Laman

Selasa, Oktober 27, 2015

Superwomen, Awas (di)Poligami!

sumber
Housework is work directly opposed to the possibility of human self-actualization. Ann Oakley

...Pokoknya begitu menikah, menjadi superwoman-lah, kita! Kalau enggak? Kita dapat cap 'Perempuan lupa kodrat', 'ibu nggak bener'..
Beberapa saat yang lalu, ketika iseng menjelajah Facebook, saya menemukan sebuah foto yang menggambarkan seorang pria yang sedang menggendong bayi. Buat saya, foto itu biasa saja sih; tapi yang menarik perhatian saya adalah caption  : 'Mas, di Islam boleh lho poligami!'

Awalnya saya cuma mengerutkan kening dan bertanya-tanya dalam hati, apa coba hubungan antara mengasuh anak dan poligami? Asli saya blank. Sampai pada akhirnya seorang kawan perempuan kemudian bilang, kurang lebih kalau dilengkapi kalimatnya akan menjadi : Istrinya mana sih, mas? Kok sibuk bener ngurus anak? Di Islam, boleh lho poligami!'

Ohhh. Sontak saya manggut-manggut karena baru paham. Ke sana tokh, maksudnya.

Tapi kemudian saya malah jadi semakin mengerutkan kening.

"Memang kenapa sih kalau misalnya suami ngegendong anak?" tanya saya.

"Ya itu kan tugasnya istri." jawab kawan saya itu,"... masa suami udah capek kerja di luar rumah, masih disuruh juga capek-capek ngurusin anak?"


"Lah, gimana kalau si istrinya capek karena dia juga punya kerjaan di luar rumah?" lanjut saya. Sambil mengatakan hal ini, saya kemudian berpikir lebih lanjut, kalau pun sang istri nggak bekerja di luar rumah, memang dia nggak bisa capek juga, ngurusin rumah dari pagi sampai malam? Ya masa salah kalau suami membantu?

Pada akhirnya kawan saya menjawab dengan keyword 'kodrat' : bahwa kodrat perempuan itu sebenarnya untuk mengurus keluarga, karena ada isu emansipasi, maka perempuan sekarang ikut bekerja di luar ranah domestik; jadi memiliki peran ganda itu ya 'risiko emansipasi'.

BTW, saya agak geli pada istilah emansipasi yang sering disebut orang kalau pemaknaannya sebatas 'perempuan kerja'.  Plus memangnya iya, 'bekerja' itu selalu akibat dari emansipasi? Bisa aja karena kepepet urusan ekonomi, kan ya? Ada perempuan yang bekerja  karena pilihan, demi aktualisasi diri, tapi ada juga yang karena butuh. Ya nggak?

Oke. Sampai mana tadi?

Kawan perempuan saya ini menutupnya perbincangan kami dengan 'Nggak apa-apalah, kita, perempuan itu memang ditakdirkan untuk menjadi superwoman'.

Supermom. Superwoman.

Beberapa kali saya mendengar label seperti itu ditempelkan pada kaum perempuan menikah. Labelnya keren ya? Iya, pakai banget. (Seharusnya) Mendapatkan label seperti itu menjadi sebuah hal yang membanggakan. Jadi manusia 'super' gitu, lho!

Beberapa perempuan yang saya kenal sering secara sukarela mengklaim diri sebagai super-mom/superwoman.

Nah, saya pribadi, alih-alih bangga, kok malah jadi jiper ya? Kok kesannya, begitu seorang perempuan menikah, maka ia tidak lagi dianggap manusia biasa, yang bisa capek dan jenuh. Dipaksa untuk melakukan ini-itu terus melebihi batas kemampuan dirinya.

Sialnya, masyarakat seperti tidak membebaskan perempuan untuk memilih, mau menjadi superwoman, atau mau menjadi perempuan biasa-biasa saja. Pokoknya begitu menikah, menjadi superwomanlah, kita! Kalau enggak? Kita dapat cap 'Perempuan lupa kodrat', 'ibu nggak bener', bahkan, balik lagi deh ke caption foto yang saya temukan di Facebook; kalau perempuan lalai melakukan 'job desc'-nya sebagai superwoman, maka boleh dipoligami.

OH NO! Serius masih mau jadi Superwoman?

Oke, oke, saya yakin masih bakal banyak perempuan menikah yang bilang mau dan ikhlas. Setulus hati saya salut untuk itu. :)

Saya pribadi menolak untuk jadi superwoman. Saya mau jadi perempuan biasa-biasa saja, yang bisa capek, yang bisa nggak mood ngurusin printilan rumah tangga. Saya ingin urusan domestik tidak dilimpahkan sepenuhnya pada saya, tapi merupakan kerjasama dengan partner, ada pembagiannya sama rata, yang tidak memberatkan salah satu pihak . Lha iya, rumah tangga kan milik berdua, ya kerjain sama-sama dong ya? :)

Untungnya, lingkungan tempat saya berkembang dan hidup sampai sekarang mengizinkan saya untuk jadi perempuan biasa-biasa saja. Saya terbiasa melihat pembagian kerja rumah tangga antara ayah dan ibu saya. Jadi bukan hal yang aneh kalau setiap pagi saya melihat ayah saya mengepel dan di malam hari mencuci piring. Dan leganya, partner ternyata tidak menganggap saya superwoman yang selalu punya superpower setiap saat, setiap waktu; sehingga kami melakukan pembagian tugas. Pembagiannya juga nggak kaku sih, ada masanya saya mengerjakan semua kalau dia lelah, ada masanya dia mengerjakan semua kalau saya lelah. Ada masanya.... kami libur melakukan printilan rumah tangga kalau dua-duanya lelah atau malas. :))

Dan semua itu saya lakukan tanpa takut dipoligami. HA!


Tidak ada komentar: