Falling in love was the easy part; planning a wedding - yikes!- Niecy Nash
...beberapa orang bilang, acara kami ngawur-ngawuran dan rock 'n roll. Kami sih menyebut acara kami sebagai acara ngawur teratur. :))
So, sudah sebulan usia pernikahan saya dan partner. Eh salah ding, baru sebulan. Baru banget. Buktinya sampai hari ini, sapaan yang kerap masih saya terima adalah 'Hai Pengantin Baru!'.*Ngomong-ngomong, disebut 'Pengantin Baru' itu sampai kapan sih? Soalnya saya sudah mulai bosan. :D*
Anyway, karena sebulan itu masih dianggap baru, kayaknya masih boleh dong ya saya cerita beberapa printilan yang nggak sempat saya ceritakan gara-gara ribet pindahan rumah? Sudah, jawab saja boleh, biar cepat. :))
Setelah selama ini, saya merasa nggak pernah punya dream wedding, eh, setelah beneran merencanakan pernikahan, TERNYATA saya punya, saudara-saudari! Jadi dream wedding saya itu kawin tamasya! Alias, pemberkatan nikah, catatan sipil, kelar. Ini nggak lain karena saya nggak begitu senang ribet-ribetan. Buat saya, yang lebih penting adalah marriage-nya, bukan wedding-nya.
Cuma, berdasarkan pertimbangan ini dan itu, kawin tamasya yang saya impikan nggak terwujud; jadi saja selain pemberkatan, ada perjamuan kasih, alias resepsi kecil-kecilan dengan orang terdekat.
Tadinya saya bete, biasalah, saya si keras kepala ini maunya yang terlaksana plek adalah yang saya mau. Dalam bayangan saya, ada resepsi kecil-kecilan berarti nambahin keribetan lagi, di luar hal yang memang harus dilakukan karena aturan gereja dan negara (semacam kursus pra pernikahan, kanonik dan daftar catatan sipil).
Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya jadi belajar bahwa bukan marriage saja yang membutuhkan kompromi dengan pasangan, tapi mempersiapkan wedding day juga; kompromi dengan pasangan, keluarga dan sahabat-sahabat terdekat. Sekarang-sekarang kalau dipikir-pikir, kayaknya nggak perlu banget deh saya ngotot-ngotot-nyebelin pengin kawin tamasya, tokh yang diminta oleh keluarga bukan hal yang 'wah', hanya makan siang sebagai pengucapan syukur.
Ketika saya mulai menerima, ternyata kesebalan saya berubah menjadi excitement. Daaan, ternyata, dream wedding saya berubah! Pake ada resepsi, boleh lah. :D
Bisa dibilang, saya dan partner memang menekan budget, karena kami tahu, pengeluaran rumah tangga itu nantinya banyak, kami nggak mau gara-gara budget wedding day kebesaran, setelahnya masih harus nyicil pinjaman dana kawin ke bank misalnya. Atau nyusahin ortu. Alasan sekali seumur hidup, besar-besaran nggak apa-apa, asli nggak masuk di otak kami. JUSTRU buat apa menyengsarakan diri dalam jangka waktu panjang, untuk yang sekali seumur hidup? :)