Laman

Selasa, Juni 23, 2015

[Keseharian] Tentang Menikah Dan Menjadi Voltes 5.


“Motto for the bride and groom: We are a work in progress with a lifetime contract.” - Phyllis Koss 

...nikah itu kayak Voltes 5, karena masing-masing karakter memang sudah memiliki skill, kekuatan dan kelebihan masing-masing, tapi dengan menyatu, maka kekuataan yang dihasilkan bakal semakin besar.
Apakah kamu percaya dengan kalimat '..and they lived happily ever after' setelah menikah?

Saya enggak. Sama sekali. Buat saya itu bullshit. Kalimat itu cuma miliknya para princess-nya Walt Disney's. Tapi saya nggak yakin juga mereka -- para princess itu -- beneran lived happily ever after, lha wong setiap di setiap kisah klasik kebanyakan princess-princess itu, ending-nya selalu pada adegan kawin mengawin. Nggak ada yang tahu, setelah menikah kehidupan mereka kayak gimana. Ya nggak? Haha.

Iya, saya nggak pernah meromantiskan konsep pernikahan. Bahkan sampai beberapa tahun yang lalu, ide menikah nggak begitu menarik hati saya.

Seriusan.

TAPI, minggu lalu saya menikah.

Lho, kok? Piye, nggak berminat sama ide dan konsep nikah, kok sendirinya menjerumuskan diri dalam pernikahan? Bingung kan? Sama dong.

ENGGAK, ini bukan nikah mendadak karena kecelakaan seperti ada gosip yang saya dengar (hai kamu!); persiapannya lumayan kok, tapi ya memang terdengar mendadak, karena saya sama sekali nggak pernah ember ngomongin rencana nikah. Terus terang saya memang agak protektif soal rencana ini, saya hanya menceritakan pada orang-orang terdekat. Bukannya apa-apa, semakin banyak orang tahu, bakal semakin banyak pula orang yang menyumbangkan opini (bahkan ngatur), nah semakin banyak pendapat, saya bakal semakin pusing. Saya nggak mau pusing dan nggak mau ribet dalam menyiapkan diri dan mental menghadapi keputusan besar dalam hidup saya ini.

Balik ke pernikahan, setelah nyaris delapan tahun, saya memutuskan untuk membawa relationship saya dengan partner, dari pacaran menjadi lifetime partnership.Terus terang ini agak gila, bahkan satu hari setelah the wedding day saya terkena panic attack, gila Man, gue menikah. Apakah gue sudah kehilangan kewarasan gue? *boook, orang mah baru nikah hepi-hepi, lha gue kok panik. Suka tolol deh gue. Haha*


Jumat, Juni 19, 2015

[Novel] Tentang 'Perempuan-perempuan Tersayang'

The ultimate inspiration is the deadline.- Nolan Bushnell
Bukankah kalau kehidupan terasa terlalu tenang, kita harus cari masalah, supaya jadi seru? Eh, bukan ya? :))
Sebenarnya saya mau nyeritain tentang novel terbaru saya, Perempuan-perempuan Tersayang, sejak awal novel ini rilis sekitar akhir Mei. Cuma apa daya, kehidupan mendadak sibuk beneur dengan kerjaan dan hal-hal lain.

Anyway, novel ini sebenarnya PR dari Christian 'Ino' Simamora di tahun 2013. Satu saat dia menelepon saya.

'Mbak, mau nulis naskah dengan setting daerah Indonesia Timur nggak?' katanya.

'MAU!'

Iya, tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan dengan semangat, yang terpikir dalam benak adalah mengangkat salah satu tempat di Nusa Tenggara Timur, tempat sebagian hati saya tertinggal (TSAH!).

Saya baru menelan ludah begitu mendengar kelanjutan kalimatnya.

"Deadline-nya satu setengah bulan." lanjutnya.

Nah lho!

Tapi pada akhirnya tetap saya terima saja PR dari Ino. Saya bukan penggemar deadline (memang ada ya yang doyan deadline? :D ), tapi waktu itu saya berpikir, saya butuh tantangan. Bukankah kalau kehidupan terasa terlalu tenang, kita harus cari masalah, supaya jadi seru? Eh, bukan ya? :))


Sabtu, Juni 06, 2015

[Traveling] Rewriting 'Anda Traveler Pemula'


Travel becomes a strategy for accumulating photographs.- Susan Sontag
….kesannya sang penulis sedang bilang : aing leuwih hebat ti maneh, naon siah?
Kemarin timeline Twitter saya gaduh. Banyak cuitan menyebut-nyebut traveler pemula. Kebanyakan mayah-mayah. walau nggak sedikit juga yang bikin tweet-tweet plesetan.

Ya namanya juga pengguna Twitter ya, masa sih ada hal yang sedang 'dirame-ramein' jiwa detektif (baca : kepo) kita nggak bangkit?

Akhirnya setelah menelusuri beberapa tweet saya menemukan sumber keributannya! Sebuah artikel yang ada di Reader's Digest Indonesia; judulnya : 'Anda Adalah Traveler Pemula, Jika...', isinya ada delapan poin, lengkapnya bisa dibaca di sini.

Saya pribadi nggak kesinggung sih, membaca artikel tersebut, entahlah, mungkin karena nggak pernah merasa diri traveler juga ya? Dan memang saya juga jarang melakukan poin-poin yang disebut dalam artikel tersebut.

Tapi saya bisa memahami mengapa orang-orang bereaksi sedemikian rupa. Tone dan manner tulisannya yang memberi kesan superior. Walaupun tak tertulis, tapi kesannya sang penulis sedang bilang : aing leuwih hebat ti maneh, naon siah? (Artinya? Coba lihat di kamus Sunda ini. Haha)

Tone dan manner kayak gitu bikin yang baca merasa direndahkan. Dan siapa juga coba yang suka direndahkan. Bukan di soal traveling aja, di soal macam-macam, contoh : soal diet-dietan, soal lari, soal yoga, soal fotografi dan soal-soal lainnya. Saya sering banget lihat orang berseteru gara-gara ada pernyataan yang secara tersirat menyatakan 'Amatir lo! Bego lo!' :))

Anyway, baru tadi banget saya baca ulang artikelnya, tetap sih, saya nggak merasa kesinggung; tapi tiba-tiba kepikir, seandainya pemilihan katanya nggak gitu banget, mungkin reaksi orang nggak segitunya.

Kemudian, saya terdorong untuk menulis ulang artikel ini. :))

Anda Smart (Social Media) Traveler, Jika...

Senin, Juni 01, 2015

[Keseharian] Ruginya Minta Oleh-oleh

“I’m going on vacation. I’ll bring you back a souvenir suitcase. It’ll be full of love, but otherwise appear to be empty.” ― Jarod Kintz
….kalau misalnya ia membawakan oleh-oleh karena sebelumnya kamu sudah nodong duluan, kebayang nggak niatnya apa? Iye, kepaksa-karena-nggak enak.
Untuk sementara saya nge-blog-nya di sini dulu ya? Yang ono lagi bermasalah.:D

Jadi, satu hari beberapa orang kenalan yang berasal dari luar Bandung bilang kalau mereka ingin membeli sesuatu sebagai buah tangan bagi keluarga mereka di rumah. Satu-satunya yang terpikir dalam benak adalah mengantarkan mereka ke toko oleh-oleh Bandung.

Sambil menunggu mereka memilih segala jenis keripik, kerupuk, dodol-dodolan, brownies, pisang molen dan entah apa lagi, saya pun berkeliling. Di antara segala makanan khas Bandung, saya menemukan berbagai macam makanan khas daerah-daerah lain. Ada bakpia ala Jogja, ada pie susu ala Bali, ada brem Cap Suling Gading Asli yang di packaging-nya ditulis 'oleh-oleh khas Madiun', ada bika Ambon, ada pancake durian.

Saya jadi geli sendiri dan mendapat satu ide brilian *halah*. Pokoknya kalau lain kali saya mau jalan-jalan dan ada yang minta oleh-oleh, saya akan membelinya di tempat ini. :D

Ngemeng-ngemeng soal oleh-oleh, pengakuan nih ya : saya nggak suka banget kalau ada orang yang minta oleh-oleh. Sebel banget. Apalagi kalau orangnya dekat juga nggak DAN yang minta banyak. Bukannya saya nggak pernah beli oleh-oleh ya, pernah kok, tapi cuma buat orang-orang yang saya anggap spesial saja.

Alasan terutama saya kesel sama orang yang minta oleh-oleh, ya karena (nge)repot(in). Titik.