“Parenthood. It's about guiding the next generation, and forgiving the last.” - Peter Krause
...Isu dalam feminist parenting lebih luas, dari isu body image, respect terhadap orang lain, toleransi/menghargai perbedaan dan perkara seksualitas
Ahahaha, saya tahu, judul posting-an ini akan membuat beberapa orang berkerut kening. Ye kan? Ye kan? Sengaja, biar di-klik. Kalau udah diklik, baca dong! :)))Jadi ceritanya saya tercyduk ikutan group online feminist parenting oleh seseorang. Tadinya interaksi saya dengan orang tersebut hanya setiap hari raya, cuma gara-gara ini, dia ninggalin message via Facebook. Kebetulan dia seorang ibu juga, jadi dari basa-basi kami berlanjut ngomongin soal anak, pola asuh yang kemudian mengarah ke diskusi soal feminist parenting.
Sebagai informasi, saya join group tersebut karena tertarik dan pengin nambah wawasan. Iya, memang saya tertarik soal feminist parenting, dan sedang mencari tahu lebih banyak lagi tentang ini, karena somehow kok goals-nya pas seperti yang ada dalam bayangan saya, ketika saya baca-baca metodenya, saya menjadi semakin tertarik, tapi sedang mengadaptasi dan mencari cara-cara yang pas untuk menerapkannya.
Saya suka diskusi, namun untuk kali itu saya sebal. Diskusi-diskusi tersebut kok jadi full kritik. Dan semua pernyataannya bikin saya pengin merespons 'APASEEH?'
Ia mengatakan bahwa saya memaksakan anak perempuan saya untuk menjadi laki-laki/tidak sesuai kodratnya.
"Ngapain sih feminist parenting, feminist parenting kayak gitu. Nanti kalau dia jadi lesbian atau transgender, nangis-nangis lo!" itu katanya.
Lalu ia menambahkan, bahwa saya sedang memaksakan/mencekoki anak saya dengan ideologi saya.
Awal-awal saya masih menjelaskan bahwa saya tidak sedang menjadikan anak saya laki-laki (atau lesbian/transgender). Saya kasih barang-barang aneka warna, termasuk pink (jadi nggak pink melulu). Saya kasih dia boneka fluffy tapi juga robot. Dia mau main masak-masakan, ya monggo. Dia mau main mobil-mobilan juga boleh. Intinya, saya nggak mau membatasi bakat dan minatnya.
Soal mencekoki anak dengan ideologi, pertanyaan saya : siapa sih orangtua yang enggak gitu? Siapa sih orangtua yang enggak 'mencekoki' apa yang kita percaya pada anak kita sewaktu mendidik? Misal, mengajarkan ajaran agama? Mengajarkan tata cara/tradisi/norma sosial yang dianut orangtua bertahun-tahun pada anak? Sama aja kali nggak ah!
Alasan saya 'mencekoki' anak saya dengan pola pikir seperti ini, mungkin sama saja dengan alasan orangtua lain 'mencekoki' ajaran agama/norma sosial dan lain-lain. Untuk membekali sang anak agar ia dapat survived di dunia dan jadi high quality individual. Ya minimal, nggak nyumbang masalah dalam masyarakat. Ye kan?
Conversation itu berakhir dengan... saya tidak membalas lagi message-nya. Abis kesel, dia ngomong seolah-olah saya sedang menghancurkan anak saya dengan feminist parenting.
Anyway, saya yakin orang tersebut mengkritik saya sebenarnya karena kesalahpahaman tentang feminist parenting sendiri. Ya, memang nasibnya feminist sih, sering disalahpahami dan dialergi-in, senasib dengan istilah 'patriarki' dan 'gender'. :)))
Dari situ, saya kemudian bikin survai iseng di Instastory.
'Kalau mendengar istilah 'feminist parenting', apa sih yang ada di pikiran buibuk?'
Jawabannya cenderung seragam, mengatakan bahwa menjadikan anak perempuan yang kuat, nggak harus pakai pink atau main boneka.
Intermezo : ada sih yang menjawab berbeda, yakni : 'Mendidik anak perempuan supaya jadi cewek banget dan lembut banget...'
Jawab ini bikin saya terdiam sesaat dan baru ngeh beberapa menit kemudian. OWALAH! Mungkin maksudnya feminin!:)))
Balik lagi. Mari kita luruskan dulu, bahwa feminist parenting, bukan cuma masalah nggak ngasih anak warna pink dan membiarkan anak perempuan melakukan aktivitas anak cowok kok. Bukan pula satu pola asuh untuk mencetak feminist di masa depan. Isu dalam feminist parenting lebih luas, dari isu body image, respect terhadap orang lain, toleransi/menghargai perbedaan dan perkara seksualitas.
Inti feminist parenting bagi saya adalah pola asuh yang bisa membuat anak menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, dan mampu bertoleransi/menghargai perbedaan. Semuanya non violent, dan nggak ada yang berbahaya kan?
Gambaran agak detail soal feminist parenting saya sarikan dari artikel di Everyday Feminism, ini ya? (Kalau mau lebih jelas, sila baca sendiri saja artikelnya)
Feminist parenting itu bertujuan agar anak mampu :
1. Menghargai diri sendiri
Pada dasarnya, feminisme itu
2 Menghargai pikiran dan perasaan sendiri.
Ini artinya menganggap apa pun yang ia rasa dan pikirkan itu matters. Supaya anak bisa memahami dan menghadapi emosi dengan sehat. Saya melihat generasi saya tumbuh dalam lingkungan di mana anak harus menurut apa yang dikatakan orang dewasa. Menyatakan apa yang saya pikirkan/rasakan akan dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Kalau dipikir-pikir, artinya perasaan/pikiran anak diabaikan ya nggak sih?
3. Membuat keputusan sendiri.
Hal ini bikin anak lebih bertanggung jawab dalam memilih, dan belajar untuk menerima konsekuensi sendiri. Kalau orangtua yang memilihkan, dia nggak mikir kan? Kemudian, karena tidak terbiasa menerima konsekuensi, maka kalau terjadi apa-apa, dia akan cenderung menyalahkan pihak lain.
4. Menghargai Orang Lain
Dengan memiliki respect pada diri sendiri, tentunya ia akan paham bahwa ia harus respect pada orang lain. Dia nggak akan melakukan hal yang menyakiti tubuh/perasaan orang lain, kayak mem-bully misalnya dan lain-lain.
5. Menghargai Perbedaan
Anak-anak usia 3 - 5 tahun itu menganggap semua orang itu sama. Namun semakin besar, semakin banyak terpapar pengetahuan dari lingkungannya, anak jadi memilah-milah. Memilah nggak apa-apa, tapi jangan sampai mendiskriminasi yang berbeda. Apalagi sampai melakukan kekerasan karena itu.
Coba, coba, kayaknya nggak perlu ada ditakutkan, ya nggak sih?
Latar belakang orang tersebut adalah psikologi, ini saya kena kritik dengan membawa teori perkembangan anak. Menurutnya, jangan sampai saya membuat kerusakan mental dengan mendidik anak saya tidak sesuai usia.
Well, mungkin dia menganggap saya sebegok itu ya? :)))
*elus dada*
Seperti yang saya bilang, tentu saja seluruh informasi parenting yang saya dapat, saya bandingkan, saya filter, saya adaptasi. Anak saya baru dua tahun, ya aplikasi dari hal-hal yang saya sebutkan di atas itu sederhana banget kok, nggak rumit-rumit, karena percuma. :))
Antara lain :
- Saya mengajarkan bodily autonomy salah satunya dengan tidak menindik telinganya. Biar saja nanti kalau sudah besar ia mau tindik, tindiklah. Kata orang, tindik saat besar itu lebih kerasa sakitnya. Well, biar saja, sakit itu konsekuensi atas pilihannya.
- Another lesson of bodily autonomy, saya tidak akan terus menggelitikinya kalau ia tidak mau, plus sekarang saya sedang sounding soal sentuh-menyentuh, saya bilang 'Kalau Lilo nggak suka/nggak mau disentuh, bilang baik-baik sama orangnya : jangan pegang-pegang yaa?'
- Saya mengenalkan seluruh bagian tubuhnya dengan benar, bagian genital-nya saya sebut vulva.
- Saya tidak mengomentari soal fisiknya, baik itu positif ("Aduh cantiknya!") atau negatif ("Aduh gendutnya!"), supaya ia tidak menganggap bahwa fisik indah itu segalanya. Kalau satu saat ia memiliki kondisi tubuh tidak sesuai standar 'indah' dalam masyarakat, dia nggak risau. Kalau nanti ia melihat ada orang yang nggak sesuai standar cantik masyarakat, ia juga nggak ikutan membully.
- Saya membiasakannya membaca buku (tepatnya : membacakan buku cerita, tiap malam). Karena membaca itu buat saya bikin cerdas dan kritis. Again, supaya dia tidak menganggap bahwa trait idaman untuk seorang cewek adalah fisik yang indah thok. Plus, ya supaya dia kritis dengan kondisi sosial.
- Saya membiarkannya bermain dengan mainan apa pun yang dia mau, boneka-bonekaan oke, masak-masakan oke, mobil-mobilan oke, robot-robotan oke. Ya supaya ia bisa berkembang seluas-luasnya, punya berbagai macam skill, sehingga dia nggak mikirin fisik melulu.
- Saya membiarkannya melakukan aktivitas fisik, even kalau itu tidak sesuai dengan standar perilaku perempuan dalam masyarakat, even kalau itu bikin dia kotor.
- Saya memercayainya melakukan aktivitas, sesuai umurnya. Misalnya membawa gelas (kaca) dari meja ke sink dapur yang jaraknya 2 meteran. Walau pun itu menegangkan. :)))
- Saya (berusaha keraas sekaliii yaoloooh) untuk nggak emosi kalau anak saya tantrum, karena tantrum itu muncul karena ia merasa tidak enak, saya harus menghargai itu. Even orang dewasa saja bisa bete kan?
- Saya membiarkannya mengambil keputusan dan menerima konsekuensi dengan level ecek-ecek. kayak misalnya, sehabis mandi, ia memilih kabur dibandingkan pakai baju. Ya saya biarkan sambil bilang 'Ntar kedinginan lho!'. Seringnya, beberapa menit kemudian dia balik lagi, sambil menggigil dan cengar-cengir.
- Ketika ia jatuh, alih-alih menyebutkan 'Aduh, lantainya nakal!' saya bilang 'Ati-ati, atuh. Pelan-pelan jalannya...'
- Saya membiasakannya untuk ngomong dengan baik, tidak memerintah dan/atau merengek ketika menginginkan sesuatu. Ini arahnya ke non-violent communication sih.
- Saya selalu menjelaskan akibat perilaku/sikapnya. "Kalau mainan ini dirusak, si X ntar sedih lho!", Kalau ibu nggak boleh pergi untuk ngajar, ntar ibu nggak digaji, Lilo nggak bisa beli makan/baju, lho!' :))
- Saya mendengarkan saat ia bercerita. Iya, anak saya baru dua tahun, kosa katanya belum banyak, kadang saya suka nggak ngerti poinnya (atau kadang saya bosen, karena repetitif haha, maab, Lil!), tapi saya yakin, gesture mendengarkan membuat ia merasa bahwa ia didengar dan dihargai.
- Saya mengajarinya beberapa tipe emosi dasar, gembira, sedih, marah, takut, kaget, dan alasan mengapa orang bisa demikian dengan cara sangaaaat sederhana.
Gicuuu, buibuuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar