Laman

Jumat, April 03, 2015

[Keseharian] Misteri Tukang Parkir Siluman

Ada hak, ada kewajiban. Sialnya, kadang hak minta dijunjung tinggi tanpa melihat bagaimana kewajiban dijalankan. – Thomas Arie
….Sebagai orang yang bekerja di kantoran, seberapa sering kita menuntut kenaikan gaji/jabatan, atau meminta fasilitas tertentu, tanpa berpikir sudahkah kita melakukan kewajiban-kewajiban yang dijabarkan dalam job description di kantor tersebut?
Wogh! Judulnya kayak judul pelem horor.
Anyway, sebagai orang yang membawa mobil pribadi
dan memiliki kontribusi nyata dalam menambah kemacetan jalan raya (HA!), tentu saja saya dipaksa untuk ikrib dengan petugas parkir, baik itu tukang parkir legal yang dimiliki oleh mall mau pun perkantoran, sampai tukang parkir abal-abal. Keberadaan tukang parkir ini sangat membantu dalam urusan perparkiran. Well, bukan berarti saya nggak bisa parkir sendiri ya? Masa sih, 20 tahun nyetir, nggak bisa parkir? Yang bener aje.

Peran tukang parkir berasa banget di saat parkiran penuh, dialah yang berjasa dalam mencarikan space kosong di antara sekian banyak kendaraan. Oh plus, membantu juga pas keluar parkiran, terutama kalau di pinggir jalan saat banyak kendaraan yang sama sekali nggak mau berhenti sedikit pun; iya, tukang parkir bakal menghentikan mobil-mobil tersebut.

Namun, nampaknya nggak semua tukang parkir mampu/mau mengerjakan tugasnya dengan baik; saya sebal terutama pada tukang parkir yang pas kita setengah mati mencari space parkir nggak ada, pas kita ribet mundur sedikit-sedikit di jalan raya padat (dengan bonus diklaksonin), nggak ada. Tapi begitu saya memindahkan persneling ke gigi satu dan bersiap maju… tiba-tiba, tadaaa… dia muncul, menengadahkan tangan meminta uang parkir tepat di samping jendela supir. Eh, Pak, lama nggak ketemu, apa kabar? Kemana aja dari tadi? Pfft.

Saya menyebutnya sebagai tukang parkir siluman.



Di zaman muda dulu (tsah), sudah pasti saya akan mengomeli tukang parkir macam itu, bahkan pernah satu kali dengan cueknya saya menolak bayar lalu pergi. Iya, saya tahu, bahwa uang parkir tersebut bukan untuk membayar jasa sang tukang parkir, tapi untuk membayar biaya retribusi, tapi kala itu sih, saya melihat bahwa itu tukang parkir liar, uangnya pasti masuk ke kantung sendiri. Apa yang terjadi setelah saya cabut? Dikejar dong dengan motor (niat ya dia!) lalu mobil saya digedor-gedor. Dasar masih muda ya, demennya berkonflik, saya tetap ngotot beradu argumen dengan sang tukang parkir siluman. Untung nggak digaplok. Kalau sekarang sih, saya cenderung menghindari konflik, serem bok, orang-orang di jalan raya hari gini emosionalnya parah, sampai tidak ragu untuk melukai orang. Demi keselamatan diri sendiri, ya saya kasih juga duit ke tukang parkir siluman tersebut, tapi sambil ngomel nggak rela ngasih *teteub*

Ada jenis tukang parkir favorit, sudah tentu kebalikannya dari tukang parkir siluman. Ini saya temui salah satunya di Setrasari Mall. Kalau ia melihat ada mobil menyalakan lampu sen dan menunjukkan tanda-tanda akan menepi lalu parkir, maka dengan antusias ia melambaikan tangan sembari mencarikan ruang kosong buat mobil tersebut, kemudian ia akan membantu memberi aba-aba agar mobil bisa terparkir dengan benar. Dari yang saya perhatikan, semangatnya ‘membantu’ orang parkir itu konsisten, dari pagi sampai malam. Hari cerah begitu juga, hari hujan, walau tertutup jas hujan, sama semangatnya. Nggak pernah lepas senyum pula, dan selalu menyapa ketika pemilik kendaraan turun.

Nah, ada satu point plus yang saya lihat dari tukang parkir di Setrasari Mall ini. Waktu itu hujan, setelah saya parkir dengan beres, saya nggak langsung turun, karena sibuk mengambil payung yang saya letakkan di kursi belakang. Eh, tahu-tahu kaca saya digedor, tampak muka setengah baya beliau nyengir, di tangannya telah tersedia payung. Aih. Lalu ketika pulang, tangan saya penuh dengan belanjaan, eh dibawain dong, sambil dipayungi. Itu langsung dong, saya dengan sukarela memberi jauh di atas jumlah normal jika parkir. Serius.

Nggak, nggak berarti seharusnya semua tukang parkir harus berperan ganda sebagai ojek payung dan pembawa barang, nggak. Tapi dengan dia bertanggung jawab melaksanakan apa yang harus dia laksanakan saja cukup. Yang lain-lain mah bonus saja. 

Aaaanyway, dua tipe tukang parkir ini membuat saya berpikir tentang hak dan kewajiban. Saya teringat Thomas Arie, yang kalimatnya saya kutip di atas. Iya, kebanyakan orang menuntut hak sebelum memastikan bahwa segala kewajiban telah dilaksanakan. Ini mungkin termasuk saya juga. Iya, kita semua mungkin bersikap seperti tukang parkir siluman, menuntut agar duit parkir dibayar, tapi lupa bahwa ia belum melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai tukang parkir.
Sebagai anak kecil – remaja, seberapa sering kita menuntut orangtua untuk memberikan kebebasan, mengizinkan apa pun yang kita mau tanpa memikirkan sudah atau belum kita melakukan kewajiban sebagai anak, misal sekolah yang benar sampai lulus, atau minimal melakukan hal-hal yang membuat mereka bangga?

Sebagai murid atau mahasiswa, seberapa sering kita menuntut dosen atau pihak universitas memberi pemakluman pada tugas yang belum terkumpul, atau nilai jelek, atau jumlah absen kurang, tanpa memikirkan posisi guru/dosen yang terikat aturan-aturan atau deadline mengumpulkan nilai?
Sebagai pasangan, seberapa sering kita minta dimengerti oleh pasangan, tanpa memikirkan apakah kita juga sudah berusaha mengerti pasangan?

Sebagai orang yang bekerja di kantoran, seberapa sering kita menuntut kenaikan gaji/jabatan, atau meminta fasilitas tertentu, tanpa berpikir sudahkah kita melakukan kewajiban-kewajiban yang dijabarkan dalam job description di kantor tersebut?

Dan untuk semua peran lain kita dalam masyarakat, seberapa sering kita menuntut hak sebelum melakukan kewajiban?

Karena kehidupan itu perkara menyeimbangkan apa yang diterima dan apa yang diberi. Adalah tidak adil dan egois ketika kita terus menerus menuntut agar menerima banyak, di luar sana akan ada orang-orang yang dirugikan serta direpotkan oleh perbuatan kita.

Gitu deh. 

Tidak ada komentar: