![]() |
Sumber : kaboompics |
“When marrying, ask yourself this question: Do you believe that you will be able to converse well with this person into your old age? Everything else in marriage is transitory.” - Friedrich Nietzsche
... Ia tercenung sejenak sebelum pada akhirnya menjawab,'Ya kawin aja, biar bahagia, kayak orang-orang...'.
Sekitar satu tahun yang lalu, saya melihat ada spanduk terbentang di sebuah posyandu; isinya tentang usia ideal untuk menikah. Di situ tertulis : 26 tahun. Sambil cengar-cengir, saya memotret spanduk tersebut, kemudian mengunggahnya di Path, dengan caption : Oh nooo, Gue telat sepuluh tahun! *Tentu saja itu bercanda* :))Yagitudeh, katanya, umur menikah saya telat. Mungkin bagi beberapa orang bukan telat doang, tapi telat pakai banget. Pembahasan kawin-mengawin dengan partner-slash-soulmate saya ini baru kejadian beberapa bulan sebelum memasuki usia 38 tahun. Ya maab. Kami berdua memang keasyikan bermain.
Anyway, gara-gara 'telat kawin' (berdasarkan spanduk itu lho! Kalau kata saya sih enggak :P), beberapa orang kawan yang masih lajang di usia tiga puluh ke atas kemudian menjadikan saya sebagai benchmark; mereka bilang, setiap dilanda panik karena umur segitu belum juga kawin, mereka akan mengingat saya, lalu.. tenanglah hati mereka. Ngeselin ya? Lebih ngeselin lagi, kalau kebetulan saya mengenal orangtua mereka, setiap para ortu bertanya 'kapan?', dengan cepat mereka jawab 'Ah Okke aja umur segitu belum menikah...'. Penekanan tentu saja pada kata 'umur segitu'.
Mo. Nyong. :D
Cuma konon sih, setiap dibilang seperti itu, ortu mereka bakal manggut-manggut dan sedikit lega, ternyata ada yang lebih tua dari anak mereka yang belum nikah juga. Ya sudahlah ya, menenangkan hati orang tua, upah saya besar di surga. :))