Laman

Senin, Juni 25, 2018

Mencari Dokter Spesialis Anak Itu Lebih Ribet Dari Cari Jodoh.

In addition to having a good partnership with a good doctor, you have to do some of the work yourself. Go online, read about it, and find out what you can tolerate. - Teri Garr


....Nggak percaya diagnosis dokter itu nggak dosa, plus nggak nurut disuruh cek ini itu sama dokter bukan juga belagu dan sotoy.
“Mau pakai dokter anak siapa, Bu?” tanya seorang suster, ketika saya sedang dicek darah, dua jam sebelum sectio.

Saya bengong beberapa jenak.

“Dokter anak untuk menangani anak ibu, sesudah dilahirkan.” Suster menambahkan, mungkin karena melihat tampang saya begitu bloonnya.

Selama kehamilan, saya sih rajin ke obgyn, demi kesehatan kehamilan. Riset obgyn-nya begitu seksama, nyari yang paling bikin saya nyaman dan percaya. Seriuslah, nyarinya.

Tapi, entah kenapa kok nggak kepikir soal dokter anak ya? Bloon banget. Kan yang dilahirkan seorang anak, ya kudu ditangani dokter anak.Saat itu pula saya pengen ngeplak-ngeplakin kepala sendiri.
 
Suer saya nggak ngeh. Dan saya juga nggak banyak tanya ini dan itu ke orang-orang. Hedeuh.

“Ngng, ada siapa aja gitu?” tanya saya perlahan. Ya sudahlah, mari memilih dokter dengan menghitung kancing baju.

Suster menyebutkan beberapa nama.

Eeny, meeny, miny, moe,
Catch a tiger by the toe.
If he hollers, let him go,
Eeny, meeny, miny, moe.

Dan saya memilih satu nama. Oh so random. Sebut saja dokter S.

Dokter S yang nggak pro ASI dan tempat praktiknya yang nggak banget.
Selama proses melahirkan, saya nggak menemukan hal yang mengganjal dari dokter S ini. Yaeyalaah, di meja operasi manalah mikir yang nggak-nggak.

Saya baru merasa ada yang aneh, di pagi hari, beberapa jam setelah melahirkan, saat itu beliau hendak memberitahukan kondisi anak saya.

Lilo baik-baik saja katanya. Cuma saya menemukan kejanggalan saat beliau ‘menyarankan’ untuk memberikan sufor buat Lilo.

Wait.

Bukannya rumah sakit ini rumah sakit yang pro ASI ya? Kenapa dokter S, sebagai dokter anak di tempat ini malah menawarkan sufor?

“Ya karena kalau baru melahirkan biasanya ASI belum keluar, nanti bayinya dehidrasi…”

Aslik, saya ilfil.

Biar pun modalnya 'cuma' website parenting dan yang sejenis, saya tahu kalau bayi baru lahir masih memiliki cadangan makanan dalam tubuhnya yang berasal dari plasenta selama dalam rahim. Satu-satunya yang dibutuhkan olehnya adalah kolostrum, alias ASI awal yang berfungsi sebagai imunisasi pertama.

Kolostrum mulai diproduksi pada trimester kedua kehamilan, dan terus diproduksi sampai kelahiran. Untuk beberapa ibu, kolostrum telah keluar di trimester 3, tapi kalau ada ibu-ibu lain yang baru mengeluarkan kolostrum pada hari ke 2 – 3 setelah melahirkan, ya normal juga.

Sementara dia 'nawarin' sufor saat baru beberapa jam banget saya melahirkan. Kan jadi suudzon sayanya. Ini saya (dibikin) panik biar apa nih? Dia disponsori produsen sufor yang mana nih? Haha, maab jadi negating thinkive

Dan coba tebak, saya baru tahu kalau dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.15 Tahun 2014, ternyata ada lho sanksi yang bisa dikenakan kepada tenaga kesehatan yang mempromosikan susu formula dan produk lainnya yang bisa menghambat pemberian ASI. Ha! Laporin, aja gitu?

Keilfilan ini bertambah saat seminggu kemudian, saya harus check up Lilo pertama kali. Saya nggak suka sama tempat praktiknya. Biasa aja sih, tapi pasiennya banyak BANGET! Saking banyaknya, sampai sekali panggil bisa 5 orang, kemudian di-antriin di dalam ruang praktik. Mau nanya-nanya pun jadi nggak leluasa, karena berasa dikejar-kejar pasien berikiutnya.

Dokter L yang bersemangat.
Lalu setelah ilfil dengan dokter S, saya pindah ke dokter L, atas saran kawan baik saya. Wah senangnya, ibu dokter ini periang sekali, dan sangat suka menjelaskan. Apa pun pertanyaan saya, pasti dijawab dengan detail. Dia antusias dan energik.

Sebagai ibu baru yang sering panikan dan selalu punya banyak pertanyaan dalam benak, tentunya saya berasa menemukan jodoh dong ya?

Untuk sementara saya memilih dokter L sebagai dokter andalan.

Cerita dokter SN yang konselor laktasi
Bukan berarti setelah dapat jodoh, saya kemudian setia sih ya? Saya mah setia pada partner aja lah! Ribet urusannya kalau nggak. #eh

Anyway, karena sangat ingin sakseis memberi ASIX, saya mencari dokter yang pro ASI sekaligus konselor ASI, supaya kalau galau soal menyusui, tinggal nanya-nanya. Ada rekomendasi teman saya soal dokter lain lagi.

Okeh, saya pun mencoba.

Senang sekali saya banyak dapat support soal ASI dari dokter SN. Dia jelasin dari makanan apa yang bisa meningkatkan produksi ASI, manajemen ASI sampai tips dan trick yang kepake banget soal pumping.

Jadi DSA-nya Lilo ada dua nih : dr L dan dr SN.

Masalah beres?

Belum.

Kemudian, satu hari Lilo diare. Konon bayi diare karena ‘hobi’nya masuk-masukin tangan ke mulut, dan kebetulan tangannya nggak higienis.

Saya ke dokter SN nih, dikasih antibiotik. Selama seminggu pengobatan, nggak sembuh.

Lebaynya dr. L bikin saya harus test HIV dan patah belikat.
Sebagai mamak-mamak baru, yang sangat tidak berpengalaman, ngeliat feses Lilo teksturnya tetap cair, padahal sudah minum antibiotik ya khawatir lah ya? Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke dr. L, karena berpikir dr SN itu cuma jago jadi konselor laktasi tapi nggak jago jadi dokter. (APASIH? :D)

As usual, dokter L menjelaskan dengan energik. Lilo disuruh tes ulang feses, dan dikasih antibiotik lagi.

Oke, walau pun saya agak gimana ngeliat Lilo dikasih antibiotik lagi, ya sudahlah. saya masih berpikir : doctors know best.

Seminggu, diarenya sempat membaik, terus diare lagi.

Saya balik lagi ke dokter L. Dese entah kenapa menampakkan reaksi panik, semacam ‘Waduh, kok nggak sembuh ya?’

Lah, pasiennya kan jadi parno.

Kemudian dese melontarkan berbagai macam kemungkinan, sampai ngomong ‘Ini sih pait-paitnya aja ya, bisa juga anak ibu itu immunodefisiensi. Atau kekurangan daya imun tubuh, ini kelainan bawaan…’

Jreng.

Denger gitu saya mau nangis. Dokter L merujuk Lilo untuk ke lab, cek feses lanjutan plus periksa darah.

Nah,saya bencik banget-banget ketika Lilo harus diperiksa darah. Ya ampun, sedihnya luar biasa ngeliat darah dipaksa keluar dari ujung jarinya, karena pembuluh darah di lengannya nggak kelihatan. Lilo nangis luar biasa histeris dan memilukan. Dan saya... nangis nggak berhenti-berhenti, karena sedih dengar dia kesakitan, plus karena merasa bersalah nggak bisa menjaga Lilo supaya tetap sehat.

Setelah ada hasil tes feses lanjutan dan tes darah, sempat ganti obat, tapi belum sembuh. Ke lab lagi, ganti obat lagi. Ada kali sebulan setengah kayak gitu. Bikin stress aja.

Saya merasa hidup saya berakhir ketika puncaknya dia malah nyuruh saya untuk tes HIV. Waktu itu sudah kalut berat, jadi alih-alih mencari second opinion, saya main nurut aja disuruh nganu-nganu sama dokter L.

Nah, masalah muncul di sini. saya selalu merasa gaya hidup saya nggak masuk grup berisiko terkena HIV. Namun, sebelum tes ternyata ada sesi konseling juga dengan suster plus semacam biarawati (?), semacam mempersiapkan mental gitu.  Saya diajak ngobrol panjang, yang bikin saya kayak diingetin lagi, bahwa tindakan tattoo dan tindik bisa jadi sarana penularan HIV (sementara saya punya dua-duanya...Eaak!), saya disuruh curhat. Digituin, yang tadinya optimis nggak kenapa-kenapa, ujug-ujug ngerasa bahwa saya itu HIV positif.

Kzl-nya, hasil tesnya nggak langsung keluar. saya disuruh kembali ambil hasil besoknya, artinya ada waktu semalam untuk mikir. Nah, jeleknya, kemudian saya bikin skenario sendiri kalau saya HIV positif. Hidup hancur, Lilo hancur, suami hancur, keluarga hancur.

Saking tenggelamnya dalam skenario sendiri, saya sampai nggak konsen dan kepleset saat menggendong Lilo. Karena nggak mau Lilo jatuh, saya berusaha untuk memeluk Lilo rapat-rapat dan menjatuhkan diri di…bahu. Kena ujung tempat tidur. Sakitnya, janganlah ditanya.

Hasilnya? Belikat saya patah.

Apes bener ye idup?

Lalu begitu besoknya tesnya keluar….

Hasilnya negatif.

Mamam deh itu skenario.

Ini harus ketawa atau nangis nih yang pas?

Anyway, selama sebulan setelah belikat saya patah, saya masih belum nemuin kenapa Lilo diare nggak kelar-kelar. Sebagai catatan, berat badan dia sebenarnya nggak turun juga, tetep aja mollig, Cuma fesesnya lembek.

Dokter K Yang Irit Kata
Ipar saya menyarankan agar Lilo dibawa ke dokter yang senior, lebih banyak pengalaman. Ia merekomendasikan dokter anak andalannya, sejak anaknya (yang sekarang remaja) masih bayi.
Menurutlah saya.

Tapi belum juga masuk ke dalam ruang praktik, saya udah ilfil. Di jam praktiknya, beliau belum datang. Dan saya dibikin nunggu selama dua jam.

Ketika dia meriksa dan bilang ‘Anak ibu nggak kenapa-kenapa. Feses sih kan macam-macam, ada yang lunak, ada yang agak padat.’

Dese tenaaang sekali.

Setelah sekian lama dibombardir dengan banyak kemungkinan penyakit dan kelainan yang bikin saya nangis-nangis, seharusnya dibilang ‘Nggak kenapa-kenapa’ dengan tenang itu melegakan ya?

Tapi ini enggak, karena dokter K irit ngomong. Pertanyaan-pertanyaan saya, semuanya nggak ada yang dijawab dengan memuaskan.

Er, saya kan masih nggak tenang ya?

Prof. dr. Azhali MS.spAk Yang Tenang Tapi Menjawab.
Saya mencoba menurut apa yang dibilangin ipar : cari dokter yang senior. saya mencari yang maha senior menurut versi saya. Yaitu cari yang professor dokter. Sekalian lah! Saya ke Prof.dr.Azhali MS.SpAk
 
Entah mungkin terpengaruh gelarnya, entah juga karena pembawaannya, entah juga karena cara dia menjawab yang lugas tapi gak lebay, saya ngerasa tenaaaang banget dan optimis, Lilo bakal sembuh.

Dia lihat kertas hasil uji lab, memeriksa Lilo dengan seksama, bukan dicek dengan stetoskop doang, tapi diraba perutnya dan lain-lain. Lalu dia bilang ‘Nggaklah, hasil kayak begini itu terlalu cepat untuk diputuskan imunodefisiensi. Tapi USG aja dulu. Kita lihat apakah ada masalah dengan ususnya.’

DOKTER L! &^$^#&^$&@$*&!!!

Aslik saya mengumpat panjang lebar dalam hati, nyumpah-nyumpahin dr. L.

Lilo di-USG, dan tidak terlihat ada kelainan dari struktur usus dan lain-lain. Ketika kembali lagi, dr Azhali langsung ngasih obat.

Saya masih penasaran dong, jadi nanya kenapa diare Lilo nggak sembuh-sembuh. Menurutnya itu karena infeksi berulang. Kemungkinan Lilo sudah sembuh beberapa kali, tapi karena nggak terjaga kebersihan tangannya, kena lagi, kena lagi.

Dia ngasih satu obat racik.

Seminggu, sembuh. Pup Lilo normal kembali.

AMAZIIIING!

Sekarang sih, kalau sakit, Lilo saya bawa ke Prof.dr. Azhali. Tapi kalau mau imunisasi doang, ya ke dokter atau bidan di salah satu rumah sakit kondyang Bandung,

Dari perjalanan mencari dokter ini, ada beberapa ‘pelajaran’ yang saya dapat soal cari dokter

  • Selama kehamilan, bisa dimulai survey tentang dokter spesialis anak. Sekarang sudah ada internet dan forum para Bunda banyak, ya tinggal cari saja. Seleksi dokter-dokter yang mendapat review positif terbanyak.
  • Cari dokter yang pro-ASI. Karena ternyata rumah sakit pro ASI aja nggak cukup. Dokter yang pro ASI bakal memotivasi dengan segala cara agar seorang ibu bisa menyusui.
  • Dokter anak itu cocok-cocokan, sesuaikan dengan style komunikasi preferensi orangtua. saya senang bertanya dan selalu menuntut jawaban, jadi saya lebih suka yang komunikatif. Tapi ada teman saya yang nggak suka dokter bawel, jadi carilah dokter pendiam.
  • Ada dokter favorit yang konon katanya sakti mandraguna bisa menyembuhkan penyakit dengan cepat. Dokter kayak begini ini banyak pasiennya. saya nggak mau, karena kalau kebanyakan pasien, saya nggak leluasa nanya-nanya.
  • Nggak percaya diagnosis dokter itu nggak dosa, plus nggak nurut disuruh cek ini itu sama dokter bukan juga belagu dan sotoy. Dokter juga manusia, bisa khilaf. Damn, you dr. L. Jadi, nggak salah untuk nyari 2nd opinion. saya nyesel nggak nyari 2nd opinion sewaktu Lilo disuruh periksa darah di lab. Aduh, asli beneran liat anak usia 6 bulan kurang diambil darah itu…sediiih banget. saya juga nyesel nurut dites HIV yang bikin galau.
  • Saya pada akhirnya berpendapat, ‘senioritas’ dokter itu penting. Semakin lama seorang dokter berpraktik menjadi dokter, semakin banyak pula ia menghadapi berbagai macam keluhan. Jadi ((( vocab ))) keluhan dia untuk mendiagnosa dengan tepat.

Jadi, buibuk, sudah ganti DSA berapa kali? Dan sekarang DSA andalannya siapa? :)

Tidak ada komentar: