-sama kendor. :)))

Anyway, kehidupan seksual setelah melahirkan secara SC gimana? Kalau saya, di bulan-bulan awal saya punya anak, seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan seksual, jelas berubah, tapi nggak ada hubungannya dengan ((( kekendoran ))) apa pun, kok! Dimulai dari baby blues, kelelahan luar biasa, ngantuk, shocked karena perubahan pola hidup sampai printilan endeswey endeskoy bikin saya kehilangan selera sama sekali! HAHA. Untung nggak permanen. Saya rasa, yang melahirkan pervaginam-pun sama aja, kan?

Jadi, anggapan kalau SC vagina rapet? Abaikan?

Kalau kondisi kendor? Kegel-in ajah! Eaak.

BACA JUGA : APA YANG TIDAK PERNAH ORANG CERITAKAN TENTANG PUNYA ANAK

4. Belum jadi perempuan sempurna kalau belum melahirkan pervaginam.

Apa sih perempuan 'sempurna' itu? Sempurna adalah utuh, lengkap, nggak ada yang kurang. Kata saya sih, seorang perempuan itu ya selama secara fisik memiliki tubuh perempuan dan/atau secara mental merasa sebagai perempuan ya sudah, perempuanlah dia. Mau dia tidak melahirkan, melahirkan secara SC, pervaginam, bahkan --- ini kalau saya sih --- ketika secara fisik ia bukan perempuan, tapi merasa perempuan, dia perempuan. Alah, boros kata perempuan.

Pokoknya,  abaikan soal anggapan perempuan sempurna ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan ketidaksempurnaan itu milik Bunda Dorce. #eh.

BTW, Bunda Dorce apa kabar sih?

5. Bukan ibu sejati kalau melahirkan secara C-Section.

Banyak juga ibu-ibu C-Section yang bilang komentar yang sering mereka dapatkan adalah anggapan kalau ibu yang melakukan C-Section bukanlah ibu sejati. Bahkan di salah satu curhat yang saya terima via DM, ada yang bilang kalau orang terdekatnya ngomong bahwa anak yang dilahirkan secara SC disebut anak angkat, kan diangkat dari perut. Ini aslik, saya ngakak sekaligus ngerasa miris.

Sejujurnya, saya rada bingung sih, predikat 'ibu sejati' itu seharusnya dilekatkan oleh ibu yang seperti apa? Kata sejati ini artinya adalah 'sebenarnya'. Jadi, ibu yang sebenarnya itu yang kayak apa?

Saya jadi ingat cerita seorang kawan, ketika usianya 17 tahun, akhirnya ia tahu kalau sebenarnya ia anak angkat. Ibunya mengizinkan ia untuk bertemu dengan ibu kandungnya di sebuah kota. Ia menurut. Namun, pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke ibu angkatnya.

'Gue ngerasa ibu gue yang sebenarnya itu ya ibu angkat gue. Biar pun ibu kandung gue yang ngelahirin gue, tapi karena dia nggak pernah ngasuh gue, ya gue ngerasa asing..." Itu katanya.

Pada akhirnya, cara melahirkan menjadi tidak penting, kan? So, abaikan.

6. Kalau SC, ikatan dengan anak bakal kurang.

Ini sama dengan poin sebelumnya. Menurut saya sih, ikatan dengan siapa pun sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas interaksi kita dengan orang tersebut. Dengan anak pun demikian.

Mana yang bonding-nya bakal lebih kuat : ibu yang melahirkan pervaginam, tapi pengasuhan diberikan pada orang lain sepenuhnya   atau dengan  ibu yang melahirkan secara SC, tapi pengasuhan full di tangannya.

Jadi, kalau SC bonding bakal kurang itu hoax.
7. Kalau melakukan SC, berarti belum berjuang hidup mati

Jadi, SC itu termasuk major surgery di area perut dan pelvis. Semua operasi ada risikonya, juga untuk SC. Kemungkinan ibu (atau bayi) meninggal pun ada. Kemungkinan komplikasi yang membahayakan kehidupan selalu ada. Saya masih ingat betul, mertua saya yang beberapa bulan setelah saya melahirkan harus menjalani operasi angkat payudara karena kanker, saat beliau ketakutan, dokternya malah bilang 'Operasinya lebih major SC kok, ibu tenang aja...'

Sutralah. Abaikan saja anggapan belum berjuang. Kita sudah  masuk ke ruang operasi sendiri, perut di-dhedhel dhuwel, (kalau saya) pendarahan sampai butuh transfusi berlabu-labu dan seterusnya. Kita sudah berjuang.
8. Kalau SC, ASI eksklusif pasti gagal
Hey! Ini mah langsung bisa diabaikan. Saya melewati masa ASI eksklusif dengan sakseis. Bahkan sampai sekarang pun saya masih menyusui. Suster yang menangani saya sebelum masuk ruang operasi menyatakan bahwa Inisiasi Menyusui Dini kemungkinan besar tidak bisa dilakukan, karena ruang operasi sangatlah dingin (dan emang dingin buanget!). Saya waktu itu pasrah. Tapi saya ingat betul, beberapa jam setelah keluar dari ruang operasi, bayi saya dibawa ke kamar untuk disusui. Masih dalam kondisi kleyengan  karena pengaruh anestesi, dan perut super sakit, saya memiringkan badan sambil nangis-nangis. Setelah itu, ia sekamar terus dan saya susui terus. Tidak ada masalah dengan (keluarnya) ASI saya. :)

Jadi abaikan jugalah yang ini.


Anyway, dari sekian banyak DM yang masuk, ada satu pendapat yang beda sendiri. Ibu tersebut bilang bahwa ia melahirkan pervaginam, dan justru diledek 'Ih, vaginanya udah nggak rapet'.

HALAH!

Saya jadi ingat quotes dari status kawan saya di Facebook, begini bunyinya :

CARA PEREMPUAN; perempuan itu saling mendukung, perempuan itu saling menguatkan, perempuan itu saling berbagi. Berada dalam konstruksi yang menjadikannya selalu nomor dua, membuat perempuan mempelajari cara-cara itu untuk bangkit dan berkarya. Cara perempuan itu bersama-sama, cara perempuan itu merangkul, sehingga kemenangan perempuan itu adalah kemenangan kolektif. - Fitri Indra Harjanti

Seharusnya perempuan itu saling mendukung. Kalau pun tidak bisa, minimal tidak saling menyakiti kan? Balik lagi ke soal SC vs melahirkan pervaginam, lagi pula, ini yang harus dipikirkan, apa hak kita mengkritik/mencela cara orang lain melahirkan? Lalu, apa pengaruhnya pada kita ketika seseorang melahirkan dengan cara SC atau pervaginam?

Nggak ada kan? :)

Tidak ada komentar: