Tulisan tentang homeschooling di
bawah ini, bukan tulisan saya, tapi tulisan Dinda Jou, guest blogger pertama di blog
ini.
Jadi, saya kenal Dinda ini sudah cukup lama ya, sekitar tahun 2005-an gitu
kali ya? Awalnya yak arena sama-sama ngeblog. Dinda ini adalah jurnalis,
blogger dan traveler saat itu. Nggak disangkat ternyata teman-teman kami
beririsan juga. Ketemu Dinda pertama kali pas konsernya Anggun, di Bandung!
Kemudian kami nggak pernah kontak-kontakan lagi, Cuma sesekali saya melihat
(melalui media sosial), oh Dinda nerbitin buku foto, oh Dinda punya anak. Oh,
ternyata Dinda itu sepupuan sama teman kantor saya. Deuh, lagi-lagi beririsan.
Nah kemarin, dalam rangka menggalakkan semangat ngeblog, saya bikin project
guest blogging, kemudian Dinda nyahut. Ya udah, atas nama reuni, saya ajak
Dinda untuk cross-posting di blog
saya. Waktu kontak-kontakan soal tema kemarin, ternyata kami
semacam berjodoh gitu. Dinda pengin mengangkat tema gender dalam
membesarkan anak, sementara saya lagi penasaran berat soal homeschooling. Nah kebetulan Dinda baru saja memutuskan untuk homeschooling dalam mendidik Malik, putranya. Pas. :))
...setiap anak harus dibekali life skill yang
memadai, kemampuan menganalisa yang cukup, attitude yang baik, serta pemikiran
bahwa belajar bisa dari apa saja dan dimana saja..
Setelah dua tahun
menimbang-nimbang, akhirnya aku dan suami memutuskan untuk memilih
homeschooling untuk mendidik Malik, anak kami satu-satunya yang kini berumur
4,5 tahun. Malik, akan menjadi anak pertama yang menjalankan homeschooling di
keluarga besar kami.
Keputusan ini
dibuat saat awal tahun ajaran baru kemarin, karena melihat teman-teman
sepermainan Malik yang sebaya, sudah mulai masuk sekolah semua. Saat kami
mencetuskan keputusan itu, ada banyak orang di sekeliling kami yang merespon. Utamanya
sih bertanya soal mengapa. Apa yang menyebabkan kami ‘se-idealis’ itu (untuk
tidak menyebut nekat, hihih!) memilih homeschooling? Lalu, tentu saja bertanya
soal prakteknya bagaimana, kurikulumnya seperti apa, plus minusnya, dan lain
sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan
ini wajar banget. Dulu, saat pertama mendengar soal homeschooling, aku juga
punya segudang pertanyaan. Soalnya sebelum itu, aku taunya yang homeschool itu
kan artis atau atlit ya. Masak rakyat jelata macam aku bisa homeschooling juga
sih?
Sebenarnya ada
banyak aspek homeschooling yang semestinya dibahas terlebih dulu sebelum kami
sampai pada jawaban mengapa milih homeschooling. Tapiiii… karena penjelasannya
bisa panjang banget, aku ceritakan aja perjalanan kami sampai akhirnya
memutuskan ya.
Jadi begini
sodara-sodara. Kalau mau jujur sejujur-jujurnya, aku dan suami itu sesungguhnya
‘takut’ untuk punya anak. Membayangkan punya tanggung jawab yang super berat
untuk MENDIDIK seorang anak manusia itu sungguh membuat keder. Bok, pelihara
kaktus aja mati!
Nah, saat Malik
lahir, kami jadi banyak merenung dan berdiskusi tentang ide-ide kami menjadi
orang tua yang baik. Kami membaca banyak buku referensi, salah satunya adalah
buku-buku Ayah Edi, yang beberapa kali menyebutkan perkara homeschooling. Dari
lihat-lihat sekilas, kok kayaknya seru ya?
Dari yang hanya
sekedar ide, pencarian berlanjut dan tiga tahun lalu aku menemukan sekeluarga
prakstisi homeschooling yang aktif berbagi. Rumah Inspirasi (link: www.rumahinspirasi.com) namanya.
Keluarga ini memberikan webinar soal seluk beluk homeschooling yang segera saja
aku ikuti. Dari webinar sepuluh sesi itu (link: http://dindajou.com/review-webinar-homeschooling-oleh-rumah-inspirasi/
), aku dan suami belajar banyak sekali. Tidak hanya soal homeschooling, tapi soal
menjadi orang tua secara umum. Webinar itu meluaskan pandangan kami tentang
bagaimana mendidik anak. Aku sangat merekomendasikan webinar ini untuk siapapun
yang ingin belajar menjadi orang tua yang lebih baik.
Jadi,
homeschooling itu sebenernya apa sih?
Nah, homeshooling
adalah pendidikan berbasis keluarga yang berpusat di rumah. Kegiatan
pendidikannya diselenggarakan oleh orang tua yang disebut praktisi
homeschooling. Materi belajar juga dibebaskan kepada orang tua, yang disesuaikan
dengan VISI MISI pendidikan keluarga masing-masing. Waktu dan tempat belajar
pun bisa di mana saja. Pokoknya fleksibel banget!
Mau anaknya
diarahkan jadi artist, silahkan. Jadi ahli agama, tentu boleh. Mau jadi
entrepreneur, hayuk aja. Nggak perlu takut kalau orang tua nggak bisa ngajarin
suatu bidang. Orang tua bisa hanya menjadi fasilitator, membantu anak mencari
sumber daya lain untuk mengajari. Bahkan, salah satu tujuan dalam homeschool
adalah, pada akhirnya anak bisa jadi pembelajar mandiri. Ia tau harus mencari
kemana kalau ingin mempelajari sesuatu hal.
Kalau selain
mendalami minat dan bakatnya anak homeschooler ini juga mau punya ijazah, bisa
ikut ujian persamaan paket A, B atau C (setara SD, SMP, SMA), yang
diselenggarakan Diknas. Anaknya bisa ikutan bimbel intensif menjelang ujian
kan? Apalagi ijazah paket ini juga diterima untuk masuk universitas dalam
negeri manapun. Atau, kalau mau sekolah di luar negeri, bisa pakai kurikulum
luar seperti Cambridge dll yang juga ada tesnya.
Terlihat gampang
ya? Hehehe… gampang-gampang susah sih. Susahnya terutama bagian membuat
visi-misi pendidikannya. Dari sekian banyak pilihan, anaknya mau diarahin
kemana nih? Untuk membuat visi misi pendidikan ini, tentunya orang tua harus
seiya-sekata, dan benar-benar berkontemplasi mempertimbangkan segala sesuatunya
(belum lagi kalau punya pasangan yang ngeyel ya kak!). Beraaattt…
Selain itu, dalam
homeschool, peran orang tua sangat besar. Fungsi orang tua sebenernya lebih
mirip kepala sekolah: membuat kebijakan, mengorganisir sumber daya yang ada,
juga mengevaluasi perkembangan anak. Jadi, memang dibutuhkan waktu, tenaga dan
komitmen yang besar dari orang tua jika memilih ber-homeschool-ria. Sebab, anak
kan nggak serta merta bisa menjadi pembelajar mandiri kalau nggak diajarin
sejak dini. Jadi dalam penyelenggaraan homeshool ini, anak dan orang tua akan
terus terusan belajar, bersama-sama.
Lalu, kok kami
tetap berani memilih homeschool?
Yah, tiap keluarga
pasti memiliki kondisi yang berbeda-beda. Bagi kami, ada berbagai alasan, mulai
dari yang praktis sampai yang idealis. Alasan praktis terbesar adalah karena
jadwal kerja suamiku. Sebagai geophysicist yang bekerja untuk sebuah oil
service company, suamiku bekerja nun jauh di sana selama 7 minggu, dan
setelahnya mendapatkan cuti selama 5 minggu. Saat cuti, ia sama sekali tak
bekerja dan kami hampir selalu mengagendakan travelling. Dua manusia cetek ini
khawatir kalau anaknya sekolah, maka urusan jalan-jalan ini bisa terganggu,
ahahhaha!
Selain itu, biaya pendidikan saat ini tuh MAHAL gilak! Ngacung deh,
siapa yang bergidik melihat angka rupiah di brosur sekolah. Bisa delapan bahkan
sembilan digit! Dan untuk apa sebenarnya? Banyak anak lulus sekolah, masih
tidak tau mereka mau ngapain.
Kalau merujuk pada pengalaman diri sendiri, aku memang lulusan
Komunikasi/jurnalistik. Aku sempat menjadi wartawan selama satu dekade, mulai
dari koran lokal hingga internasional, sebelum akhirnya pension dan menjadi ibu
rumah tangga sekalian membuka bisnis. Tapi, sesunguhnya kontribusi sekolah
minim sekali pada perkembanganku. Aku mempelajari skill menulis justru dari organisasi
pers kampus. Aku belajar fotografi dari kursus. Dan baru-baru ini belajar
desain dari website belajar seperti Lynda dan Coursera, dan yutub, pastinya!
Suamiku malah
lebih ‘parah’ lagi. Kalau aku bilang dia adalah lulusan salah satu kampus negeri
di Bandung, kalian pasti mengira dia anak ITB. Salah besar sodara! Dia lulusan
Sosiologi di STKS, di Dago Atas situ. Lah? Bisa kerja jadi geophysicist di luar
negeri pula? Bisa! Ia memulainya dari bawah sekali dan belajar seiring waktu
hingga bisa jadi seperti sekarang.
Dan yang paling ‘meresahkan’, melihat trend saat ini, di masa depan
akan ada banyak sekali pekerjaan-pekerjaan baru untuk generasi setelah kita,
yang bahkan saat ini belum terpikir. Sekolah, menurutku, punya struktur yang
terlalu kaku dan sulit mengejar dunia yang berputar semakin cepat ini. Aku
adalah penganut paham bahwa setiap anak adalah unik. Bagaimana mengajarkan soal
keunikan ini jika di sekolah semua terstandardisasi?
Aku lebih setuju bahwa setiap anak harus dibekali life skill yang
memadai, kemampuan menganalisa yang cukup, attitude yang baik, serta pemikiran
bahwa belajar bisa dari apa saja dan dimana saja. Aku juga ingin anakku belajar
nilai-nilai agama sesuai dengan yang aku yakini. Tentunya sulit sekali mencari
sekolah yang mengajarkan semua hal tersebut sekaligus. Kebanyakan sekolah
menitik beratkan pada kemampuan akademis.
Akhirnya, ya sudah, homeschooling saja. Dengan begitu, kami sebagai
orang tua bisa mengatur sendiri pendidikan model apa yang ingin kami berikan
kepada Malik.
Untuk saat ini, dimana Malik masih usia pra-sekolah, tentunya kami
masih berkutat pada hal-hal yang sangat dasar yang bisa dijadikan modal belajar
saat ia besar nanti. Kami berfokus pada membangun kebiasaan baik, memaparkannya
pada berbagai hal dan membiarkan dia mengekplorasi apapun. Kami menyediakan
diri untuk belajar dan berproses bersama Malik, sambil terus mengevaluasi diri.
Doakan kami yaaa!
1 komentar:
wow.. pengalaman yang tak terlupakan..
https://homeschooling-suryanusantara.com/
https://homeschoolingjogja.com/
Posting Komentar